Selasa, 11 Agustus 2009

BANGKAI

BANGKAI
-Cerpen Badrul Munir Chair -

“Apa lagi yang kau harapkan dari jasad kekasihmu yang telah mati?”

Galua selalu terngiang ucapan sahabatnya tempo hari “apa yang di harapkan dari jasad tanpa nyawa?”, Galua mulai ragu dengan apa yang dulu pernah di yakininya, bahwa rasa cinta akan mampu menghidupkan seeorang belahan jiwa yang telah tiada. Di tatapnya sosok jasad kekasihnya yang di simpannya sejak tujuh hari lalu. Galua mulai putus asa, keajaiban yang dinanti-nantikannya selama seminggu ini tampaknya adalah impian kosong, harapan yang mustahil di wujudkan.

“Apakah sebaiknya ku kuburkan saja?”, terbesit keraguan dalam hati Galua, di tatapnya jasad kekasihnya dari ujung kepala hingga kakinya.
Gapia, sahabat Galua sudah mengingatkan Galua untuk segera menguburkan jasad Pamia. Gapia lah satu-satunya sahabat kepercayaan yang mengetahiu perihal penyimpanan jasad Pamia, bahkan berita kematian Pamia belum tersebar kemana-mana, hanya mereka berdua yang mengetahui perihal dan sebab kematian Pamia.

Seminggu lalu, ketika mereka bertiga asyik bercengkrama di sekitar pohon mangga, Pamia bercerita tentang masa kecilnya, saat itu Pamia masih bisa tertawa bahagia, Gapia dan Galua ikut tertawa mendengarkan cerita kocak Pamia. Hingga tak terasa hari beranjak senja, kematian mengintai Pamia. Secara tiba-tiba, Pamia yang hendak berdiri untuk bergegas pulang jatuh dan pingsan seketika, Gapia dan galua panik menyaksikan Pamia yang sudah tak menghembuskan nafasnya. Begitulah kematian, secepat itu datang, tanpa di sangka-sangka dan tidak memberi kabar sebelumnya.
Galua tak Percaya bahwa Pamia kekasihnya telah tiada, dia meyakinkan diri bahwa Pamia hanya pingsan biasa dan besok akan kembali sadar seperti biasa. Namun disisi lain, hatinya putus asa karena dirasakannya denyut nadi Pamia telah terhenti. Gapia berusaha menguatkan hati sahabatnya. Akhirnya mereka sepakat untuk merahasiakan peristiwa itu dan menunggu tiga hari untuk memastikan bahwa Pamia benar-benar mati.

Tiga hari yang di nanti, kondisi Pamia tak jua menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Sejak itulah Gapia dan Galua berselisih. Gapia ingin supaya jasad Pamia segera di kuburkan, Galua merasa kasihan melihat kondisi tubuh Pamia yang mulai mengeluarkan bau tak sedap. Namun, Galua bersikeras untuk menyimpan jasad kekasihnya karena dia yakin akan adanya keajaiban.

“Apa yang kau harapkan dari jasad kekasihmu yang telah mati?” Gapia membentak Galua, namun Galua hanya menangis dan memohon kepada Gapia untuk mengijinkannya mengawetkan jasad Pamia dan meminta terus merahasiakan kematian Pamia. Akhirnya Gapia mengalah, dengan berat hati mengijinkan Galua mengawetkan jasad Pamia.

Hari ketujuh kematian Pamia…

Gapia mendatangi rumah Galua, saat sisa-sisa embun masih menempel di dedaunan, saat ayam-ayam berkokok bersahutan. Kali ini Gapia ingin memaksa Galua untuk menguburkan jasad Pamia hari ini juga, dia khawatir jika semakin lama Galua menyimpan jasad Pamia maka penduduk desa akan mengetahui rahasia mereka. Namun, tidak di dapatinya Galua di dalam rumahnya, Gapia yakin bahwa Galua sedang berada di gudang tempat penyimpanan jasad Pamia.



Dibukanya pintu gudang perlahan, samar-samar dilihatnya Galua yang sedang tertidur, duduk dikursi samping tempat tidur dimana jenazah Pamia di semayamkan, didekatinya tubuh sahabatnya itu, namun Gapia sangat terkejut ketika melihat tangan kanan Galua yang berada di atas liang kewanitaan Pamia, ya, dia dengan jelas melihat Galua sedang mengelus kemaluan Pamia. Gapia serasa tak percaya, dikucek-kuceknya matanya untuk meyakinkan bahwa dirinya benar-benar sadar, dan yang dilihatnya saat ini adalah nyata.

Ditariknya kerah baju Galua yang sedang tidur, dihantamnya wajah Galua tanpa ampun, dipukulnya berkali-kali, Galua yang masih belum sepenuhnya sadar menjadi sasaran empuknya. Sementara, Galua kebingungan, ada apa gerangan dengan sahabatnya ini, Galua mulai berusaha melawan, namun tenaganya tak terlalu maksimal karena dia baru bangun tidur. Dirasakannya hantaman Gapia semakin menjadi-jadi. “Jadi ini yang membuatmu ingin mengawetkan jenazah Pamia, hah?, kau hanya membutuhkan kemaluannya untuk kepuasan nafsu bejatmu itu?”. Gapia membanting tubuh Galua, ditinggalkannya tubuh Galua yang sudah tak berdaya karena beberapa kali pukulannya, Gapia meninggalkan rumah itu dengan sejuta serapah yang keluar dari mulutnya.

Gapia merenung di teras rumahnya, diingatnya saat-saat indah dahulu bersama Pamia, saat mereka masih mesra berjalan bergandengan hanya berdua, saat Galua masih tinggal di kota sebelum akhirnya pindah ke kampung mereka, saat itu Pamia sering berkata manja padanya, dan sebaliknya Gapia sering mengucapkan kata-kata mesra. Mereka sering berjalan berdua menikmati senja, duduk di pohon mangga, melewati perkampungan dibumbui siulan nakal tetangga. Namun, Gapia tidak pernah bisa mengungkapkan rasa cintanya secara langsung pada Pamia. Hingga akhirnya Galua yang baru datang dari kota berkenalan dengan mereka dan mulai mengusik kebersamaan mereka, mulai sering berjalan bertiga menikmati senja bersama, merekapun bersahabat. Gapia tak pernah tahu jika Galua menyimpan rasa pada Pamia. Akhirnya, Galualah yang menyatakan cintanya terlebih dahulu, dan Pamia yang sudah lelah menunggu menerima kehadiran cinta Galua dalam hatinya, dan dirinya harus mengelah, merelakan Pamia jatuh kepelukan Galua. “Ah, mungkin salahku yang tak segera mengungkapkan cintaku, hingga Pamia lelah menunggu”.

Gapia terus merenung ketika sengatan matahari semakin menggila, dia tak habis pikir dengan jalan pikiran Galua, “apakah Galua menyimpan jenazah Pamia hanya untuk menikmati tubuh tak berdaya Pamia?”, itulah pikiran yang kini menyelimuti hatinya, “ah tampaknya tidak mungkin, tadi Galua sedang tidur, mungkin saja dia secara tidak sadar mengelus kemaluan Pamia”. Gapia mulai menyesali perbuatannya, karena dengan gegabah telah memukul sahabatnya, “ah, aku terlalu cepat mengambil keputusan, ini hanya salah paham”. Gumpalan rasa sesal berkecamuk dalam hatinya, dia mulai berpikir untuk kembali mendatangi rumah Galua dan meminta maaf padanya, “aku harus segera meminta maaf kepada Galua, sebelum semuanya terlambat” batinnya.

Sementara di dalam gudang rumahnya, Galua yang babak belur karena pukulan Gapia menjadi bingung dengan perbuatan sahabatnya yang menyerangnya tiba-tiba, dia tak mengerti apa alasan sahabatnya, “mungkinkah Gapia marah karena aku tak segera menguburkan jasad Pamia?”, diingatnya kembali peristiwa penyerangan Gapia terhadap dirinya tadi pagi, diingatnya lagi kata-kata Gapia, akhirnya dia ingat bahwa Gapia menuduhnya bahwa dia menyimpan jasad Pamia hanya ingin menikmati kemaluannya, “ah, ini pasti salah paham, mungkin waktu tidur tadi aku tak sengaja memegang kemaluan Pamia”.

Galua mengamati sosok jasad kekasihnya yang kaku dan mulai membiru, terkadang rasa kasihan timbul di hatinya, Galua mulai berpikir untuk segera menguburkan jasad Pamia dengan meminta bantuan Gapia dan meminta maaf padanya. Namun, niat sucinya urung di lakukan ketika Galua melihat gundukan daging kemaluan Pamia, dia mulai nafsu dan ingin mencoba kemaluan kekasihnya yang tak pernah dinikmatinya ketika masih hidup, “ada baiknya jika sebelum ku kuburkan, kunikmati dulu kemaluannya, aku sangat ingin tahu bagaimana rasanya?”. Otaknya berpikir semakin kotor, Galua mulai membuka celana dalamnya, di elusnya kemaluan Pamia yang tek berdaya beberapa kali, lalu Galua mulai mengarahkan kemaluannya yang sudah menegang ke arah kemaluan Pamia.

Brakkk!!!

Gapia menerjang pintu gudang yang dari tadi telah di awasinya, tadinya Gapia memang ingin meminta maaf pada Galua, namun Gapia harus mengintip gudang terlebih dahulu untuk memastikan bahwa Galua ada didalamnya dan tidak merencanakan balas dendam padanya. Namun Gapia merasa heran ketika dia menyaksikan Galua yang sedang membuka celana dan mengarahkan kemaluannya pada kemaluan Pamia, Gapiapun mendobrak pintu gudang.

“Bangsat!!!, sudah seberapa kotor otakmu hingga kau menyetubuhi jasad kekasihmu yang sudah mati, apa kau sudah gila, hah?” Gapia berkata dengan geramnya

“kau salah paham Gapia, aku hanya…aku hanya…” kata-kata Galua terhenti di tenggorokannya

Tanpa pikir panjang, Gapia menghantam tubuh Galua yang sudah babak belur karena hantamannya tadi pagi. Dhebb, dengan garang dipukulnya tubuh Galua membabi buta, namun kini Galua tak hanya diam saja. Jblakkk, dibalasnya pukulan Gapia dengan terjangan-terjangan kakinya, Galua tak kalah membabi buta. Mereka terus bergelut terbawa emosi, saling pukul, saling terjang, pukulan-pukulan telak saling berbalas di seluruh anggota tubuh mereka. Duel diantara mereka berlangsung sangat lama, tak ada tanda-tanda salah satu pihak ingin segera mengahirinya, hingga akhirnya mereka sama-sama tak berdaya, mereka berdua menghembuskan nafas terakhirnya hamper bersamaan.

Sore hari, segerombolan bocah kecil bermain bola di tanah lapang dekat pekarangan sebuah rumah yang sudah lama ditinggal penghuninya, mereka saling berkejaran penuh kegembiraan. Namun, tendangan seorang yang paling jangkung diantara mereka menyangkutkan bola di pohon mangga depan rumah yang telah lama ditinggal penghuninya itu, seorang bocah kecil berambut klimis mengajukan diri untuk memanjat pohon mangga itu, mengambil bola mereka, bocah kecil itu mulai naik dan bolanya tinggal beberapa ranting saja dari tangannya, namun ia tergoda ketika melihat sarang burung di atas bola yang nyangkut itu. Diambilnya sarang yang nampak berat, dilihatnya isinya, tiba-tiba bocah kecil itu berteriak karena dilihatnya tiga bangkai burung dalam sarang itu, dua burung yang darahnya masih terlihat baru dan satu burung lagi yang sudah busuk dan tubuhnya membiru.

(Yogyakarta, 2009)

Tidak ada komentar: