Kamis, 12 Februari 2009

Di Sudut Palestina

Di Sudut Palestina
Cerpen Badrul Munir Chair

Bocah itu mengemas tasnya sepulang sekolah di distrik Sheikh Rudwan, kota Gaza. Berjalan kaki sendiran di antara puing-puing bangunan dan bau anyir darah yang mengalir, melewati setapak jalan di mana masih banyak mayat bergelimpangan. Bocah itu tak mempedulikan suara desing-desing peluru yang menyapa telinganya, seakan semuanya biasa-biasa saja. Suara senapan adalah musik yang selalu menemaninya setiap detik dalam embusan nafasnya. Mayat-mayat yang bergelimpangan adalah pemandangan sehari-hari yang sudah biasa dia saksikan, sehingga dia bosan untuk benar-benar memperhatikan.

Mabrouk bin Yassir, nama bocah kecil itu. Tubuhnya kurus, tingginya tak seukuran anak seusianya pada umumnya, pakaiannya basah oleh keringat, debu dan bercak darah yang mengering memenuhi sebagian pakaiannya. Bocah tiga belas tahun seperti dia seharusnya masih menikmati masa-masa indah di sekolah, atau berbahagia dengan teman-temannya.

Puing-puing bangunan di setiap sudut Palestina menjadi tempat bermainnya. Biasanya Mabrouk bermain perang-perangan dengan memakai ketapel atau senapan mainan yang di isi peluru karet. Jikalau tiba-tiba ada suara bom meletus di tengah permainan mereka, maka permainan mereka seketika berubah menjadi perang yang nyata. Peluru berdesingan, rumah-rumah di sekitar mereka tiba-tiba rubuh oleh senjata musuh. Sementara mereka, anak-anak kecil yang tengah bermain, hanya menggunakan ketapel kecil dan batu-batu sebagai senjata, jika ada musuh yang mendekat dalam jangkauan pandangan mata.

Mabrouk terus berjalan menuju rumahnya. Teman-teman yang biasanya menemaninya setiap pulang sekolah sebagian besar tinggal di barak pengungsian. Tetapi bagi Mabrouk, pendidikan adalah segalanya. Sebelum berangkat ke medan perang, ayahnya selalu berpesan agar dia tidak meninggalkan sekolah. Walau pun toh suatu saat nanti dia di tembak dari jauh oleh senapan musuh, baginya itu adalah jihad. Toh guru sekolahnya selalu membawa senapan setiap akan mengajar. Mereka menanamkan ajaran jihad sejak kecil.

Mabrouk sampai di rumahnya yang sudah tak kokoh lagi. Sisa-sisa bekas tembakan dan cluster bomb yang kadang menyerang telah “merenovasi” rumah-rumah di Palestina menjadi bangunan yang setengah jadi, atau lebih tepatnya seperti bangunan yang hendak dirubuhkan namun masih ada beberapa tiang penyangga sehingga rumah-rumah itu tidak benar-benar rubuh. Rumah-rumah itulah tempat yang paling aman untuk bersembunyi, karena pihak musuh selalu mengira rumah itu sudah tak berpenghuni.

Rumah yang mengenaskan itu di tempati oleh sebagian besar kaum hawa dan anak-anak kecil seperti Mabrouk. Tetangga-tetangga yang rumahnya tak layak lagi harus menumpang ke rumah yang masih bisa di gunakan walaupun tak layak untuk ditempati. Sejak genderang perang mulai di bunyikan, hubungan mereka lebih dekat daripada saudara.

Rumah itu sepi, bukan berarti tidak berpenghuni. Sudah menjadi peraturan yang tidak tertulis bahwa semua orang yang tinggal di dalam persembunyian harus sebisa mungkin menutup mulut dan bibir mereka agar tidak bersuara, karena sewaktu-waktu jika ada musuh yang mendekat akan mudah menyerang mereka. Dengan sekali lemparan maka mereka akan mati bergelimpangan. Jasad-jasad mereka akan terbakar atau paling untung terhimpit reruntuhan bangunan.

“Ya Umma, bagaimana kabar Ayah? Apakah dia masih gigih berjuang atau sudah syahid dan tinggal di surga?” tanya Mabrouk berbisik kepada ibunya.

“Anakku, jiakalau ayahmu telah tak bernyawa, kelak kita akan di pertemukan kembali di surga. Anakku, yakinlah dengan kuasa tuhanmu, tuhan kita, tuhan yang menguasai jagad raya ini. Umma yakin ayahmu akan baik-baik saja” jawab ibunya. Sebenarnya, ada kekhawatiran yang mendalam dari jiwa sang ibu ketika berkata demikian kepada Mabrouk anaknya, pertanyaan itulah yang selalu mengisi hari-harinya, apakah suaminya baik-baik saja?.

“Umma, jikalau engkau mengijinkan. Aku juga akan berangkat ke medan perang. Aku tak perduli jika darahku di takdirkan berceceran, aku yakin darah ini akan menjadi minyak wangi seharum bunga kesturi di surga nanti”.

Ibunya hanya diam. Mabrouk selalu paham jika ibunya tidak akan mengijinkan. Kedua kakaknya telah menjadi korban dahsyatnya perang ini tiga hari yang lalu. Dialah satu-satunya yang bisa di harapkan untuk menemani ibunya, apalagi ayahnya sedang berada di medan perang, entah saat ini masih hidup atau sudah syahid.

Seharian tinggal di rumah itu hanya diisi oleh diam, termenung dalam keheningan. Setiap penghuni berjalan dengan pikirannya sendiri-sendiri. Seringkali mereka kehabisan jatah makanan, karena truk-truk pengangkut  bantuan telah dimusnahkan terlebih dahulu sebelum memasuki perbatasan. Jikalau memang ada waktu makan, mereka lebih banyak diam. Jika mereka kelaparan, mereka hanya bisa menuggu jika sewaktu-waktu akan ada mukjizat datang dan seseorang berhasil membawa makanan dari luar. Atau berharap perang ini akan segera usai.

Jika terdengar suara ledakan, mereka akan diam dan saling berpelukan. Berdoa semoga Tuhan bisa melindungi mereka, paling tidak untuk saat ini, karena esok bom-bom itu akan melintas lagi. Terkadang beberapa meter saja dari persembunyian mereka, bahkan seringkali percikan letusan mengenai tembok rumah yang sudah setengah hancur itu.

***

Pagi itu, seperti biasanya Mabrouk bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah, sebenarnya tempat itu tak layak jika disebut dengan sekolah, karena bangunannya sudah rata dengan tanah. Mereka belajar di tempat terbuka. Pelajaran di sekolah itu bukan matematika atau ilmu-ilmu umum sebagaimana biasanya. Di sekolah itu Mabrouk dan teman-temannya di ajari strategi untuk berperang, mereka belajar bagaimana cara mempertahankan diri. Sesekali juga ada pelajaran penyejuk hati tentang pahala jihad dan balasan bagi orang-orang yang berjuang demi membela agama dan negara. Pelajaran itulah yang disukai Mabrouk dan teman-temannya. Oleh sebab itulah mereka tidak pernah takut untuk belajar di tempat terbuka.

Sepulang sekolah, secara tidak sengaja Mabrouk sekilas melihat tentara musuh sedang melintas di jalan yang biasa dilewatinya ketika pulang sekolah. Dengan mengendap-endap, dia ikuti jejak langkah tentara musuh itu dari kejauhan. Ternyata, tempat persembunyian mereka tidak jauh dari tempat persembunyiaannya selama ini. Mungkin mereka hanya menunggu waktu untuk meluluhlantakkan kota itu.

Mabrouk pulang kembali ke tempat pesembunyiannya dengan hati-hati, karena khawatir sewaktu-waktu tentara musuh akan menyerangnya dari belakang. Di dalam rumah itu, Mabrouk berpikir mencari cara bagaimana cara menyelinap masuk ke tempat tentara musuh itu dengan tujuan untuk mengambil senjata-senjata mereka. Pikirannya belum sampai untuk menghancurkan tempat pesembunyian mereka, kekuatannya tidak akan cukup untuk melawan musuh sebanyak itu. Entah berapa jumlah mereka? Mabrouk tak bisa mengira-ngira.

Mabrouk sengaja tidak menceritakan perihal tempat persembunyian tentara musuh kepada siapa pun penghuni rumah itu, Mabrouk khawatir semua penghuni rumah itu akan cemas dan malah menimbulkan kegaduhan sehingga musuh akan semakin bernafsu untuk menyerang. Untuk sementara, biar dia sendiri saja yang tahu.

***

Umma, maafkan aku jika aku mengecewakanmu karena tidak mengikuti nasihatmu. Aku akan melakukan penyelinapan ke tempat tentara jahanam yang telah aku ketahui diam-diam. Jikalau Allah mengijinkan, aku yakin kita akan bertemu lagi di dunia ini. Jikalau ajalku telah menanti, aku rela. Karena usia adalah kehendak Yang Maha Kuasa. Dan jika kita semua sudah kembali berjumpa di surga, berbahagialah bersamaku. Aku minta Umma berdoa kepada Allah, semoga operasi syahidku sukses. Aku persembahkan jiwaku karena Allah dan tanah air.

Surat itu sengaja di tinggalkan Mabrouk sebelum berangkat menuju medan pertaruhan nyawanya. Tekadnya sudah bulat untuk membela negara. Tujuannya hanya mengambil senjata-senjata tentara musuh itu entah bagaimana caranya. “Aku yakin Allah akan memberi jalan keluar bagi hambanya yang benar-benar melangkah menjunjung jalan kebenaran,” batinnya dalam hati.

Langkah demi langkah Mabrouk lewati dengan bacaan basmalah, dia yakin hidayah Tuhan akan selalu datang. Puing-puing rumah dia lewati dengan berhati-hati, sebenarnya, ada sedikit perasaan ragu dalam hatinya untuk melanjutkan operasi syahidnya itu, tetapi tekadnya telah mengalahkan semuanya. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah secepat mungkin menyelinap ke tempat persembunyian tentara jahanam itu, kemudian mengambil senjata-senjata mereka, hanya itu saja. Selebihnya dia serahkan kepada Yang Maha Kuasa.

Rumah yang dijadikan tempat mengintai dan persembuyian oleh tentara musuh itu sebenarnya lebih menyedihkan dari rumah yang Mabrouk tempati saat ini, tetapi mungkin inilah alasan kenapa mereka memilih rumah itu, mungkin menurut mereka rumah itu cukup aman sebagai tempat mengintai dan kemungkinan untuk dicurigai sangatlah kecil.

Mabrouk berhasil menyelinap lebih dekat ke rumah itu, dia masih agak ragu untuk melangkah lebih maju, diperhatikannya lingkungan di sekelilingnya, sepi. Jantungnya semakin berdetak tak karuan. Bocah seusia Mabrouk pasti akan sedikit takut jika menghadapi kondisi seperti itu, berjalan sendiri di wilayah kekuasaan musuh. Tetapi keberaniannya mengalahkan panglima yang sudah berpengalamn di medan perang. Mungkin, malaikat-malaikat kini sedang berdoa demi keselamatannya.

***

Allahu Akbar!!! Allahu Akbar!!!
Teriakan-teriakan terdengar dari sebuah sudut Palestina, sebuah ledakan besar telah meluluhlantakkan sebuah rumah di sudut kota Gaza. Para regu penyelamat tiba-tiba datang, entah mereka berhasil masuk kota ini melewati perbatasan dan pintu sebelah mana?.

Di sebuah tandu gardu pertolongan, seorang bocah kecil kurus berlumuran darah, tangan kanannya telah dia korbankan atas nama negara. Jihad yang tidak sia-sia, secara tidak sengaja bocah itu menemukan sebuah granat di tempat persembunyian musuh. Dilemparnya granat itu ke sebuah ruangan yang ia yakini sebagai tempat persembunyian para tentara jahanan, kemudian ia melarikan diri sebelum granat itu mendarat. Namun nahas, granat itu keburu meledak sebelum bocah itu keluar dari rumah yang baru saja diledakkannya. Bocah itu sedikit terlambat berlari sehingga tangan kanannya terkena percikan api dari ledakan itu. Semua tentara yang berada di dalam rumah itu tak ada yang selamat.

Sisa-sisa embusan nafasnya masih terasa, bocah kecil itu masih  bernyawa. Tuhan baru saja melindungi satu tempat di sudut Palestina. Bocah kecil itu berbisik pelan “Perang belum usai”.


(Yogyakarta, 2008)
Sebuah cerita untuk Gaza.


Tidak ada komentar: