Oleh: Moh. Fathoni )*
Karya sastra, bagi saya, bukan sekadar catatan atau tulisan yang ditulis tanpa gagasan atau sesuatu yang ditulis tanpa muatan apa-apa. Tetapi barangkali pandangan ini cukup berlebihan jika semua karya sastra dianggap dan dinilai atau disajikan dengan pemikiran yang berisi gagasan besar, atau memuat hal-hal yang perlu dan penting, dihasilkan dari perenungan yang mendalam seorang pengarang. Sehingga, karya sastra yang demikian akan dibaca sebagai wujud penggambaran suatu kehidupan, sebagai pengalaman seorang manusia.
:::
Dunia dalam suatu teks. Begitu pandangan Clifford Geertz, seorang
eksponen antropolog, dalam suatu ceramah
Musim Semi tahun 1983 di Stanford University. Beberapa tahun kemudian, dia
menjelaskan bahwa apa yang pernah disampaikannya itu berorientasi tekstual.
Yakni meski dibicarakan dalam kepentingan antropologi yang cenderung bersifat
biografis dan historis, tetapi dia menegaskan bahwa wacana teks dalam
antropologi kurang diperhatikan, dan untuk
itulah perlu digunakan cara pandang kesusastraan.
Kemudian, dalam buku-bukunya dia menggugat banyak hal, terutama hal-hal
yang mendasar. Apa yang fakta dan fiksi, yang selama itu dianggap berbeda dan
pasti jawabnya, dia pertanyakan. Lebih jauh menurutnya, dalam banyak hal yang
disebut fakta sesungguhnya merupakan sesuatu yang fiktif. Sedangkan apa yang
disebut fiksi tak sepenuhnya subjektif atau imajinatif. Sebuah karya sastra tak
dapat lepas dari pergumulan dan pengalaman sosialnya. Pun, suatu karya ilmiah
tak serta merta mengklaim mengandung fakta. Akhirnya, "fakta" atau
"fiksi" merupakan suatu konstruksi dan tafsiran yang memilih bentuk
dan cara penyajian sesuai dengan kepentingannya masing-masing, pilihan
saintifik atau estetik.
Cara pandangannya yang menentang kemapanan ilmu-ilmu sosial menjalar
pula dalam ranah kesusastraan, terutama dalam hal penafsiran. Tahun 1986
menyeruak isu yang lebih provokatif
mengenai wacana "krisis representasi" dan "krisis
legitimasi", diantaranya disuarakan dalam buku Writing Culture (1986).
Gugatan atas kemapanan otoritas nilai yang fakta Clifford Geertz bukan
yang pertama, pendekatan melalui cara pandang bahasa sebelumnya pernah
dikemukakan Levi-Strauss, yang juga berlatarbelakang seorang antropolog. Menurutnya, bahasa dan kehidupan kebudayaan
saling pengaruh-mempengaruhi. Bila Levi-Strauss berpandangan dengan model
lingustik-struktural, maka Clifford Geertz lebih pada persoalan makna, titik
tekannya pada ranah interpretasi. Jika Levi-Strauss menggunakan nalar simbolis
manusia yang membingkai bahasa dengan budaya, maka Clifford Geertz menggunakan
nalar interaksi estetik.
Dalam melihat laku budaya (kebudayaan), Clifford Geertz tidak sekadar
menjalin fenomena-fenomena yang
dijejerkan atau dirangkai sebagai suatu budaya atau tradisi dalam masyarakat
tertentu yang hidup pada masa tertentu, tetapi juga mencari makna kehidupan.
Misalnya, ketika dia membaca ulang karya-karya yang berkaitan dengan perjalanan
atau ekspedisi di Barat. Menurutnya, kebenaran yang dijalin di dalam karya itu
sebagaimana mitos, yang mengukuhnya (revisionisme) ekspansi Eropa (Barat).
Peristiwa-peristiwa yang disulam dengan kecocokan seperti kain, bermotif
tertentu, dan campur tangan abstraksi yang menjadi satu. Maka, sekali lagi cara
pandang teks-mitos Levi-Strauss mengarah pada ketunggalan, sedangkan Clifford
Greertz pada representasi-representasi yang jamak.
Pengarang sebagai pemegang otoritas yang berhak bicara, pembaca di sini
akan dikorbankan. Maka, produk kultural bukan dijadikan objek, tapi sebagai
subjek yang mengandung dunianya sendiri, dunia yang ada di dalam teks. Dengan
demikian, pandangan ini menyarankan bahwa memang kehidupan benar-benar ada,
tidak hanya di dalam konstruksi teks yang ada. Kebenaran dan kenyataan tidak
tunggal sebagaimana mitos yang dibaca-baca melalui suatu teks, sebab sifat teks
selalu tidak cukup dan tidak lengkap.
Dalam hal ini bukan maksud membandingkan kedua pemikiran dan
pemikirnya, tetapi untuk mencari uraian-uraian yang merentang di antara
perlintasan bahasa, budaya, dan sastra. Bahwa sastra jika dianggap sebagai
wujud penggambaran suatu kehidupan, maka sastra sendiri pun tak lepas dari
sengkarut pemaknaan yang disebut sebagai wacara representasi, sebagaimana yang
digugat pula oleh Linda Hutcheon. Bahwa menurutnya, dunia dalam suatu teks
sarat dengan representasi, ideologi, dan parodi, apalagi dalam kehidupan yang
didominasi oleh suatu otoritas nilai.
Dalam karya sastra mengandung representasi, bahkan karya sendiri pun
merupakan representasi yang lain, sebagai teks--sebagaimana yang dimaksud dalam
diskursus. Jika di dalam suatu karya sastra menceritakan suatu gambaran
kehidupan manusia, maka kehidupan itu adalah gambaran yang diandaikan seperti
kehidupannya manusia, bukan kehidupan yang sebenarnya. Sebab kehidupan yang
diandaikan adalah kehidupan yang telah ditafsirkan.
Jika di dalam karya sastra terdapat tuhan, maka itu merupakan suatu
andaian tentang tuhan, suatu tafsir mengenai tuhan, jadi bukan tuhan yang
sebenarnya. Jika di dalam karya sastra menggambarkan suatu kehidupan masyarakat
tertentu, maka itu merupakan tafsir atas pengalaman seorang pengarang. Dengan
demikian jika saya dihadapkan pada karya sastra (novel) yang mengisahkan
kehidupan nelayan di Kampung Kalompang, maka akan muncul pertanyaan: seperti
apa kehidupan nelayan itu di pesisir yang direpresentasikan, dan makna apa yang
dilekatkan pada representasi itu?
Sebagaimana di atas disampaikan, novel ini mengisahkan kehidupan
nelayan di Kampung Kalompang. Kampung itu berada di pesisir utara pulau Madura,
tepatnya di Desa Ambunten, Sumenep. Hampir semua keluarga di Kalompang hidup
mengandalkan laut. Profesi mereka rata-rata selain nelayan, kuli-kuli angkut
ikan, dan penjual ikan.
Kehidupan warga Kalompang hidup rukun, saling berdampingan dengan
tetangganya. Mereka demikian karena menganut tata-tata nilai agama dan
adat-tradisi nenek moyang. Yakni, sebagai muslim mereka taat pemeluk
ajaran-ajaran islam, baik sebagai individu maupun secara sosial. Ibadah sholat
mereka tak pernah tinggalkan, bahkan ketika melaut sekalipun, jika tidak melaut
mereka lakukan secara jamaah di masjid kampung. Apalagi ketika tiba hari raya
Islam, masjid kampung tidak cukup menampung mereka semua.
Ajaran agama yang mereka anut tidak berbenturan dengan adat-tradisi.
Ketika upacara Rokat Tase’ atau
labuhan semacam petik laut, peringatan
ritual tahunan mereka, sebagai ungkapan rasa syukur mereka kepada Se Kobasa
Tase (Sang Penguasa Laut), mereka gunakan doa-doa bernafas islam. Mereka
juga rayakan syukur itu dengan musik dan tarian tradisi mereka. Musik khas
tradisi Madura Saronen. Bahkan, mereka juga tidak mempermasalahkan ketika musik
khas mereka itu diganti dengan musik dangdut, yang identik dengan musik
nasional katanya. Gambaran ini menandakan mereka secara adat-tradisi, cara
pandang masyarakat yang terbuka dengan sesuatu yang datang dari luar atau dari
masyarakat lain.
Selain ritual tahunan, dalam kesehariannya pun mereka terbiasa
menggabungkan ajaran Islam ini dengan adat-tradisi mereka. Misalnya, acara
kelahiran, kematian, selamatan perahu baru, rumah baru atau pindah rumah, dan
lainnya, digunakan ayat-ayat Qur'an dan membacakan hadiah fatihah kepada para
leluhur mereka.
Dalam keseharian mereka pun terbiasa dengan tolong menolong tanpa pamrih.
Dengan tetangga mereka terbiasa saling meminjam perlengkapan atau minta kue dan
minuman ketika di rumah tidak tersedia, atau tidak ada istri yang membuatkan.
Ketika menaikkan perahu mereka cukup minta tolong. Ketika ada seorang yang
terdampar mereka terbiasa merawatnya, atau menyediakan rumah tempat mereka
menginap. Bagi mereka, kebaikan sudah wajar dilakukan tanpa imbalan material.
Pandangan hidup mereka seperti itu searah dengan keyakinan mereka
kepada tuhan, mereka taat pada ajaran agamanya.
Hampir tidak ada watak jahat atau sifat buruk dalam diri mereka. Sifat
buruk hanya beberapa kali digambarkan dalam cerita. Seperti sifat buruk seorang
Bajing Durahman dan anak buahnya, sifat beberapa warga ketika menyelamatkan
nelayan yang karam dan mengambili barang-barang milik korban, atau watak polisi
yang takut dan tidak berbuat apa-apa terhadap kesewenangan bajing yang
berkuasa.
Namun, sikap dan pandangan hidup mereka tidak serta merta membuat
mereka berani kepada penguasa Bajing, atau membenarkan sikap polisi, atau lawan
kebijakan pemerintah yang tidak mereka setujui. Pembangunan tanggul mereka
diamkan saja, bahkan diantara warga ada yang bersikap oportunis. Menghadapi
Bajing yang keji mereka takut dan kompromis, bahkan ada yang melarikan diri
dengan alasan merantau dan kerja ke luar negeri—sebagaimana kasus Adnan.
Ironisnya, mereka akan menerima pasrah terhadap nasib mereka sendiri, sifat
mereka tidak seperti ketika di laut, yang berani menghadapi segala marabahaya.
Antara laut dan darat seperti dibedakan, seperti ada pembedaan yang jelas
antara keduanya. Di laut mereka menghadapi kekuasaan tuhan, di darat mereka
menghadapi kekuasaan manusia, sosialnya. Padahal ketidakpastian hidup dan di
darat sama saja.
Pada persoalan-persoalan yang ada di daratan, atau bersifat sosial,
mereka cenderung pasrah dan tidak berdaya. Ketika menghadapi alam mereka
tangguh, gagah berani, tetapi menghadapi sesama manusia mereka takut dan tidak
bisa apa-apa. Sedangkan persoalan yang mereka hadapi di darat, dalam lingkup
sosial, semakin mendesak dan berdampak kepada keberlangsungan sesama warga yang
lain. Sedangkan, mempertimbangankan gagasan yang sampaikan dalam novel ini
bukan ditujukan pada ranah sosial atau tradisi budaya yang kolektif sifatnya,
tetapi lebih pada individu. Atau, hanya berlaku ketika di laut, tidak di darat.
Dengan demikian, pandangan yang diusung Kalompang
tidak berkaitan dengan ranah budaya. Budaya bersifat kolektif, bukan
subjektif.
Maka, pertanyaan yang mengemuka adalah jangan-jangan persoalan
tergerusnya pasir laut yang membuat rumah mereka menjadi sangat dekat jaraknya
dengan laut bukan persoalan bersama? Apakah pembangunan tanggul di depan rumah
mereka yang membuat rumah mereka membelakangi laut dan menjauhkan mereka dengan
laut sebagai kehidupan mereka itu bukan persoalan sosial? Apakah kekuasaan
Bajing yang sewenang-wenang, yang tidak tunduk kepada hukum, pada adat dan tradisi,
atau tidak berdayanya polisi yang mestinya melindungi warga di depan Bajing,
bukan masalah sosial? Apakah semua itu juga bukan persoalan budaya? Atau,
jangan-jangan yang dianggap persoalan budaya itu hanya persoalan kenangan, soal
masa lampau yang romantis, yang sifatnya nostalgi pribadi?
Dalam novel ini tidak memberikan gambaran contoh budaya-tradisi yang
menyeluruh. Artinya, budaya yang dianut dan dilakukan oleh masyarakat tidak
mampu menghadapi persoalan perubahan zaman: persoalan sosial, politik, budaya,
dan nilai-nilai pandangan hidup yang berubah. Barangkali budaya laut yang
dimaksud dalam novel ini mengacu pada pandangan hidupnya dan nilai-nilai
tradisi yang bersumber dari laut, yang dianut oleh orang-orang dulu.
Perenungan tokoh-tokoh utama menunjukkan jelas bahwa idealitas
masyarakat akan berhadapan dengan persoalan ekonomi. Kebutuhan ekonomi yang
mendasar ini berseberangan kemampuan mereka. Misalnya, pada bagian-bagian akhir
cerita, mereka rela terpaksa menjual rumah mereka kepada pebisnis dari
Surabaya. Hasil penjualan rumah itu digunakan untuk melunasi hutang-hutang dan
untuk membeli perahu yang sebelumnya hancur dihajar badai.
Persoalan ekonomi inilah yang disebut di muka yang mendominasi , yang
menjadi acuan nilai-nilai dalam kehidupan mereka. Jika demikian, maka persoalan
sosial-budaya di dalam novel ini disuguhkan sepintas lalu, sebagai bahan-bahan
pelengkap yang menjadi lintasan cerita. Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh
tokoh-tokoh di dalam cerita bisa jadi tidak hanya terjadi di pesisir Kalompang, tapi juga
terjadi di daerah-daerah pesisir lainnya. Budaya dan tradisi di dalam cerita
memang mungkin khas dalam daerah yang bersangkutan, tetapi persoalan yang
dimunculkan adalah perjuangan sepasang suami-istri yang tinggal di pesisir
pantai, dengan mengandalkan penghidupannya dari hasil laut. Usaha-usaha mereka
berdua menghadapi bahtera kehidupan.
Jika menggunakan pandangan tokoh-tokoh di dalam cerita, maka akan
muncul pemaknaan yang lain. Meski menggunakan narator pihak ketiga, tokoh utama
yang dipilih pengarang adalah
suami-istri beranak satu. Mattali dan Rofiqah. Mattali seorang nelayan yang
menjadi tumpuan keluarganya. Bersama istrinya, ia berbagi tugas. Mattali
bekerja di laut, dan istrinya yang di darat mengurus penjualan ikan-ikan hasil
tangkapan dan keuangan keluarga. Sedang anaknya, Marsud, masih kanak-kanak yang
suka bermain layang-layang, nonton TV, atau bermain di sekitar pesisir.
Sejak lahir Mattali hidup di pesisir, kehidupan yang turun-temurun dari
bapaknya, kakeknya, leluhur dan nenek moyangnya. Dunia idealnya adalah dunia
masa lalu. Masa lalu ketika ia masih kecil. Kondisi pesisir yang teduh dengan
pepohonan, pasir yang bersih, dan pasir yang luas seluas lapangan bola sehingga
jarak air pasang dengan beranda rumah mereka cukup jauh. Luas pesisir itu dapat
digunakan bermain, dan aktivitas lainnya. Luas pesisir itu masa kecil Mattali,
ketika Mattali besar dan berkeluarga, pesisir semakin menyempit, rumahnya
semakin dekat dengan laut. Ketika angin laut bertiup kencang rumah mereka tidak
basah oleh air laut dan pasir-pasir basah.
Kampung tempat Mattali tinggal merupakan pesisir yang potensial,
sebagai tempat pernjualan dan pengolahan hasil laut. Mattali dan warga yang
tinggal di kampung berpenghasilan dari laut.
Seluruh aktivitas sosial dan budaya-tradisi Mattali pun bersumber dari
laut.
Namun, ketika Mattali besar tradisi itu diceritakan menghadapi arus perubahan. Dan, perubahan itu bukan
berasal dari laut, tapi dari darat. Pandangan hidup di Kalompang dan
segala kenangan Mattali mengenai masa kecilnya itu berubah. Rumah yang
ditempatnya dijual karena untuk melunasi hutang-hutangnya dan untuk membeli
perahu (tanpa perahu apalah artinya nelayan). Nelayan tidak murah membuat
perahu sendiri, sebab pohon-pohon jati madura semakin sulit dicari. Segala
kegelisahan pengarang ditunjukkan dalam kutipan berikut:
"Kampung ini seakan sudah jauh berlari, entah apa yang
ditinggalkannya—mungkin kenangan dan nostalgia? Terkadang ia ingin kembali ke
Kalompang yang ia kenali ketika masa kecilnya. Pohon-pohon kelapa, karang yang
menjadi tempat persembunyian ikan-ikan kecil ketika air laut sedang
surut,hamparan pasir pantai yang luas melebihi lebar pangan bola, dan
ingatan-ingatan lain tentang masa kecilnya yang membuat harinya semakin miris
milihat keadaan Kalompang sekarang."
"Namun, ia juga tak bisa
mengelak, bahwa perubahan memang hukum alam. Barangkali perubahan itu memang
perlu. Hanya saja ia tak pernah mengira perubahan itu akan sejauh ini. Mungkin
tak lama lagi, kampung ini akan berubah jadi pusat industri. Bermula dari
tanggul, kemudian disusul pabrik-pabrik kecil, tumbuh jadi pabrik-pabrik yang
semakin besar, lambat laun keramaian akan datang. Orang-orang asing akan
memenuhi kampung ini" (hlm. 279-280).
Sedangkan rumah Mattali telah dijual, tanggul memang sudah dibangun,
dan perubahan kampung akan datang. Mattali sudah melunasi hutang-hutangnya, dia
tetap melaut dengan perahunya yang baru dibeli. Perahu yang dinamainya dengan
"Olle Ollang". []
* Moh. Fathoni,
mahasiswa Jurusan Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta. Tulisan ini disampaikan dalam bedah novel Kalompang oleh Masyarakat Bawah Pohon Yogyakarta, 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar