Selasa, 09 Juni 2015

Wacana Budaya dalam Suatu Teks; Membaca Novel Kalompang Badrul Munir Chair



Oleh: Moh. Fathoni )*

Karya sastra, bagi saya, bukan sekadar catatan atau tulisan yang ditulis tanpa gagasan atau sesuatu yang ditulis tanpa muatan apa-apa. Tetapi barangkali pandangan ini cukup berlebihan jika semua karya sastra dianggap dan dinilai atau disajikan dengan pemikiran yang berisi gagasan besar, atau memuat hal-hal yang perlu dan penting, dihasilkan dari perenungan yang mendalam seorang pengarang. Sehingga, karya sastra yang demikian akan dibaca sebagai wujud penggambaran suatu kehidupan, sebagai pengalaman seorang manusia.

:::

Dunia dalam suatu teks. Begitu pandangan Clifford Geertz, seorang eksponen antropolog, dalam  suatu ceramah Musim Semi tahun 1983 di Stanford University. Beberapa tahun kemudian, dia menjelaskan bahwa apa yang pernah disampaikannya itu berorientasi tekstual. Yakni meski dibicarakan dalam kepentingan antropologi yang cenderung bersifat biografis dan historis, tetapi dia menegaskan bahwa wacana teks dalam antropologi kurang diperhatikan,  dan untuk itulah perlu digunakan cara pandang kesusastraan.

Kemudian, dalam buku-bukunya dia menggugat banyak hal, terutama hal-hal yang mendasar. Apa yang fakta dan fiksi, yang selama itu dianggap berbeda dan pasti jawabnya, dia pertanyakan. Lebih jauh menurutnya, dalam banyak hal yang disebut fakta sesungguhnya merupakan sesuatu yang fiktif. Sedangkan apa yang disebut fiksi tak sepenuhnya subjektif atau imajinatif. Sebuah karya sastra tak dapat lepas dari pergumulan dan pengalaman sosialnya. Pun, suatu karya ilmiah tak serta merta mengklaim mengandung fakta. Akhirnya, "fakta" atau "fiksi" merupakan suatu konstruksi dan tafsiran yang memilih bentuk dan cara penyajian sesuai dengan kepentingannya masing-masing, pilihan saintifik atau estetik.

Cara pandangannya yang menentang kemapanan ilmu-ilmu sosial menjalar pula dalam ranah kesusastraan, terutama dalam hal penafsiran. Tahun 1986 menyeruak isu  yang lebih provokatif mengenai wacana "krisis representasi" dan "krisis legitimasi", diantaranya disuarakan dalam buku Writing Culture (1986).

Gugatan atas kemapanan otoritas nilai yang fakta Clifford Geertz bukan yang pertama, pendekatan melalui cara pandang bahasa sebelumnya pernah dikemukakan Levi-Strauss, yang juga berlatarbelakang seorang antropolog.  Menurutnya, bahasa dan kehidupan kebudayaan saling pengaruh-mempengaruhi. Bila Levi-Strauss berpandangan dengan model lingustik-struktural, maka Clifford Geertz lebih pada persoalan makna, titik tekannya pada ranah interpretasi. Jika Levi-Strauss menggunakan nalar simbolis manusia yang membingkai bahasa dengan budaya, maka Clifford Geertz menggunakan nalar interaksi estetik. 

Dalam melihat laku budaya (kebudayaan), Clifford Geertz tidak sekadar menjalin fenomena-fenomena  yang dijejerkan atau dirangkai sebagai suatu budaya atau tradisi dalam masyarakat tertentu yang hidup pada masa tertentu, tetapi juga mencari makna kehidupan. Misalnya, ketika dia membaca ulang karya-karya yang berkaitan dengan perjalanan atau ekspedisi di Barat. Menurutnya, kebenaran yang dijalin di dalam karya itu sebagaimana mitos, yang mengukuhnya (revisionisme) ekspansi Eropa (Barat). Peristiwa-peristiwa yang disulam dengan kecocokan seperti kain, bermotif tertentu, dan campur tangan abstraksi yang menjadi satu. Maka, sekali lagi cara pandang teks-mitos Levi-Strauss mengarah pada ketunggalan, sedangkan Clifford Greertz pada representasi-representasi yang jamak.

Pengarang sebagai pemegang otoritas yang berhak bicara, pembaca di sini akan dikorbankan. Maka, produk kultural bukan dijadikan objek, tapi sebagai subjek yang mengandung dunianya sendiri, dunia yang ada di dalam teks. Dengan demikian, pandangan ini menyarankan bahwa memang kehidupan benar-benar ada, tidak hanya di dalam konstruksi teks yang ada. Kebenaran dan kenyataan tidak tunggal sebagaimana mitos yang dibaca-baca melalui suatu teks, sebab sifat teks selalu tidak cukup dan tidak lengkap.

Dalam hal ini bukan maksud membandingkan kedua pemikiran dan pemikirnya, tetapi untuk mencari uraian-uraian yang merentang di antara perlintasan bahasa, budaya, dan sastra. Bahwa sastra jika dianggap sebagai wujud penggambaran suatu kehidupan, maka sastra sendiri pun tak lepas dari sengkarut pemaknaan yang disebut sebagai wacara representasi, sebagaimana yang digugat pula oleh Linda Hutcheon. Bahwa menurutnya, dunia dalam suatu teks sarat dengan representasi, ideologi, dan parodi, apalagi dalam kehidupan yang didominasi oleh suatu otoritas nilai.

Dalam karya sastra mengandung representasi, bahkan karya sendiri pun merupakan representasi yang lain, sebagai teks--sebagaimana yang dimaksud dalam diskursus. Jika di dalam suatu karya sastra menceritakan suatu gambaran kehidupan manusia, maka kehidupan itu adalah gambaran yang diandaikan seperti kehidupannya manusia, bukan kehidupan yang sebenarnya. Sebab kehidupan yang diandaikan adalah kehidupan yang telah ditafsirkan.

Jika di dalam karya sastra terdapat tuhan, maka itu merupakan suatu andaian tentang tuhan, suatu tafsir mengenai tuhan, jadi bukan tuhan yang sebenarnya. Jika di dalam karya sastra menggambarkan suatu kehidupan masyarakat tertentu, maka itu merupakan tafsir atas pengalaman seorang pengarang. Dengan demikian jika saya dihadapkan pada karya sastra (novel) yang mengisahkan kehidupan nelayan di Kampung Kalompang, maka akan muncul pertanyaan: seperti apa kehidupan nelayan itu di pesisir yang direpresentasikan, dan makna apa yang dilekatkan pada representasi itu?

Sebagaimana di atas disampaikan, novel ini mengisahkan kehidupan nelayan di Kampung Kalompang. Kampung itu berada di pesisir utara pulau Madura, tepatnya di Desa Ambunten, Sumenep. Hampir semua keluarga di Kalompang hidup mengandalkan laut. Profesi mereka rata-rata selain nelayan, kuli-kuli angkut ikan, dan penjual ikan.

Kehidupan warga Kalompang hidup rukun, saling berdampingan dengan tetangganya. Mereka demikian karena menganut tata-tata nilai agama dan adat-tradisi nenek moyang. Yakni, sebagai muslim mereka taat pemeluk ajaran-ajaran islam, baik sebagai individu maupun secara sosial. Ibadah sholat mereka tak pernah tinggalkan, bahkan ketika melaut sekalipun, jika tidak melaut mereka lakukan secara jamaah di masjid kampung. Apalagi ketika tiba hari raya Islam, masjid kampung tidak cukup menampung mereka semua.

Ajaran agama yang mereka anut tidak berbenturan dengan adat-tradisi. Ketika upacara Rokat Tase’ atau labuhan semacam petik laut,  peringatan ritual tahunan mereka, sebagai ungkapan rasa syukur mereka kepada Se Kobasa Tase (Sang Penguasa Laut), mereka gunakan doa-doa bernafas islam. Mereka juga rayakan syukur itu dengan musik dan tarian tradisi mereka. Musik khas tradisi Madura Saronen. Bahkan, mereka juga tidak mempermasalahkan ketika musik khas mereka itu diganti dengan musik dangdut, yang identik dengan musik nasional katanya. Gambaran ini menandakan mereka secara adat-tradisi, cara pandang masyarakat yang terbuka dengan sesuatu yang datang dari luar atau dari masyarakat lain.

Selain ritual tahunan, dalam kesehariannya pun mereka terbiasa menggabungkan ajaran Islam ini dengan adat-tradisi mereka. Misalnya, acara kelahiran, kematian, selamatan perahu baru, rumah baru atau pindah rumah, dan lainnya, digunakan ayat-ayat Qur'an dan membacakan hadiah fatihah kepada para leluhur mereka.

Dalam keseharian mereka pun terbiasa dengan tolong menolong tanpa pamrih. Dengan tetangga mereka terbiasa saling meminjam perlengkapan atau minta kue dan minuman ketika di rumah tidak tersedia, atau tidak ada istri yang membuatkan. Ketika menaikkan perahu mereka cukup minta tolong. Ketika ada seorang yang terdampar mereka terbiasa merawatnya, atau menyediakan rumah tempat mereka menginap. Bagi mereka, kebaikan sudah wajar dilakukan tanpa imbalan material.

Pandangan hidup mereka seperti itu searah dengan keyakinan mereka kepada tuhan, mereka taat pada ajaran agamanya.  Hampir tidak ada watak jahat atau sifat buruk dalam diri mereka. Sifat buruk hanya beberapa kali digambarkan dalam cerita. Seperti sifat buruk seorang Bajing Durahman dan anak buahnya, sifat beberapa warga ketika menyelamatkan nelayan yang karam dan mengambili barang-barang milik korban, atau watak polisi yang takut dan tidak berbuat apa-apa terhadap kesewenangan bajing yang berkuasa.

Namun, sikap dan pandangan hidup mereka tidak serta merta membuat mereka berani kepada penguasa Bajing, atau membenarkan sikap polisi, atau lawan kebijakan pemerintah yang tidak mereka setujui. Pembangunan tanggul mereka diamkan saja, bahkan diantara warga ada yang bersikap oportunis. Menghadapi Bajing yang keji mereka takut dan kompromis, bahkan ada yang melarikan diri dengan alasan merantau dan kerja ke luar negeri—sebagaimana kasus Adnan. Ironisnya, mereka akan menerima pasrah terhadap nasib mereka sendiri, sifat mereka tidak seperti ketika di laut, yang berani menghadapi segala marabahaya. Antara laut dan darat seperti dibedakan, seperti ada pembedaan yang jelas antara keduanya. Di laut mereka menghadapi kekuasaan tuhan, di darat mereka menghadapi kekuasaan manusia, sosialnya. Padahal ketidakpastian hidup dan di darat sama saja. 

Pada persoalan-persoalan yang ada di daratan, atau bersifat sosial, mereka cenderung pasrah dan tidak berdaya. Ketika menghadapi alam mereka tangguh, gagah berani, tetapi menghadapi sesama manusia mereka takut dan tidak bisa apa-apa. Sedangkan persoalan yang mereka hadapi di darat, dalam lingkup sosial, semakin mendesak dan berdampak kepada keberlangsungan sesama warga yang lain. Sedangkan, mempertimbangankan gagasan yang sampaikan dalam novel ini bukan ditujukan pada ranah sosial atau tradisi budaya yang kolektif sifatnya, tetapi lebih pada individu. Atau, hanya berlaku ketika di laut, tidak di darat. Dengan demikian, pandangan yang diusung Kalompang tidak berkaitan dengan ranah budaya. Budaya bersifat kolektif, bukan subjektif.

Maka, pertanyaan yang mengemuka adalah jangan-jangan persoalan tergerusnya pasir laut yang membuat rumah mereka menjadi sangat dekat jaraknya dengan laut bukan persoalan bersama? Apakah pembangunan tanggul di depan rumah mereka yang membuat rumah mereka membelakangi laut dan menjauhkan mereka dengan laut sebagai kehidupan mereka itu bukan persoalan sosial? Apakah kekuasaan Bajing yang sewenang-wenang, yang tidak tunduk kepada hukum, pada adat dan tradisi, atau tidak berdayanya polisi yang mestinya melindungi warga di depan Bajing, bukan masalah sosial? Apakah semua itu juga bukan persoalan budaya? Atau, jangan-jangan yang dianggap persoalan budaya itu hanya persoalan kenangan, soal masa lampau yang romantis, yang sifatnya nostalgi pribadi?

Dalam novel ini tidak memberikan gambaran contoh budaya-tradisi yang menyeluruh. Artinya, budaya yang dianut dan dilakukan oleh masyarakat tidak mampu menghadapi persoalan perubahan zaman: persoalan sosial, politik, budaya, dan nilai-nilai pandangan hidup yang berubah. Barangkali budaya laut yang dimaksud dalam novel ini mengacu pada pandangan hidupnya dan nilai-nilai tradisi yang bersumber dari laut, yang dianut oleh orang-orang dulu.

Perenungan tokoh-tokoh utama menunjukkan jelas bahwa idealitas masyarakat akan berhadapan dengan persoalan ekonomi. Kebutuhan ekonomi yang mendasar ini berseberangan kemampuan mereka. Misalnya, pada bagian-bagian akhir cerita, mereka rela terpaksa menjual rumah mereka kepada pebisnis dari Surabaya. Hasil penjualan rumah itu digunakan untuk melunasi hutang-hutang dan untuk membeli perahu yang sebelumnya hancur dihajar badai. 

Persoalan ekonomi inilah yang disebut di muka yang mendominasi , yang menjadi acuan nilai-nilai dalam kehidupan mereka. Jika demikian, maka persoalan sosial-budaya di dalam novel ini disuguhkan sepintas lalu, sebagai bahan-bahan pelengkap yang menjadi lintasan cerita. Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh tokoh-tokoh di dalam cerita bisa jadi tidak hanya  terjadi di pesisir Kalompang, tapi juga terjadi di daerah-daerah pesisir lainnya. Budaya dan tradisi di dalam cerita memang mungkin khas dalam daerah yang bersangkutan, tetapi persoalan yang dimunculkan adalah perjuangan sepasang suami-istri yang tinggal di pesisir pantai, dengan mengandalkan penghidupannya dari hasil laut. Usaha-usaha mereka berdua  menghadapi bahtera kehidupan.

Jika menggunakan pandangan tokoh-tokoh di dalam cerita, maka akan muncul pemaknaan yang lain. Meski menggunakan narator pihak ketiga, tokoh utama yang dipilih pengarang  adalah suami-istri beranak satu. Mattali dan Rofiqah. Mattali seorang nelayan yang menjadi tumpuan keluarganya. Bersama istrinya, ia berbagi tugas. Mattali bekerja di laut, dan istrinya yang di darat mengurus penjualan ikan-ikan hasil tangkapan dan keuangan keluarga. Sedang anaknya, Marsud, masih kanak-kanak yang suka bermain layang-layang, nonton TV, atau bermain di sekitar pesisir.

Sejak lahir Mattali hidup di pesisir, kehidupan yang turun-temurun dari bapaknya, kakeknya, leluhur dan nenek moyangnya. Dunia idealnya adalah dunia masa lalu. Masa lalu ketika ia masih kecil. Kondisi pesisir yang teduh dengan pepohonan, pasir yang bersih, dan pasir yang luas seluas lapangan bola sehingga jarak air pasang dengan beranda rumah mereka cukup jauh. Luas pesisir itu dapat digunakan bermain, dan aktivitas lainnya. Luas pesisir itu masa kecil Mattali, ketika Mattali besar dan berkeluarga, pesisir semakin menyempit, rumahnya semakin dekat dengan laut. Ketika angin laut bertiup kencang rumah mereka tidak basah oleh air laut dan pasir-pasir basah.

Kampung tempat Mattali tinggal merupakan pesisir yang potensial, sebagai tempat pernjualan dan pengolahan hasil laut. Mattali dan warga yang tinggal di kampung berpenghasilan dari laut.  Seluruh aktivitas sosial dan budaya-tradisi Mattali pun bersumber dari laut.

Namun, ketika Mattali besar tradisi itu diceritakan menghadapi  arus perubahan. Dan, perubahan itu bukan berasal dari laut, tapi dari darat. Pandangan hidup di Kalompang dan segala kenangan Mattali mengenai masa kecilnya itu berubah. Rumah yang ditempatnya dijual karena untuk melunasi hutang-hutangnya dan untuk membeli perahu (tanpa perahu apalah artinya nelayan). Nelayan tidak murah membuat perahu sendiri, sebab pohon-pohon jati madura semakin sulit dicari. Segala kegelisahan pengarang ditunjukkan dalam kutipan berikut:

"Kampung ini seakan sudah jauh berlari, entah apa yang ditinggalkannya—mungkin kenangan dan nostalgia? Terkadang ia ingin kembali ke Kalompang yang ia kenali ketika masa kecilnya. Pohon-pohon kelapa, karang yang menjadi tempat persembunyian ikan-ikan kecil ketika air laut sedang surut,hamparan pasir pantai yang luas melebihi lebar pangan bola, dan ingatan-ingatan lain tentang masa kecilnya yang membuat harinya semakin miris milihat keadaan Kalompang sekarang."

 "Namun, ia juga tak bisa mengelak, bahwa perubahan memang hukum alam. Barangkali perubahan itu memang perlu. Hanya saja ia tak pernah mengira perubahan itu akan sejauh ini. Mungkin tak lama lagi, kampung ini akan berubah jadi pusat industri. Bermula dari tanggul, kemudian disusul pabrik-pabrik kecil, tumbuh jadi pabrik-pabrik yang semakin besar, lambat laun keramaian akan datang. Orang-orang asing akan memenuhi kampung ini" (hlm. 279-280).

Sedangkan rumah Mattali telah dijual, tanggul memang sudah dibangun, dan perubahan kampung akan datang. Mattali sudah melunasi hutang-hutangnya, dia tetap melaut dengan perahunya yang baru dibeli. Perahu yang dinamainya dengan "Olle Ollang". []


* Moh. Fathoni, mahasiswa Jurusan Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tulisan ini disampaikan dalam bedah novel Kalompang oleh Masyarakat Bawah Pohon Yogyakarta, 2014.


Tidak ada komentar: