Rabu, 19 Oktober 2016

Kumpulan Puisi Dunia yang Kita Kenal





Kumpulan Puisi Badrul Munir Chair

Judul                           : Dunia yang Kita Kenal
Pengolah Gambar     : Richa Miskiyya
Desain Isi                   : Terumbuku
Perancang Sampul    : Shohifur Ridho Ilahi
Cetakan                      : Pertama, September 2016
Penerbit                     : Halaman Indonesia, Yogyakarta

Buku kumpulan puisi ini memuat 50 sajak yang saya tulis dalam rentang waktu 2011-2016. Sebagian besar sajak dalam buku ini sudah dipublikasikan di berbagai media massa dan antologi bersama, juga sempat saya himpun dalam manuskrip berjudul “Perjalanan Menemukan Rumah” yang kemudian terpilih sebagai nominator “Lomba Manuskrip Puisi ILTF Award 2016” yang diselenggarakan oleh Yayasan Penerjemahan Sastra Indonesia. Namun karena satu dan lain hal, panitia penyelenggara memutuskan hanya memilih satu manuskrip saja untuk diterbitkan—bukan lima manuskrip sebagaimana yang direncanakan semula. 

Masuknya manuskrip kumpulan puisi saya sebagai salah satu nominasi dalam lomba tersebut menumbuhkan optimisme saya untuk segera menerbitkan antologi puisi tunggal. Perjalanan kreatif dan beberapa pertimbangan membuat manuskrip tersebut mengalami perombakan, pengurangan, dan penambahan beberapa puisi baru, sehingga terkumpul ke dalam kumpulan puisi berjudul “Dunia yang Kita Kenal” sebagaimana yang berada di hadapan pembaca dalam keadaannya seperti sekarang. 

Harga buku Rp. 32.000 (belum termasuk diskon dan ongkos kirim). Untuk pemesanan, bisa menghubungi WA: 08995100511.

Sabtu, 27 Februari 2016

Rokat Tase'; Sedekah untuk Penguasa Lautan


Oleh: Badrul Munir Chair
 

Perkampungan Nelayan di Pesisir Ambunten
 

 Dari tepi muara Sungai Ambunten, nampak kerumunan orang-orang yang sedang menghias perahu. Beberapa perahu nelayan ditambatkan di atas hamparan pasir di sisi-sisi muara sungai, beberapa orang yang duduk di atas geladak perahu terlihat sibuk merangkai janur kelapa untuk dijadikan hiasan. Janur yang telah dirangkai membentuk umbul-umbul terlihat telah dililitkan pada tiang perahu.

“Kami sedang bersiap untuk memeriahkan upacara rokat tase’,” tutur Haji Musa, seorang juragan perahu yang sedang menghias dan menebalkan cat di lambung perahunya dibantu empat orang awaknya. Siang baru saja menjelang, namun sengatan matahari bulan November begitu teduh, dan angin yang berembus dari deretan pohon kelapa yang berderet di sepanjang tepi muara Sungai Ambunten membawa kesejukan. Cuaca memang sedang baik akhir-akhir ini, nelayan bisa pergi melaut dengan tenang, ikan-ikan seakan begitu mudah didapatkan. Para nelayan menyebut musim yang seperti ini dengan sebutan mosem poco’ (musim puncak), yaitu musim ketika cuaca sedang berpihak pada nelayan dan ikan tangkapan nelayan begitu melimpah. Untuk mensyukuri nikmat atas penghasilan yang telah mereka dapatkan itulah para nelayan mengadakan upacara rokat tase’ (ruwat laut).

Ambunten merupakan kecamatan yang secara geografis terletak di pesisir utara Kabupaten Sumenep. Berjarak hanya 30 KM dari pusat kota kabupaten dan terletak di jalur pantai utara Madura membuat Ambunten menjadi kota kecil yang terus berkembang. Pusat pemerintahan dan kantor kecamatannya terletak di Desa Ambunten, kecamatan yang mencakup 15 desa/ kelurahan. Desa Ambunten terletak di tepi laut yang dibelah oleh seruas sungai yang berhulu jauh di selatan, Sungai Ambunten, yang menjadi tempat berlabuhnya perahu-perahu nelayan jika sedang rehat melaut.

Raden Werdisastro, seorang pujangga Keraton Sumenep yang hidup pada masa sebelum kemerdekaan, menarasikan Ambunten sebagai salah satu pusat peradaban Madura Kuno. Dalam Babad Songennep (Babad Sumenep), ia menceritakan bahwa dahulu kala, sebuah kerajaan pernah berdiri megah di Ambunten, Kerajaan Mandaraja, berkuasa sekitar abad ke-13 M yang dipimpin oleh seorang Ulama’ yang bergelar Pangeran Mandaraja. Keturunan-keturunan Pangeran Mandaraja inilah yang kelak mendirikan Keraton Sumenep dan menguasai Madura. Maka bisa dikatakan bahwa peradaban Ambunten merupakan sebuah peradaban tua. Di desa inilah konon terletak perpustakaan pertama di Madura. Tapi tujuh abad setelah masa keemasaannya itu, kejayaan Mandaraja seakan tak membekas di Ambunten. Istananya telah runtuh, hanya tersisa rangka bangunan setinggi pondasi. Namun, religiusitas yang diwariskan Sang Ulama’ seakan tak lekang oleh zaman.

Hamparan pasir pantai mulai menghangat. Matahari telah naik sepenggalahan. Orang-orang yang sedang sibuk menghias perahu dan mengecat beberapa bagian perahu terus melakukan pekerjaannya. Upacara rokat tase’ masih akan dilangsungkan besok siang. Pak Hasan, ketua panitia rokat tase’ tahun ini, dating ke tepi pantai Ambunten untuk mengecek persiapan terakhir, sekaligus dating untuk mengundang para nelayan secara lisan untuk ikut acara mamaca nanti malam. Mamaca merupakan tradisi membaca kitab-kitab leluhur yang berbahasa Madura kuno, yang lumrah diadakan menjelang dilaksanakannya upacara-upacara adat.

Dulu, rokat tase’ dilaksanakan secara rutin setiap tahun. Namun sepuluh tahun belakangan, musim semakin sulit diterka, siklus musim semakin kacau. Mosem poco’ tak mesti hadir setiap tahun. Anomali musim dan cuaca juga berdampak pada waktu perhelatan upacara adat seperti rokat tase’ yang pelaksanaannya memang sangat tergantung pada musim dan banyaknya ikan tangkapan nelayan.

Rokat tase’ merupakan salah satu tadisi yang berkembang di masyarakat pesisir Madura, khususnya penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Di masyarakat pesisir Madura, tradisi ruwatan laut itu disebut rokat tase’. Tradisi rokat tase’ konon telah dilangsungkan selama ratusan tahun oleh masyarakat pesisir Madura yang merupakan warisan dari nenek moyang sebagai bentuk rasa syukur kepada Sé Kobasa Tase’ (Sang Penguasa Laut) yang telah memberi mereka penghidupan. Menurut mitos yang berkembang dalam masyarakat pesisir Madura, sosok Sé Kobasa Tase’ dipercayai sebagai pengatur kehidupan di laut, termasuk juga yang melimpahkan ikan-ikan tangkapan kepada para nelayan. Agar nelayan diberi keselamatan ketika melaut dan diberi tangkapan yang melimpah, maka para nelayan merasa harus berterima kasih dengan memberi persembahan kepada Penguasa Laut tersebut.

Seiring dengan bergulirnya waktu, mitos tentang sosok Penguasa Laut itu terus berkembang, terutama ketika pengaruh Islam masuk dan masyarakat Madura mengenal Tuhan Yang Satu. Sosok yang dulunya disebut Sé Kobasa Tase’ itu kini lebih sering disebut Pangéran sé Kobasa Tase’ (Tuhan yang Menguasai Lautan). Masyarakat Madura memang lebih sering menyebut Tuhan dengan sebutan Pangéran.

“Bisa dikatakan, rokat tase’ merupakan sedekah nelayan untuk Pangéran sé Kobasa Tase’,” tutur Pak Mubarak, beliau adalah perpanjangan tangan seorang Kiai yang sangat dihormati di Ambunten—Kiai, bagi orang-orang pesisir Madura yang sangat religius, merupakan sosok sentral yang posisinya bukan sekadar sebagai pemberi fatwa seputar masalah-masalah keagamaan, namun juga sering dimintai pendapatnya mengenai masalah kehidupan sehari-hari.

Lebih jauh Pak Mubarak menuturkan, bahwa seminggu sebelum dilaksanakannya rokat tase’, warga Ambunten khususnya yang berprofesi sebagai nelayan dimintai sedekah berupa uang seikhlasnya. Uang yang terkumpul dari sedekah warga itulah yang nantinya akan digunakan untuk menutupi kebutuhan pelaksanaan upacara rokat tase’.

“Meskipun sebenarnya sedekah dari warga tidak akan cukup,” ucap Pak Mubarak. Mereka harus membeli dua ekor sapi untuk keperluan upacara. Kepala dua ekor sapi itu nantinya akan diarak dan dilarungkan di tengah laut. Belum lagi untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan lainnya yang merupakan ‘syarat wajib’ setiap perhelatan rokat tase’ seperti mempersiapkan gunungan berisi aneka buah dan sayuran, membuat miniatur perahu, dan hidangan-hidangan untuk dilarungkan ke tengah laut seperti katopa’ panglobar (ketupat yang dibuat khusus untuk ruwatan), jájján genna’ (aneka jajanan lengkap), lémbur (minuman dari kelapa dan gula aren), bubur beras lima warna (merah, putih, kuning, hijau, dan hitam), telur ayam, dan ayam jantan dan betina yang masih hidup. Panitia banyak dibantu oleh sumbangan Ulama’ dan tokoh-tokoh setempat yang dikenal loyal, juga tentu saja kucuran dana dari pemerintah yang berkepentingan untuk melestarikan budaya lokal.

Sebuah perahu nelayan memasuki gerbang muara Sungai Ambunten. Seorang awak perahu yang baru datang itu menceburkan tubuhnya ke air muara, menarik tali perahu di haluan dan mengarahkan perahu itu menyusuri sungai. Setiap menjelang hari besar keagamaan dan upacara adat, muara Sungai Ambunten akan terlihat sangat padat. Para nelayan memutuskan rehat melaut untuk meramaikan hari besar keagamaan dan upacara adat itu. Perahu-perahu nelayan dilabuhkan di sepanjang muara, diikat kencang pada tiang kayu yang melintang di pohon-pohon kepala. Tiang kayu itu berfungsi sebagai dermaga sekaligus titian para nelayan dari perahu menuju tepi sungai. Masing-masing perahu nelayan memiliki dermaganya sendiri dengan menyewa sebatang pohon kelapa di tepi sungai. Sang pemilik pohon kepala yang disewa nelayan untuk dijadikan dermaga itu tidak dibayar dengan uang, melainkan dengan beberapa ekor ikan setiap nelayan penyewa itu pulang melaut.

Sebagian besar penduduk Ambunten bermatapencaharian sebagai nelayan. Sebagian lainnya bertani, berdagang, dan bekerja di bidang pendidikan. Istri para nelayan umumnya berdagang, menjualkan ikan hasil tangkapan suami mereka ke kota, dan sebagian kecil dari mereka mendirikan pabrik-pabrik rumahan yang memproduksi terasi, petis, dan kerupuk ikan. Terdapat puluhan pabrik rumahan yang mengolah hasil laut, tidak sedikit dari pabrik rumahan itu yang mampu menembus pasar luar negeri dan mengekspor produksi mereka sendiri. Di sisi lain, meski terletak di tepi laut, sawah-sawah di Ambunten cukup subur. Aliran air dari Sungai Ambunten seakan tak pernah mengering meskipun kemarau.

Keluarga nelayan dan petani umumnya memasrahkan pendidikan anak-anak mereka pada seorang Kiai atau guru mengaji. Di Desa Ambunten terdapat belasan pesantren dan surau yang menampung santri tanpa membebani biaya pendidikan yang tinggi, bahkan gratis. Anak-anak nelayan dan petani yang kurang mampu lebih banyak ‘dititipkan’ pada seorang Kiai atau guru mengaji, hidup sederhana menuntut ilmu (bahkan ada yang bermukim) di pesantren-pesantren yang bisa dijangkau dari rumah dengan berjalan kaki. Tidak sedikit pula anak nelayan dan petani yang menempuh pendidikan formal hingga perguruan tinggi. Sekolah-sekolah negeri banyak terdapat di Ambunten, bahkan hampir semuanya berskala nasional. Semua kelompok masyarakat hidup berbaur dengan damai, seakan tidak ada jarak antara anak nelayan, anak petani, dan anak pegawai negeri. “Semua kelompok masyarakat di Ambunten hidup berbaur, apalagi ketika ada acara keagamaan atau tradisi adat seperti ini,” tutur Pak Hasan.

Penuturan Pak Hasan tentang masyarakat yang hidup berbaur ini terbukti ketika dilangsungkan acara mamaca. Ratusan lelaki hadir memenuhi rumah Kalebun (Kepala Desa) Ambunten Timur, duduk di atas tikar yang digelar di beranda rumah dan halaman yang diatapi terpal. Tak ada jurang pemisah antara nelayan, petani, pedagang, pegawai negeri, guru mengaji, bahkan Kiai—semuanya duduk bersama. Dan ketika acara telah dimulai dipimpin oleh Kiai, semua orang larut dalam kekhusyukan. Bahkan ketika bait-bait dalam kitab kuno mulai dilagukan ketika mamaca, semua orang yang hadir nampak mengangguk-anggukkan kepalanya mengikuti irama mamaca.

Sungai Ambunten, tempat para nelayan menambatkan perahu.


* * *

Kepala dua ekor sapi yang baru disembelih itu diikat pada sebatang galah yang melintang pada dua buah tiang. Aroma anyir darah masih menguar di sekitar tanah lapang tempat penyembelihan. Sepasang kepala sapi itu sebentar lagi akan diarak dalam upacara rokat tase’. Sementara di sepanjang Jalan Raya Ambunten, ratusan orang telah menyemut bersiap mengikuti arak-arakan upacara rokat tase’. Belasan lelaki memakai pakaian Sakera duduk di sepanjang tepi jalan menunggu acara dimulai. Sakera sebenarnya merupakan nama seorang tokoh perlawanan rakyat Madura, namun namanya diabadikan sebagai nama pakaian adat. Pakaian adat sakera biasa dipakai lelaki Madura dalam acara-acara adat. Pakaian sakera berupa kaos dalaman bercorak garis-garis horizontal dengan warna merah putih yang bertumpuk-tumpuk, luarannya berupa rompi lengan panjang. Baju bawahannya adalah celana gombrong berbahan kain sepanjang bawah lutut, yang bagian perutnya dililiti sabuk berupa sarung. Di kepala para lelaki itu tersemat udeng. Sementara belasan perempuan memakai jarik dan kebaya. Mereka yang memakai pakaian adat tidak berarti merupakan orang-orang penting, melainkan orang-orang yang sengaja memakai pakaian adat untuk memeriahkan karnaval dan arak-arakan sesajian rokat tase’. Sebagian besar lelaki lainnya memakai sarung dan baju koko, peci hitam melekat di kepala mereka.

“Sebagian besar masyarakat meyakini bahwa rokat tase’ bukan sekadar upacara adat, melainkan juga upacara keagamaan. Rokat tase’ merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat dan rizki yang diberikan Pangéran,” tutur Pak Mubarak disela-sela kesibukannya mempersiapkan upacara bersama para panitia. Jalan Raya Ambunten di sebelah timur jembatan yang menghubungkan Sungai Ambunten semakin dipadati oleh ratusan orang yang hendak mengikuti arak-arakan.

Iring-iringan orang yang memanggul sepasang kepala sapi datang beberapa saat kemudian. Di belakang iringan pemanggul kepala sapi itu menyusul rombongan orang yang memanggul gunungan. Selain gunungan, terdapat juga barisan orang yang membawa miniatur-miniatur perahu berisi biji-bijian, buah-buahan, dan umbi-umbian. Di setiap miniatur perahu yang mereka bawa itu terdapat boneka manusia yang terbuat dari tepung, sebagai simbol nelayan yang hendak berlayar mengarungi lautan. Beberapa orang membawa ayam yang masih hidup, ayam yang masih hidup itu nantinya juga akan dilarungkan di tengah lautan. Sesajian yang juga tak luput daklam iring-iringan itu adalah nase’ rasol, nasi yang dibentuk menyerupai miniatur gunung atau kerucut disertai lauk-pauk khusus yang diletakkan di piring atau talam. Selain nase’ rasol, terdapat juga kom-koman—sesaji yang berupa beberapa macam bunga yang diletakkan di dalam suatu wadah besar dan direndam dengan air. Juga ada kembháng telon terdiri dari bunga mawar merah, melati, dan kenanga. Selain sesaji itu, ada juga jájján genna’ (jajanan lengkap) dan dámar ambang. Dámar ambang merupakan pelita yang terbuat dari sekeping uang logam yang berlubang di tengah dan kedalamnya dimasukkan sumbu. Sementara itu asap dupa membubung memenuhi udara.

Suara tetabuhan mulai menggema, pertanda upacara akan segera dimulai. Tetabuhan itu berasal dari kelompok musik saronen. Saronen merupakan gamelan khas Madura untuk mengiringi kegiatan-kegiatan adat, terutama yang sifatnya arak-arakan. Secara harfiah, saronen sebenarnya merupakan nama alat musik tiup khas Madura, yang pada bagian pangkalnya berbentuk pipih yang ditempelkan pada bibir sang peniup. Namun nama saronen ini kemudian digeneralisir, menjadi kesatuan kelompok gamelan khas Madura dengan suara saronen sebagai pengisi suara paling dominan. Ketika saronen ditiup dan gong mulai ditabuh, orang-orang yang berbaris di sepanjang Jalan Raya Ambunten mulai berjalan dan seakan menyesuaikan langkah kakinya dengan irama tabuhan.

Ratusan orang yang ikut mengarak aneka sesajian untuk dilarungkan ke tengah laut itu mulai bergerak meninggalkan Jalan Raya Ambunten, menuju Jalan Perikanan yang merupakan jalan menuju laut utara. Di sepanjang jalan, suara tetabuhan tak henti menggema, riuh tepuk tangan dan hentakan kaki ratusan orang yang berjalan mengiringi dan sesekali menari semakin memeriahkan suasana.

Arak-arakan pembawa aneka sesaji dan sepasang kepala sapi itu berhenti di tepi laut. Sebelum aneka sesaji yang sudah dipersiapkan itu dibawa ke tengah laut dengan menaiki perahu-perahu nelayan yang telah dihias dengan janur kelapa, terlebih dahulu diadakan acara doa bersama. Ratusan orang yang ikut dalam upacara itu kemudian duduk bersila beralaskan pasir pantai untuk mengikuti doa bersama.

“Di laut, kehidupan nelayan memang abhental ombak asapo’ angin,” ucap Kiai Junaid memulai sambutannya sebelum pembacaan doa, “Namun di setiap hembus nafas hidup kita, harus abhental syahadat, asapo’ iman, apajung Allah,” lanjut Kiai Junaid. Di laut, para nelayan memang berbantal ombak berselimut angin, sebuah ungkapan yang menunjukkan betapa besar tantangan menjadi seorang nelayan dan betapa berbahayanya rintangan yang menghadang. Namun dalam setiap hembus nafas kehidupan, Kiai Junadi mengingatkan para hadirin agar ia selalu berserah diri kepada Allah, hidup berbantalkan syahadat, berselimutkan iman, berpayungkan Allah. Sebuah ungkapan yang merupakan wujud kepasrahan dan tunduk kepada kuasa dan hukum Allah. Sambutan Kiai Junaid menguatkan penuturan yang disampaikan Pak Mubarak tadi bahwa rokat tase’ bukan sekadar upacara adat, melainkan juga upacara keagamaan, sebagai bentuk rasa syukur dan kepasrahan kepada Pangéran.

Ketika pembacaan doa selesai, aneka sesaji dan sepasang kepala sapi kemudian dibawa ke atas perahu nelayan yang telah dihias. Hanya orang-orang penting dan tertentu saja yang menaiki perahu nelayan yang dihias itu untuk melarungkan aneka sesaji di tengah lautan, seperti Kiai, tetua adat, perangkat desa, dan para panitia. Sementara orang-orang lainnya yang ingin mengikuti proses larung sesaji itu harus menaiki perahu-perahu nelayan yang juga dipersiapkan di tepi pantai. Iring-iringan perahu nelayan itu kemudian berangkat ke tengah lautan, disaksikan ratusan orang yang menunggu di tepi pantai.

Iring-iringan perahu yang membawa aneka sesaji terus melaju ke tengah laut. Para Peserta duduk di atas geladak salah satu perahu yang ikut iring-iringan itu. Setiap perahu membawa belasan orang sehingga kami harus berdesak-desakan duduk di atas geladak papan. Ketika perahu mulai sampai di tengah laut dengan arus yang cukup tenang, iring-iringan perahu terhenti. Perahu-perahu berjejer, orang-orang di atas bersiap melarungkan sesaji sebagai acara puncak upacara rokat tase’. Aneka sesajian dalam miniatur-miniatur perahu, sepasang kepala sapi, dan gunungan berisi aneka buah dan hasil bumi perlahan-lahan mulai dilepas ke laut dengan iringan gema selawat dan doa-doa pengharapan.

Ketika semua sesaji telah dilarung ke laut lepas, perahu-perahu nelayan satu-persatu mulai kembali menuju pulau. Di atas perahu, para peserta upacara memperbincangkan tentang pengharapan-pengharapan mereka untuk mendapatkan hasil laut yang melimpah dan kehidupan yang lebih membawa berkah. Di atas perahu yang terus melaju menuju Ambunten, tidak sedikit para peserta upacara yang menoleh ke belakang, menatap sedekah para nelayan kepada Sang Penguasa Laut yang baru saja dilarungkan, menatap miniatur-miniatur perahu berisi aneka sesajian yang diombang-ambingkan ombak dan perlahan-lahan mulai tenggelam. []

Sumber Gambar:
 - Perkampungan Nelayan di Pesisir Ambunten, http://www.mitchellkphotos.com/placesnature.html
 - Sungai Ambunten, http://www.panoramio.com/user/5397737?with_photo_id=86043439
"Tulisan ini diikutsertakan dalam Gramedia Blogger Competition Februari 2016" 

Selasa, 15 September 2015

Meninggalnya Seorang Waliyah

Cerpen Badrul Munir Chair (Tribun Jabar, 13 September 2015)




Toko meubel satu-satunya di desa kami itu mendadak disesaki ratusan pelayat ketika matahari baru terbit. Tepat ketika sirine panjang dari masjid di seberang jalan—tanda waktu subuh telah habis—berbunyi, para pelayat sontak melantunkan kalimat tahlil, perempuan-perempuan yang duduk bersila mengitari jenazah itu terus melantunkan doa dan tak sadar menitikkan air mata. Seorang Waliyah telah berpulang, bisik seseorang. Waliyah yang akhir-akhir ini kerap menjadi bahan perbincangan orang-orang itu kini telah meninggal dunia, terbaring tenang di emperan toko yang selama sebulan ini telah menjadi tempat tinggalnya.

Seiring terbitnya matahari pagi yang mulai menerangi desa kami, kerumunan pelayat di emperan toko meubel itu terus bertambah, meluber hingga ke jalan raya kecamatan. Orang-orang saling berdesakan ingin mendekat untuk melihat jasad sang Waliyah, beberapa lelaki nampak sibuk mengatur lalu-lintas jalan raya kecamatan yang mulai tersendat oleh kerumunan para pelayat yang terus berdatangan.

Tak ada yang menyangka bahwa perempuan yang kami yakini sebagai Waliyah itu akan meninggal di desa kami, mengembuskan nafas terakhirnya di emperan toko meubel Haji Salani. Subuh tadi seperti biasanya perempuan itu datang ke masjid, keluar lebih awal seusai shalat jamaah untuk kembali ke emperan toko Haji Salani. Setelah mengganti mukenahnya dan mengambil kitab suci, biasanya ia akan kembali lagi untuk mengaji di komplek pemakaman Wali di samping masjid. Tapi pagi tadi, tak seperti biasanya perempuan itu malah terbaring tenang beralaskan tikar pandan di emperan toko meubel itu.

Awalnya kami mengira bahwa perempuan itu sedang tidur, mungkin kelelahan. Namun ketika perempuan-perempuan penjual sayur yang setiap pagi biasa berjualan di emperan toko meubel itu datang dan hendak menggelar dagangannya, ia tidak bisa dibangunkan. Ia benar-benar tertidur pulas untuk selama-lamanya, sehingga membuat gempar penduduk desa.

Berita duka kemudian tersebarlah.

Kami seakan ditinggalkan seseorang yang teramat penting dalam kehidupan kami. Semenjak kedatangannya yang secara tiba-tiba pada awal bulan puasa lalu, perempuan itu, dalam waktu yang singkat, sedikit-banyak telah membawa perubahan dalam kehidupan kami, menjadi penyejuk bagi kehidupan kami di tanah yang kering dan gersang ini.

Perempuan itu mungkin menemukan tempat tinggal yang nyaman di desa kami, desa kecamatan tepi pesisir yang di sepanjang tepi jalan rayanya dijejali belasan toko cinderamata yang seringkali dikunjungi para peziarah yang datang dari luar kota. Ia datang pada minggu pertama bulan Ramadan, sehingga semula kami mengira bahwa perempuan itu adalah musyafir yang tengah melakukan rihlah untuk mencari berkah di bulan suci. Sebagaimana Ramadan tahun-tahun lalu, memang banyak orang asing singgah di desa kami untuk berziarah ke makam Wali. Tapi perempuan itu berbeda dari musyafir dan peziarah kebanyakan. Jika biasanya musyafir dan peziarah yang datang ke desa kami menghabiskan waktunya untuk beri’tikaf di masjid, perempuan itu justru lebih banyak duduk di emperan toko meubel, sehingga wajar jika sebagian dari kami menganggapnya gelandangan, bahkan tidak sedikit dari kami yang menganggap perempuan itu gila.

Bagaimana tidak? Ia—perempuan yang hingga hari kematiannya tidak kami ketahui nama dan asal-usulnya itu, seringkali bertingkah ganjil. Pada hari kedatangannya, ia sudah bertindak aneh dan membuat kami merasa heran. Perempuan itu membuat keributan kecil di halaman masjid karena ia hendak keluar dari gerbang masjid dengan masih memakai mukenah inventaris masjid, yang tidak boleh dibawa pulang. Penjaga masjid sontak langsung menegur perempuan itu, mengingatkannya untuk mengembalikan mukenah yang dipakainya ke dalam masjid. Perempuan itu hanya tersenyum aneh sambil menunjuk toko meubel di seberang jalan, lalu berlalu begitu saja meninggalkan kami tanpa sepatah kata pun.

Setelah beberapa hari, kami mulai terbiasa dengan tingkah ganjil perempuan itu, bahkan mengenali kebiasaannya. Ia adalah orang pertama yang datang ke masjid pada waktu subuh. Sebelum azan berkumandang, perempuan itu sudah berada di masjid, duduk bersila di dekat pintu masuk jamaah perempuan. Ia akan menyalami perempuan yang datang ke masjid satu-persatu. Ketika shalat jamaah dimulai, ia akan berdiri di barisan paling belakang, dan setelah jamaah usai, ia akan kembali menyalami setiap jamaah perempuan yang hendak keluar dari masjid. Perempuan itu kemudian akan menuju emperan toko meubel di seberang jalan, melipat dan menyimpan mukenahnya di salah satu lemari dagangan Haji Salani, lalu, dengan memeluk Alqurannya, ia akan kembali menyeberang jalan menuju komplek pemakaman Wali di samping masjid, dan mengaji di sana hingga waktu dhuha tiba.

Rutinitasnya sehari-hari hanya dilakukan di tiga tempat: mandi dan beribadah di masjid, mengaji di makam Wali, dan beristirahat di emperan toko meubel Haji Salani. Setelah seharian berkutat di masjid dan makam Wali, menjelang maghrib ia akan duduk di emperan toko meubel menunggu waktu berbuka, asyik menggumam sendiri hingga azan berkumandang. Biasanya ia akan berbuka bersama di masjid, tak jarang juga ada orang yang bersedekah mengantar makanan untuknya ke emperan toko meubel itu. Haji Salani yang dikenal dermawan, tak pernah sekali pun mengusir perempuan itu dari emperan tokonya, bahkan ia memberinya tikar dan merelakan salah satu lemari dagangan di emperan tokonya untuk dipakai perempuan itu menyimpan pakaiannya—yang jumlahnya hanya beberapa potong.

Perempuan itu jarang sekali berbicara, kalau pun berbicara, ia hanya mengucapkan beberapa patah kata. Ia lebih banyak menggumam dan, ketika menggumam, ia seakan sedang bercakap dengan seseorang. Sering kami perhatikan perempuan itu menggumam sendiri di emperan toko, gumamannya terdengar berirama, seperti bersenandung.

Desas-desus seputar asal-usul perempuan itu pun kemudian merebaklah. Ada yang mengatakan, perempuan itu dulunya adalah istri seorang Kiai, yang menjadi gila karena dimadu oleh suaminya. Ada pula yang curiga perempuan itu adalah orang yang hilang ingatan. Kecurigaan itu mungkin wajar, sebab setiap kami mencoba berbicara dengan perempuan itu dan menanyakan tentang keluarga dan asal-usulnya, perempuan itu hanya tersenyum ganjil seperti orang linglung. Seseorang lainnya memberi kesaksian bahwa dulu ia sering melihat perempuan itu mengemis di Masjid Jami’. Namun desas-desus yang terus bermunculan, justru semakin mengaburkan tentang siapa perempuan itu dan dari mana sebenarnya ia berasal.

Yang benar-benar kami tahu dari perempuan itu adalah, ia sangat rajin beribadah. Sepanjang hari ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan shalat dan mengaji. Perilaku ganjilnya seakan tak membekas ketika perempuan itu sedang shalat dan mengaji. Shalatnya sangat tenang dan khusyuk, dan jika mengaji, suaranya indah sekali. Sering kami mencuri dengar setiap perempuan itu sedang mengaji, ia mengaji dengan sangat merdu. Ayat-ayat suci yang terlantun dari bibirnya seakan mampu membawa kesejukan. Setiap mendengar perempuan itu mengaji, entah kenapa kami selalu teringat akan dosa-dosa kami, menyadari bahwa iman kami masih jauh dari sempurna. Suara merdunya ketika mengaji, seringkali membuat kami tidak sadar menitikkan air mata.

Kiai Damhuri, ulama terkemuka di desa kami, dalam sebuah ceramahnya bahkan sampai menyinggung ketaqwaan perempuan itu. “Kalau aku harus menyebut siapa orang yang membuatku malu di hadapan Allah—dalam urusan ibadah, maka perempuan itulah orangnya.” Dan tentang suara merdunya ketika mengaji, Kiai Damhuri berkata, “Suara perempuan itu akan lebih dulu sampai di surga bahkan sebelum hari kematiannya.”

Ceramah Kiai Damhuri itu sontak membuat kami menarik kesimpulan bahwa perempuan itu bukanlah orang sembarangan.

“Bukan tidak mungkin kalau perempuan itu adalah Waliyah yang diutus Allah untuk menguji kadar keimanan kita.”

“Iya. Tidak ada yang mampu mengetahui kewalian seseorang kecuali seorang Wali. Dawuh Kiai Damhuri tempo hari, menyiratkan bahwa perempuan itu bukanlah orang sembarangan.”

 “Mungkin perempuan itu adalah Wali Majnun.”

“Betul, memang ada di antara Wali Allah yang jadzab—bertindak di luar kewajaran manusia normal seperti kita, bahkan kelakuannya seringkali mendekati kegilaan.”

“Barangkali ia telah sampai pada puncak pencarian akan Tuhannya, sehingga lupa akan dirinya dan tertutupi dari segala hal yang bersifat duniawi.”

“Wallahu a’lam.”

Maka sejak Kiai Damhuri menyinggung perempuan itu dalam ceramahnya, kami tersadar bahwa iman kami masih jauh dari sempurna, bahwa kami sering lalai dalam menjalankan perintah agama. Kami mulai tergugah untuk memperbaiki ibadah kami, saling berlomba-lomba melakukan kebaikan dan beribadah di bulan suci. Masjid yang semula sepi kini selalu penuh setiap memasuki waktu shalat. Suara lantunan ayat suci terdengar lagi dari masjid-masjid seluruh penjuru desa. Ramadan kami menjadi jauh lebih khidmat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

* * *

Selepas dimandikan, jasad perempuan itu disemayamkan di dalam masjid. Ribuan pelayat yang sejak tadi memenuhi emperan toko meubel dan jalan raya mulai merangsek ke halaman masjid, saling berdesakan, berebut tempat untuk ikut menyalatkan. Masjid dan jalan raya kecamatan itu mendadak menjadi rumah duka. Di tengah riuh-rendah suara takbir dan tahlil para petakziah, Kiai Damhuri memberikan sambutan singkatnya, bahwa desa ini telah kehilangan salah satu orang terbaiknya; dan beliau memohon izin kepada masyarakat agar berkenan bila perempuan itu dikuburkan di komplek pemakamanWali.

Maka pekik takbir kemudian kembali berkumandang, menggema menembus sekat-sekat ruang. Ketika keranda perempuan itu mulai ditandu keluar dari pintu masjid, tak sedikit dari kami yang menangis, menyadari bahwa kehadirannya yang singkat di tengah kehidupan kami, telah membawa kesejukan dan perubahan yang besar dalam kehidupan kami. Di tengah riuh-rendah kumandang tahlil yang tak putus, di tengah ribuan pelayat yang mengiringi sang Waliyah menuju tempat peristirahatan terakhirnya, tak sedikit dari kami yang diam-diam bersyukur, bukan atas kematian perempuan itu, melainkan atas nikmat Allah yang telah memberikan hidayahnya kepada kami, meski harus melalui sosok seorang perempuan gila. []

                                                                        /Yogyakarta, 2015.

Catatan:

Waliyah: wali perempuan; Rihlah: perjalanan; Dawuh: perkataan; Majnun: gila.

Lukisan: "Nogales Beggar Woman", painting-pastel on canson by Shirley Leswick, 2007.