Oleh: Irwan Bajang*
Tatanan geografis Indonesia sebagai
negara kepulauan mau tidak mau berimbas pada pola gerak dan mobilisasi
masyarakat secara keseluruhan. Gerak, dalam hal ini tentu dilandasi beraneka
ragam motif. Pembangunan yang tidak merata menjadi salah satu penyebab
berkembangnya keberagaman motif mobilasisi masyarakat, salah satu motif yang
kemudian menjadi beragam dan rumit. Kepadatan penduduk di pulau Jawa, membuat
Orde Baru secara “semena-mena” membuat kebijakan transmigrasi. Dengan dalih
pemerataan jumlah penduduk, pemerataan pembanguan ekonomi, masyarakat
dimobilisasi ke daerah-daerah yang masih dianggap sepi, transmigran diminta
membuka hutan dan perkampungan, juga membaur dengan masyarakat lokal setempat.
Tentu dalam hal positif kita bisa
menyaksikan pembauran masyarakat pendatang dengan penduduk lokal setempat
berimbas baik dalam bidang agama, kehidupan sosial, budaya dan lain sebagainya.
Tapi hasil yang tidak baik atau konflik juga tidak bisa diindahkan, tercatat,
kerusuhan-kerusuhan etnis beberapa kali terjadi dan menjadi peristiwa politik
besar, peristiwa kebudayaan yang mengerikan. Beberapa kritik mengatakan bahwa
pemerintah Indonesia di era Orde Baru berupaya memanfaatkan para transmigran
untuk menggantikan populasi lokal, dan untuk melemahkan gerakan separatis
lokal.
Selain pemaksaan secara halus untuk
perpindahan, ketimpangan pembangunan dan sentralisasi ekonomi menjadikan banyak
orang memilih secara sadar menjadi perantau, datang ke kota atau daerah yang
dianggap lebih maju dari daerah di mana mereka lahir dan besar. Lihatlah di
sekeliling kita, Jogja misalnya, kota ini dihuni oleh banyak sekali orang
asing, maksud saya orang luar Jogja. Para pekerja datang dari kota-kota
satelit, para pelajar datang dari segenap penjuru negeri. Motif paling banyak
dari kedatangan mereka adalah ekonomi dan pendidikan. Adanya motif ekonomi
membuat kita melihat para pendatang menjadi kaum pekerja sekaligus masyarakat
urban di kota ini. Fenomena ini juga tentu ada di kota-kota lain. Kedatangan
dengan motif pendidikan, membuat kita menyaksikan tiap gang dihuni oleh
kebanyakan kaum muda yang kemudian memberi pengaruh sosial ekonomi bagi daerah yang
mereka tempati. Sebagaimana layaknya transmigrasi bermotif ekonomi, arus datang
dan arus balik orang “luar kota” ke kota tujuan memberi dampak bagi kota
tersebut, bagi manusia-manusia setempat juga sekaligus bagi diri si
pendatang.
Penyair atau sastrawan barangkali
paling sering menjadi bagian dari orang-orang yang mencatat dan menceritakan
banyak hal tentang diri, situasi, asal-muasal dan lokasi di mana ia berada.
Sebagaiman sebuah idiom yang sering kita dengarkan; karya sastra mustahil
muncul dari kekosongan.
Saya akan mencoba membahas
berberapa puisi Badrul munir dari persepsi yang saya bangun di
paragraf-paragraf awal di atas. Kedatangan, kemenetapan diri penyair dan
kaitannya dengan puisi puisi yang ia produksi.
***
Mambaca enam puisi Badrul Munir
Chair dalam manuskrip ini, mau tidak mau saya akhirnya mengaitkan diri
saya sendiri yang secara kebetulan memiliki beberapa kesamaan dengan dirinya,
baik dalam posisi mengamati masyarakat di kota yang kami diami sekarang, juga
sebagai pendatang dari pulau luar, lokasi yang jauh, kota dan desa yang jauh.
Pada puisi pertama—yang saya
yakin disusun secara sadar oleh Badrul Munir Chair—ia menempatkan judul “Lelaki
yang Pergi Malam Hari”. Puisi ini jika dibaca cepat atau sekilas saja sudah
menunjukkan pada kita diksi-diksi yang berkaitan dengan mobilisasi manusia.
Badrul memulai kalimat pertamanya dengan kata tunjuk tempat; Ke Barat. Sebuah
permulaan yang langsung mengingatkan kita pada kiblat modernisasi, teknologi,
ekonomi dan ilmu pengetahuan. Barat, bagi banyak orang tak bisa lagi di tolak
sebagai sesuatu yang kerap dianggap superior. Barat menjanjikan banyak hal bagi
orang modern. Dalam banyak percakapan, kita sering mengutip Barat sebagai
simbol kemajuan, sebagai alat banding tentang banyak ketertinggalan kita
sebagai manusia Timur. Barat menjadi simbol kemajuan dan modernisasi, sementara
Timur selain identik dengan tertinggal (seperti bagaimana negara membuat
sebutan untuk Indonesia bagian timur) kerap diidentikkan dengan spiritualitas.
Badrul memulai puisinya dengan ke
barat, sebuah isyarat tujuan yang kemudian dia lanjutkan dengan
diksi-diksi lain yang sangat erat kaitannya dengan nuansa kepergian. Mobilisasi
manusia. Badrul menyebut pergi, arah, perantau, rumah, pulau, menyeberang dan
diksi-diksi serupa lainnya dalam puisi pertamanya ini. Selanjutnya, selain di
puisi ini, kita nantinya akan menemukan diksi dan imaji yang berasosiasi serupa
memenuhi hampir keseluruhan badan puisi-puisi dalam manuskrip ini.
Dalam puisi lain tentang “Selat
Madura”, puisi yang titimangsanya paling tua (2011) dalam manuskrip ini, pun
Badrul tak bisa lepas dari diksi dan imaji tentang perjalanan datang dan pergi
manusia;
Selepas selat, dermaga
membukakan pintu
pada angin—seperti
menyambut anak-cucu
pulang ke rumah sendiri
kubayangkan perjalanan akan
serupa tubuh
cakalan dan hentakan kaki sapi
yang
berpacu di lintasan karapan
Suguhan diksi-imaji tentang
perpindahan manusia yang dihadirkan Badrul dalam puisi ini membuat saya menduga
sekaligus mengiyakan, bahwa sebagai manusia yang pergi dari kampungnya, sang
penyair sungguh sulit membuat jarak dengan tanah kelahiran. Muasal dari
rangkaian awal kehidupan yang kemudian ia bentuk dan jalani sekaligus membentuk
puisi-puisi dan proses kepenyairannya. Layaknya hampir semua manusia yang
pergi, Badrul menyebut diri dalam puisinya sebagai manusia-manusia yang mau
tidak mau harus kembali, entah dalam jeda-jeda tertentu sebagaimana lazimnya
para perantau yang bisa kita saksikan dalam tradisi mudik-balik di Indonesia.
Dalam puisi ini—entah ditulis di
Madura, tanah kelahirannya ataukah di Jogja sebagai tanah rantau dan rumah
keduanya—aku dalam diri penyair mau tidak mau mengakui, bahwa kampung halaman,
ibu dan entitas lain muasalnya selalu menjadi sesuatu yang lekat bagi diri
penyair dan puisinya.
Langit biru, laut biru. Semuanya mengharu
biru layaknya perkabungan
melepas keberangkatan
anak-anak pulau; tembakau,
garam, dan
hasil laut yang pergi
meninggalkan ibu
Maka kita bisa mengamati atau
menarik sebuah dugaan, seorang manusia—yang dalam hal ini diwakili penyair dan
puisi Badrul—sungguh tidak lepas dari segala entitas kediriaan awal, sebagai
muasal dirinya. Dalam hal ini sebagai anak-anak pulau, yang akrab dengan
tembakau, garam dan hasil laut. Sebagaimana Madura yang selama ini kita
kenal. Fenomena puisi Badrul ini juga akan kita temukan di “Sonet
Pengembara”, puisi yang paling muda (2014) yang sekaligus ia pakai sebagai
penutup manuskrip ini.
Dalam puisi lainnya, “Aku Telah
Jadi Ikan di Sungai Kecil Ini” yang kalau boleh saya kategorikan secara
sederhana (kalau tidak serampangan) sebagai puisi sufistik, pun Badrul
tidak bisa terlepas dari entitas awalnya; sejauh apapun ia mau keluar.
Misalnya dari diksi-diski yang
lebih terang tentang muasal dirinya, kemaduraannya, kedatangannya sebagai
manusia pulau, garam, tembakau dan laut. Ia sama sekali tak bisa menolaknya,
diksi-diksi karang, ikan, laut, palung tetap melekat pada dirinya, menolak
lepas dan menjauh darinya. Seolah ikan-ikan yang ia jadikan aku lirik dalam
puisi ini pun bersaksi tentang perjalan kaki di jembatan tua dan nelayan
di tepi pantai.
Menengok Kampung
Halaman Tanah yang Jauh
Jika kita mengamati pola masyarakat
kita, kita akan menemukan sebuah momen atau waktu tertentu di mana banyak
masyarakat Indonesia yang mewajibkan rutinitas mudik di hari raya. Baik
lebaran, natal ataupun perayaan agama lainnnya. Secara tidak sadar, kita
tersusun dari rangkain rangkaian peristiwa di mana tubuh, baik secara fisik dan
nonfisik sesungguhnya tak bisa dilepaskan dari tanah asal muasal kita.
Kita mengenal sebuah tradisi yang
hampir ada di semua suku di Indonesia, ari-ari anak yang baru lahir bahkan
ditanam di depan rumah, dan dengan banyak alasan mitos, misalnya agar si anak
kelak tak lupa pulang ke rumahnya.
Puisi-puisi Badrul berada di arus
situasi tradisi masyarakat memandang tanah kelahirannya. Tanah kelahiran selalu
penting, pulang itu penting. Badrul dan puisi-puisinya berada di ranah
tersebut. Ia terjebak, dan mungkin juga bisa secara sengaja menceburkan diri
dan tak mau lepas dari situasi masyarakat yang demikian.
Kampung halaman selalu menjadi
sesuatu entitas yang susah kita lepaskan. Setidaknya itu yang tergambar dari
hamparan kata-kata yang disebar Badrul dalam puisi-puisinya. Bagaimanapun,
sesuatu memang menjadi berbeda dengan melihat dari jarak yang jauh.
Tradisi-tradisi bermain di waktu kecil, pantai-pantai, sahabat-sahabat bermain,
ibu yang cerewet di rumah, menjadi sesuatu yang berbeda dilihat dari jarak yang
jauh.
Mungkin jarak memang selalu membuat
sesuatu menjadi dirindukan. Sesuatu yang semulanya ada dan biasa, sesuatu yang
semula menjadi bagian tidak terlalu penting bagi kita, akhirnya menjadikan
sesuatu yang dirindukan, jauh di tanah lain yang sama sekali berbeda.
Kepergian, referensi-referensi
temuan dalam perjalanan, di kota yang jauh akhirnya menjadikan sebuah kegiatan
kembali ke kampung halaman menjadi berbeda. Tentu dermaga akan menjadi biasa
saja bagi orang yang misalnya tidak banyak datang dan membandingkan dengan
terminal, stasiun badara dan lain sebaginya. Kegelisahan-kegelisahan
sebagai anak zaman yang menyaksikan kampung, mengalamai masa kecil
sebagai ikan ikan di sungai, membentuk proses kepenyairan Badrul
menjadi seorang pencatat yang gelisah. Kampung halaman, atau kota baru yang ia
datangi diamatinya, dan dengan intuisinya ia mencatat juga perubahan-perubahan
yang cepat melalui puisi “Mula dan Berakhirnya Sebuah Kota”. Ia melihat
perubahan kota, atas nama pembangunan disulap seolah oleh penyihir sakti dan
dalam waktu yang singkat.
Lalu kita bertanya, bagaimana
mungkin sebuah kota dibangun
hanya dalam jeda kedipan mata?
Seperti kekuatan sihir,
begitulah bermulanya peradaban.
Sebuah kota lahir
sekaligus lenyap dalam waktu
hampir bersamaan.
Sebagai penyair yang intens
mencatat perjalanan pergi dan pulang, baik dalam beberapa puisi yang secara
terang memotret perpidahan fisik, Badrul boleh disebut sebagai penyair yang
berhasil. Terlebih kemampuan berbahasanya yang lugas dan tidak terkesan
bertele-tele dan beraneh-aneh telah menunjukkan dan menegaskan keberhasilan
ini. Artinya, dari segi kebahasaan, Badrul telah selesai dan lepas dari
persoalan-persoalan dasar tersebut. Namun, dalam beberapa hal, Badrul
seolah abai dengan fenomena lain di luar itu. Ia tidak mencatat hal-hal lain
dari efek perkembangan kota yang lahir sekaligus lenyap melalui
gambaran-gambaran peristiwa, misalnya dengan memilih dan memberi efek-efek
imaji lain tentang kota, entah memasukkan masyarakatnya, polusi, karut-marut
masayarakat, politik atau lain sebagainya, atau lebih dari itu. Badrul seolah
hanya terpesona dengan imaji-imaji batu yang ditancapkan, gedung
pemerintahan, jembatan yang ditegakkan, pohon-pohon ditebang dan pulau jadi
kota, seperti dalam puisi Mula dan Berakhirnya Sebuah Kota. Padahal,
jika kita mau menelisik lebih jauh, keberadaan kota, perubahan bangunan,
keramaian jalan raya hanyalah efek biasa dari keseharian akan kota yang kita
saksikan di televisi ataupun di sekeliling kita. Tentunya ada banyak pilihan
lain, misalnya psikologi manusia, perubahan karater banyak orang dan arus
pembangunan plus modernisasi yang meluncur di sekitar kita. Alhasil, puisi ini
menjadi puisi yang bisa dibilang tidaklah begitu istimewa, puisi yang mirip
keluhan yang biasa kita dengar dari banyak orang di pinggir jalan, orang-orang
tua desa yang kaget, kritik-kritik aktivis lingkungan atau kedangkalan kritik
pembangunan oleh komentator-komentator televisi. Meskipun, dalam tataran
estetis, penjagaan rima, kedalamaan perenungan, dan hal lain dalam unsur puisi
sudah berhasil dibagun dengan baik dan menjadi nilai lebih Badrul. Badrul
detail dalam menangkap momen dan menulis secara otobigrafis tentang diri dan
proses datang dan pergi dia sebagai orang yang merantau dari pulau jauh ke pulau
yang secara pembangunan—seperti sebutan banyak orang—mungkin lebih modern atau
lebih maju. Tapi tentu bagaimanapun ini adalah pilihan. Dan Badrul memilih itu.
Mungkin kelak akan kita temukan pada puisi puisinya yang lain.
Tantangan Pergulatan dengan Kultur
Karya sastra, dalam hal ini puisi,
mau tidak mau adalah gambaran kehidupan si penyairnya. Semuanya terbentuk dari
fragmen-fragmen pengalaman yang kemudian diwujudkan ulang sebagai sebuah karya.
Menurut Saini K.M, karya sastra merupakan hasil pemikiran tentang
kehidupan yang berbentuk fiksi dan diciptakan oleh pengarang
untuk memperluas, memperdalam dan memperjernih penghayatan pembaca
terhadap salah satu sisi kehidupan yang disajikannya (Saini K.M,
1986:14-15).
Sebagai penyair sekaligus anggota
masyarakat dan lingkungannya, maka tentu fenomena puisi-puisi Badrul menjadi
begitu gampang dirunut, misalnya dengan identitas dia sebagai manusia kelahiran
Madura. Begitu banyaknya penyair lintas generasi yang datang dan muncul dari
Madura, membuat kita dengan mudah bisa mengamati dan membandingkan puisi Badrul
dengan puisi serupa lainnya.
Maka tugas kepenyairan Badrul
sesungguhnya tidak semudah tugas penyair lain yang mungkin berasal dari kota
lain dengan stok penyair yang tidak sebanyak Madura.
Jika terciptanya sebuah
karya sastra oleh seorang pengarang secara langsung atau tidak langsung
merupakan kebebasan sikap budaya pengarang terhadap realitas yang
dialaminya. Maka apa sesungguhnya yang sedang dialami Badrul? Cukupkah
pengalaman, gambaran naratif tentang Madura dan tanah kelahirannya ini
menjadi sebuah sesuatu yang spesial untuk kita dedah lebih lanjut? Banyak
penyair Madura yang menggunakan diksi karapan, laut, pantai, garam dan
tembakau, lalu menuliskan pengalaman ia pergi, membandingkan pengalaman,
situasi dan rasa di daerah tententu dengan daerahnya.
Mari kita coba berhitung, ada
berapa banyak sastrawan Madura terutama penyair Muda yang ada di Jogja saat
ini? Dengan menimbang dan membandingkannya, maka keitimewaan Badrul
dibandingkan yang lainnya akan susah kita temukan. Setidaknya bagi saya
yang membaca puisi Badrul dan kawan-kawan Madura lainnya.
Jika kita, Badrul percaya bahwa
proses penciptaan karya sastra lebih banyak disebabkan oleh
kontinuitas kehidupan yang tidak pernah habis antara nilai realitas sosial
dengan nilai ideal dalam diri pengarang, maka tentu saja kita akan
menunggu karya-karya Badrul yang lahir dari realitas tempat ia sekarang, asal
muasal kulturan sekaligus kegigihannya dalam berproses. Saya pribadi menunggu
dengan gembira. []
Irwan Bajang, penyair. Pemimpin Redaksi Indie Book Corner Yogyakarta.
Disampaikan dalam Diskusi Sastra
PKKH "Lelaki yang Pergi Malam Hari. Selasa, 23 Desember 2014, di Pusat
Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar