Kamis, 30 Juli 2015

Anak Kemenakan Lanun

Cerpen Badrul Munir Chair (Riau Pos, 12 Juli 2015). Termaktub juga dalam Hikayat Bunian (Kumpulan Cerpen Pilihan Riau Pos 2015).


Ketika sore yang hangat mulai beranjak dan bulan purnama bersiap menggantikan matahari yang hampir tenggelam, paman mempercepat laju perahunya dan menyuruh anak-anak buahnya mempersiapkan peralatan. Bukan jaring atau pukat penangkap ikan, melainkan celurit dan parang. Aku berangkat dari pulau dengan perasaan menggebu-gebu, tapi entah kenapa nyaliku menciut begitu sampai di tengah laut dan menyadari bahwa hari semakin gelap dan kelabu.
Tiba di jalur perlintasan kapal-kapal sebelum matahari tenggelam, kulihat perahu-perahu lain yang lebih dulu tiba sedang mengatur jarak dan posisi. Sejauh pandanganku sebelum matahari semakin kabur, ada empat perahu lain yang berada tak jauh dari jangkauan penglihatan kami. Paman menghentikan perahu, kemudian menurunkan jangkar perlahan-lahan ke dasar lautan dengan mengulurkan tali tambang yang terikat pada ujung jangkar.
Setelah jangkar dilepas paman, kami diam hening dan duduk menunggu. Tak ada yang berani memulai pembicaraan. Aku sibuk mengatur nafasku yang semakin terpatah-patah karena terlalu tegang sepanjang perjalanan. Kulihat paman tersenyum kepadaku, sembari melemparkan botol berisi air. Aku meneguk air dalam botol itu hingga tandas separuhnya.
* * *
“Jangan beri tahu emakmu,” kata paman pada malam sebelum kami berangkat. Aku mengangguk. Emak sedang sakit, beliau tentu akan cemas dan mungkin sakitnya akan bertambah parah jika beliau tahu aku ikut berlayar dengan paman. Aku terpaksa akan berbohong pada emak, pergi meninggalkan beliau dan adikku yang masih berumur empat bulan yang sering menangis minta netek padahal air susu emak jarang bisa keluar karena beliau sedang sakit dan badannya kurus kering karena terlalu sering menahan lapar. Sementara abah pergi meninggalkan kami ketika kandungan adikku masih berumur empat bulan dan sejak itu abah tidak pernah mengirim kabar. Emak bilang, abah pergi mengadu nasib ke negeri tetangga, mencari nafkah untuk kami dan untuk persiapan kelahiran adikku.
Semenjak emak mengetahui pekerjaan abah, emak memarahi abah dan meminta abah berhenti dari pekerjaannya. Setahuku, itu pertama kalinya emak marah sambil meraung-raung di depan abah. Abah menuruti permintaan emak untuk meninggalkan pekerjaannya lebih karena beliau mengkhawatirkan janin yang sedang dikandung emak.
“Apa sudah tidak ada ikan di laut, Bang, sampai kau tega merampas harta orang?!” Abah hanya diam, beliau tidak menimpali pertanyaan emak, sebab kami sama-sama mengerti, sebelum abah menjalani pekerjaan yang dianggap emak keji, abah jarang sekali mendapatkan ikan tangkapan. Kata abah, laut di perairan tempat biasa beliau menangkap ikan sudah tercemar dan ditinggalkan ikan-ikan, dan perahu kecil abah tidak akan mampu menerjang ombak di perairan lain yang ombaknya lebih tinggi. Sementara di perairan dekat pulau karang-karangnya sudah hancur karena nelayan terlalu sering menangkap ikan menggunakan bom molotov.
Abah mengalah dan kembali ke pekerjaan lamanya menangkap ikan di perairan yang sudah tercemar, dan seringkali pulang dengan raut wajah putus asa. Tak jarang abah pulang hanya membawa kepiting-kepiting karang yang besarnya hanya separuh telapak tanganku. Terpaksa emak memasak kepiting karang yang bau lumutnya begitu menyengat itu sebab tak ada lagi yang bisa kami makan. Kepiting itu sedikit sekali dagingnya, sehingga tak jarang kami kunyah dan telan juga cangkangnya yang tidak terlalu keras untuk mengganjal perut kami yang lapar. Jangan pernah tanyakan tentang nasi. Nasi, bagi sebagian besar penduduk di pulau kami yang kecil dan terpencil ini, hanya bisa diperoleh dengan jalan yang dianggap emak sebagai pekerjaan keji.
* * *
“Berapa umurmu, Jang?” tanya paman membuka pembicaraan ketika kami sedang suntuk menunggu. Matahari sudah lama redup dan berganti cahaya purnama yang cahayanya memantul ke permukaan air tenang tempat kami menurunkan jangkar. Kata paman, malam purnama adalah waktu paling sempurna untuk merompak. Kemilau cahaya bulan akan membantu kami melihat tongkang yang hendak melintas dari kejauhan.
“Dua belas, Paman. Selisih empat tahun dari Wail,” jawabku dengan bibir bergetar, kecemasan terus melandaku selama kami dalam pengintaian. Wail adalah adik kandungku yang dipungut paman. Paman tak punya anak, sedang abah merasa sudah tak mampu untuk memberinya makan, jadilah Wail diasuh paman.
“Dulu, aku baru berani melaut ketika umur lima belas. Kamu hebat, Jang,” ucap paman memujiku. Aku tahu, paman sedang berusaha menenangkanku. “Ingat, nanti kau tunggu saja di atas perahu, jangan ikut melompat ke atas tongkang. Terima saja barang-barang yang kami ulurkan.” Aku mengangguk.
Paman berulang-ulang mengingatkan anak-anak buahnya untuk mengikuti komando, jangan bertindak sendiri-sendiri. Ada enam orang di atas perahu paman. Nanti, dua orang—termasuk aku—akan menunggu di atas perahu, sementara empat orang lainnya akan melompat ke atas tongkang yang kami hentikan untuk mengambil barang-barang.
“Jangan takut, Jang. Awak-awak tongkang itu tak bersenjata, dan paling banyak hanya sepuluh orang. Mereka akan ciut melihat kita membawa celurit dan parang. Apalagi, awak-awak perahu lain di sana akan membantu kita melumpuhkan mereka,” ucap paman sembari menunjuk perahu-perahu lain yang bisa kami lihat di kejauhan meskipun lampu-lampu perahu itu dimatikan. Cahaya bulan purnama benar-benar membantu kami dalam pengintaian ini. Jika ada tongkang yang terlihat di kejauhan, kami akan mengangkat jangkar, lalu memindahkan perahu kami untuk menghadang jalur tongkang itu. Empat perahu lain di sekitar kami akan melakukan hal yang sama. Kata paman, tongkang yang melintas di perairan ini biasanya memuat bahan-bahan makanan, kami akan mengambilnya sebagian.
* * *
Bulan purnama bersinar tepat di atas perahu kami ketika sebuah tongkang terlihat melintas di kejauhan. Kami yang semula hanya duduk menunggu seketika bergegas mengangkat jangkar, seseorang menyalakan mesin perahu, seorang lagi menyalakan lampu pertomaks dan menggantungnya di tiang bagian buritan perahu. Kami sengaja menyalakan lampu petromaks itu setelah tongkang mulai mendekat, sebab jika kami menyalakannya ketika jarak tongkang masih jauh, tongkang itu akan berbelok ke jalur yang lain sebab biasanya tongkang akan menghindari perahu-perahu nelayan yang lebih kecil. Namun jika kami menyalakan lampu ketika tongkang mulai mendekat, biasanya tongkang itu akan memperlambat lajunya, maka perahu kami akan semakin mudah menghadang tongkang itu di depannya. Siasat itu berulang kali dikemukakan paman di sepanjang perjalanan.
Kulihat tongkang itu mulai mendekat. Perahu kami siap menghadang di depannya. Di sekitar kami, kulihat empat perahu lain juga bersiap menghadang laju tongkang itu. Tubuhku semakin gemetar. Aku tahu, inilah saat-saat paling genting. Paman bilang, bahaya terbesar dari rencana kami adalah ketika kami gagal menghadang laju tongkang dan kemudian perahu kami tertabrak. Ketika sudah berhasil menghentikan dan naik ke atas tongkang, kata paman, semuanya akan lebih mudah.
Tongkang itu memelankan lajunya. Kulihat paman tersenyum. Tubuhku tak lagi segemetar tadi. Paman melambai-silangkan kedua tangannya untuk memberi tanda agar tongkang itu berhenti. Tongkang itu pun berhenti tak jauh dari perahu kami, perahu kami merapat di sisi lambung tongkang itu. Paman melompat ke tangga yang menggantung pada lambung tongkang itu dengan membawa parangnya. Langkah paman diikuti oleh tiga anak buahnya, naik ke tangga di lambung tongkang dengan menggenggam celurit dan parang. Aku ditemani seorang anak buah paman yang lain menunggu di atas perahu tak jauh dari tangga.
Dari atas perahu, kulihat tumpukan karung beras di atas tongkang, juga tumpukan karung-karung lain yang entah apa isinya. Aku membayangkan sebagian karung-karung itu tak lama lagi akan berpindah ke atas perahu kami, lalu akan kami bawa pulang ke pulau. Aku tak peduli jika emak memarahiku karena mengetahui aku ikut perahu paman dan pulang membawa beras, yang penting kami bisa makan. Aku ingin emak cepat sembuh. Emak butuh makan biar tidak gampang sakit-sakitan, adik bayiku juga butuh air susu emak. Di atas tongkang itu pasti juga ada susu dan bahan-bahan makanan lain. Aku berharap paman dan anak-anak buahnya juga membawa turun susu buat adikku.
Suasana sesaat hening. Perahu-perahu lain mulai merapat pada sisi tongkang. Aku hanya bisa menerka apa yang sedang terjadi di atas tongkang itu. Mungkin paman sedang mengumpulkan para awak tongkang itu dan mengancam mereka dengan parang. Aku hanya bisa menunggu. Sejenak kemudian terdengar suara percakapan yang disusul suara tembakan.
“Lompat!” seseorang berteriak. Aku tahu itu suara paman.
Tak lama kemudian terdengar suara debur air pertanda ada orang yang melompat. Kulihat perahu-perahu lain yang semula merapat ke tongkang itu seketika menghindar setelah mendengar suara tembakan. Mesin tongkang itu kembali menyala, perlahan-lahan melaju dan semakin menambah kecepatan. Aku memperhatikan tongkang itu dengan mata nanar.
Di buritan perahu, kulihat seorang anak buah paman naik ke atas perahu dengan pakaian basah kuyup. “Pamanmu tertembak,” katanya dengan suara parau.
Aku menangis sambil berusaha mencari-cari paman di lautan. Dalam tangisku kulihat bayangan wajah paman yang sedang menahan sakit terkenan tembakan, bayangan wajah emak yang semakin kusut dan badannya yang kurus kering, bayangan wajah Wail dan adik bayiku yang tak henti-hentinya menangis karena kelaparan. []
(Yogyakarta, Februari 2015)


Tidak ada komentar: