Ketika sore yang hangat mulai beranjak dan bulan purnama bersiap
menggantikan matahari yang hampir tenggelam, paman mempercepat laju perahunya
dan menyuruh anak-anak buahnya mempersiapkan peralatan. Bukan jaring atau pukat
penangkap ikan, melainkan celurit dan parang. Aku berangkat dari pulau dengan
perasaan menggebu-gebu, tapi entah kenapa nyaliku menciut begitu sampai di
tengah laut dan menyadari bahwa hari semakin gelap dan kelabu.
Tiba di jalur perlintasan kapal-kapal sebelum matahari tenggelam, kulihat perahu-perahu
lain yang lebih dulu tiba sedang mengatur jarak dan posisi. Sejauh pandanganku
sebelum matahari semakin kabur, ada empat perahu lain yang berada tak jauh dari
jangkauan penglihatan kami. Paman menghentikan perahu, kemudian menurunkan
jangkar perlahan-lahan ke dasar lautan dengan mengulurkan tali tambang yang
terikat pada ujung jangkar.
Setelah jangkar dilepas paman, kami diam hening dan duduk menunggu. Tak
ada yang berani memulai pembicaraan. Aku sibuk mengatur nafasku yang semakin
terpatah-patah karena terlalu tegang sepanjang perjalanan. Kulihat paman
tersenyum kepadaku, sembari melemparkan botol berisi air. Aku meneguk air dalam
botol itu hingga tandas separuhnya.
*
* *
“Jangan beri tahu emakmu,” kata paman pada malam sebelum kami berangkat.
Aku mengangguk. Emak sedang sakit, beliau tentu akan cemas dan mungkin sakitnya
akan bertambah parah jika beliau tahu aku ikut berlayar dengan paman. Aku
terpaksa akan berbohong pada emak, pergi meninggalkan beliau dan adikku yang
masih berumur empat bulan yang sering menangis minta netek padahal air susu
emak jarang bisa keluar karena beliau sedang sakit dan badannya kurus kering
karena terlalu sering menahan lapar. Sementara abah pergi meninggalkan kami ketika
kandungan adikku masih berumur empat bulan dan sejak itu abah tidak pernah
mengirim kabar. Emak bilang, abah pergi mengadu nasib ke negeri tetangga,
mencari nafkah untuk kami dan untuk persiapan kelahiran adikku.
Semenjak emak mengetahui pekerjaan abah, emak memarahi abah dan meminta
abah berhenti dari pekerjaannya. Setahuku, itu pertama kalinya emak marah
sambil meraung-raung di depan abah. Abah menuruti permintaan emak untuk
meninggalkan pekerjaannya lebih karena beliau mengkhawatirkan janin yang sedang
dikandung emak.
“Apa sudah tidak ada ikan di laut, Bang, sampai kau tega merampas harta
orang?!” Abah hanya diam, beliau tidak menimpali pertanyaan emak, sebab kami
sama-sama mengerti, sebelum abah menjalani pekerjaan yang dianggap emak keji,
abah jarang sekali mendapatkan ikan tangkapan. Kata abah, laut di perairan
tempat biasa beliau menangkap ikan sudah tercemar dan ditinggalkan ikan-ikan,
dan perahu kecil abah tidak akan mampu menerjang ombak di perairan lain yang
ombaknya lebih tinggi. Sementara di perairan dekat pulau karang-karangnya sudah
hancur karena nelayan terlalu sering menangkap ikan menggunakan bom molotov.
Abah mengalah dan kembali ke pekerjaan lamanya menangkap ikan di perairan
yang sudah tercemar, dan seringkali pulang dengan raut wajah putus asa. Tak
jarang abah pulang hanya membawa kepiting-kepiting karang yang besarnya hanya
separuh telapak tanganku. Terpaksa emak memasak kepiting karang yang bau lumutnya
begitu menyengat itu sebab tak ada lagi yang bisa kami makan. Kepiting itu
sedikit sekali dagingnya, sehingga tak jarang kami kunyah dan telan juga
cangkangnya yang tidak terlalu keras untuk mengganjal perut kami yang lapar. Jangan
pernah tanyakan tentang nasi. Nasi, bagi sebagian besar penduduk di pulau kami
yang kecil dan terpencil ini, hanya bisa diperoleh dengan jalan yang dianggap
emak sebagai pekerjaan keji.
*
* *
“Berapa umurmu, Jang?” tanya paman membuka pembicaraan ketika kami sedang
suntuk menunggu. Matahari sudah lama redup dan berganti cahaya purnama yang
cahayanya memantul ke permukaan air tenang tempat kami menurunkan jangkar. Kata
paman, malam purnama adalah waktu paling sempurna untuk merompak. Kemilau
cahaya bulan akan membantu kami melihat tongkang yang hendak melintas dari
kejauhan.
“Dua belas, Paman. Selisih empat tahun dari Wail,” jawabku dengan bibir
bergetar, kecemasan terus melandaku selama kami dalam pengintaian. Wail adalah
adik kandungku yang dipungut paman. Paman tak punya anak, sedang abah merasa
sudah tak mampu untuk memberinya makan, jadilah Wail diasuh paman.
“Dulu, aku baru berani melaut ketika umur lima belas. Kamu hebat, Jang,”
ucap paman memujiku. Aku tahu, paman sedang berusaha menenangkanku. “Ingat,
nanti kau tunggu saja di atas perahu, jangan ikut melompat ke atas tongkang.
Terima saja barang-barang yang kami ulurkan.” Aku mengangguk.
Paman berulang-ulang mengingatkan anak-anak buahnya untuk mengikuti
komando, jangan bertindak sendiri-sendiri. Ada enam orang di atas perahu paman.
Nanti, dua orang—termasuk aku—akan menunggu di atas perahu, sementara empat
orang lainnya akan melompat ke atas tongkang yang kami hentikan untuk mengambil
barang-barang.
“Jangan takut, Jang. Awak-awak tongkang itu tak bersenjata, dan paling
banyak hanya sepuluh orang. Mereka akan ciut melihat kita membawa celurit dan
parang. Apalagi, awak-awak perahu lain di sana akan membantu kita melumpuhkan
mereka,” ucap paman sembari menunjuk perahu-perahu lain yang bisa kami lihat di
kejauhan meskipun lampu-lampu perahu itu dimatikan. Cahaya bulan purnama
benar-benar membantu kami dalam pengintaian ini. Jika ada tongkang yang
terlihat di kejauhan, kami akan mengangkat jangkar, lalu memindahkan perahu
kami untuk menghadang jalur tongkang itu. Empat perahu lain di sekitar kami
akan melakukan hal yang sama. Kata paman, tongkang yang melintas di perairan
ini biasanya memuat bahan-bahan makanan, kami akan mengambilnya sebagian.
*
* *
Bulan purnama bersinar tepat di atas perahu kami ketika sebuah tongkang
terlihat melintas di kejauhan. Kami yang semula hanya duduk menunggu seketika
bergegas mengangkat jangkar, seseorang menyalakan mesin perahu, seorang lagi
menyalakan lampu pertomaks dan menggantungnya di tiang bagian buritan perahu.
Kami sengaja menyalakan lampu petromaks itu setelah tongkang mulai mendekat,
sebab jika kami menyalakannya ketika jarak tongkang masih jauh, tongkang itu
akan berbelok ke jalur yang lain sebab biasanya tongkang akan menghindari
perahu-perahu nelayan yang lebih kecil. Namun jika kami menyalakan lampu ketika
tongkang mulai mendekat, biasanya tongkang itu akan memperlambat lajunya, maka
perahu kami akan semakin mudah menghadang tongkang itu di depannya. Siasat itu
berulang kali dikemukakan paman di sepanjang perjalanan.
Kulihat tongkang itu mulai mendekat. Perahu kami siap menghadang di
depannya. Di sekitar kami, kulihat empat perahu lain juga bersiap menghadang
laju tongkang itu. Tubuhku semakin gemetar. Aku tahu, inilah saat-saat paling
genting. Paman bilang, bahaya terbesar dari rencana kami adalah ketika kami
gagal menghadang laju tongkang dan kemudian perahu kami tertabrak. Ketika sudah
berhasil menghentikan dan naik ke atas tongkang, kata paman, semuanya akan
lebih mudah.
Tongkang itu memelankan lajunya. Kulihat paman tersenyum. Tubuhku tak lagi
segemetar tadi. Paman melambai-silangkan kedua tangannya untuk memberi tanda
agar tongkang itu berhenti. Tongkang itu pun berhenti tak jauh dari perahu kami,
perahu kami merapat di sisi lambung tongkang itu. Paman melompat ke tangga yang
menggantung pada lambung tongkang itu dengan membawa parangnya. Langkah paman
diikuti oleh tiga anak buahnya, naik ke tangga di lambung tongkang dengan
menggenggam celurit dan parang. Aku ditemani seorang anak buah paman yang lain
menunggu di atas perahu tak jauh dari tangga.
Dari atas perahu, kulihat tumpukan karung beras di atas tongkang, juga
tumpukan karung-karung lain yang entah apa isinya. Aku membayangkan sebagian karung-karung
itu tak lama lagi akan berpindah ke atas perahu kami, lalu akan kami bawa
pulang ke pulau. Aku tak peduli jika emak memarahiku karena mengetahui aku ikut
perahu paman dan pulang membawa beras, yang penting kami bisa makan. Aku ingin
emak cepat sembuh. Emak butuh makan biar tidak gampang sakit-sakitan, adik
bayiku juga butuh air susu emak. Di atas tongkang itu pasti juga ada susu dan bahan-bahan
makanan lain. Aku berharap paman dan anak-anak buahnya juga membawa turun susu
buat adikku.
Suasana sesaat hening. Perahu-perahu lain mulai merapat pada sisi
tongkang. Aku hanya bisa menerka apa yang sedang terjadi di atas tongkang itu.
Mungkin paman sedang mengumpulkan para awak tongkang itu dan mengancam mereka
dengan parang. Aku hanya bisa menunggu. Sejenak kemudian terdengar suara
percakapan yang disusul suara tembakan.
“Lompat!” seseorang berteriak. Aku tahu itu suara paman.
Tak lama kemudian terdengar suara debur air pertanda ada orang yang
melompat. Kulihat perahu-perahu lain yang semula merapat ke tongkang itu seketika
menghindar setelah mendengar suara tembakan. Mesin tongkang itu kembali
menyala, perlahan-lahan melaju dan semakin menambah kecepatan. Aku
memperhatikan tongkang itu dengan mata nanar.
Di buritan perahu, kulihat seorang anak buah paman naik ke atas perahu
dengan pakaian basah kuyup. “Pamanmu tertembak,” katanya dengan suara parau.
Aku menangis sambil berusaha mencari-cari paman di lautan. Dalam tangisku
kulihat bayangan wajah paman yang sedang menahan sakit terkenan tembakan,
bayangan wajah emak yang semakin kusut dan badannya yang kurus kering, bayangan
wajah Wail dan adik bayiku yang tak henti-hentinya menangis karena kelaparan.
[]
(Yogyakarta, Februari
2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar