Toko
meubel satu-satunya di desa kami itu mendadak disesaki ratusan pelayat ketika
matahari baru terbit. Tepat ketika sirine panjang dari masjid di seberang jalan—tanda
waktu subuh telah habis—berbunyi, para pelayat sontak melantunkan kalimat tahlil, perempuan-perempuan yang duduk
bersila mengitari jenazah itu terus melantunkan doa dan tak sadar menitikkan
air mata. Seorang Waliyah telah berpulang, bisik seseorang. Waliyah yang
akhir-akhir ini kerap menjadi bahan perbincangan orang-orang itu kini telah
meninggal dunia, terbaring tenang di emperan toko yang selama sebulan ini telah
menjadi tempat tinggalnya.
Seiring
terbitnya matahari pagi yang mulai menerangi desa kami, kerumunan pelayat di
emperan toko meubel itu terus bertambah, meluber hingga ke jalan raya
kecamatan. Orang-orang saling berdesakan ingin mendekat untuk melihat jasad sang
Waliyah, beberapa lelaki nampak sibuk mengatur lalu-lintas jalan raya kecamatan
yang mulai tersendat oleh kerumunan para pelayat yang terus berdatangan.
Tak ada
yang menyangka bahwa perempuan yang kami yakini sebagai Waliyah itu akan
meninggal di desa kami, mengembuskan nafas terakhirnya di emperan toko meubel Haji
Salani. Subuh tadi seperti biasanya perempuan itu datang ke masjid, keluar
lebih awal seusai shalat jamaah untuk kembali ke emperan toko Haji Salani.
Setelah mengganti mukenahnya dan mengambil kitab suci, biasanya ia akan kembali
lagi untuk mengaji di komplek pemakaman Wali di samping masjid. Tapi pagi tadi,
tak seperti biasanya perempuan itu malah terbaring tenang beralaskan tikar
pandan di emperan toko meubel itu.
Awalnya
kami mengira bahwa perempuan itu sedang tidur, mungkin kelelahan. Namun ketika
perempuan-perempuan penjual sayur yang setiap pagi biasa berjualan di emperan
toko meubel itu datang dan hendak menggelar dagangannya, ia tidak bisa
dibangunkan. Ia benar-benar tertidur pulas untuk selama-lamanya, sehingga
membuat gempar penduduk desa.
Berita
duka kemudian tersebarlah.
Kami
seakan ditinggalkan seseorang yang teramat penting dalam kehidupan kami. Semenjak
kedatangannya yang secara tiba-tiba pada awal bulan puasa lalu, perempuan itu,
dalam waktu yang singkat, sedikit-banyak telah membawa perubahan dalam
kehidupan kami, menjadi penyejuk bagi kehidupan kami di tanah yang kering dan gersang
ini.
Perempuan
itu mungkin menemukan tempat tinggal yang nyaman di desa kami, desa kecamatan
tepi pesisir yang di sepanjang tepi jalan rayanya dijejali belasan toko
cinderamata yang seringkali dikunjungi para peziarah yang datang dari luar kota.
Ia datang pada minggu pertama bulan Ramadan, sehingga semula kami mengira bahwa
perempuan itu adalah musyafir yang tengah melakukan rihlah untuk mencari berkah di bulan suci. Sebagaimana Ramadan tahun-tahun
lalu, memang banyak orang asing singgah di desa kami untuk berziarah ke makam
Wali. Tapi perempuan itu berbeda dari musyafir dan peziarah kebanyakan. Jika
biasanya musyafir dan peziarah yang datang ke desa kami menghabiskan waktunya
untuk beri’tikaf di masjid, perempuan
itu justru lebih banyak duduk di emperan toko meubel, sehingga wajar jika
sebagian dari kami menganggapnya gelandangan, bahkan tidak sedikit dari kami
yang menganggap perempuan itu gila.
Bagaimana
tidak? Ia—perempuan yang hingga hari kematiannya tidak kami ketahui nama dan
asal-usulnya itu, seringkali bertingkah ganjil. Pada hari kedatangannya, ia sudah
bertindak aneh dan membuat kami merasa heran. Perempuan itu membuat keributan
kecil di halaman masjid karena ia hendak keluar dari gerbang masjid dengan masih
memakai mukenah inventaris masjid, yang tidak boleh dibawa pulang. Penjaga
masjid sontak langsung menegur perempuan itu, mengingatkannya untuk
mengembalikan mukenah yang dipakainya ke dalam masjid. Perempuan itu hanya
tersenyum aneh sambil menunjuk toko meubel di seberang jalan, lalu berlalu
begitu saja meninggalkan kami tanpa sepatah kata pun.
Setelah
beberapa hari, kami mulai terbiasa dengan tingkah ganjil perempuan itu, bahkan
mengenali kebiasaannya. Ia adalah orang pertama yang datang ke masjid pada
waktu subuh. Sebelum azan berkumandang, perempuan itu sudah berada di masjid,
duduk bersila di dekat pintu masuk jamaah perempuan. Ia akan menyalami
perempuan yang datang ke masjid satu-persatu. Ketika shalat jamaah dimulai, ia
akan berdiri di barisan paling belakang, dan setelah jamaah usai, ia akan
kembali menyalami setiap jamaah perempuan yang hendak keluar dari masjid.
Perempuan itu kemudian akan menuju emperan toko meubel di seberang jalan,
melipat dan menyimpan mukenahnya di salah satu lemari dagangan Haji Salani, lalu,
dengan memeluk Alqurannya, ia akan kembali menyeberang jalan menuju komplek
pemakaman Wali di samping masjid, dan mengaji di sana hingga waktu dhuha tiba.
Rutinitasnya
sehari-hari hanya dilakukan di tiga tempat: mandi dan beribadah di masjid,
mengaji di makam Wali, dan beristirahat di emperan toko meubel Haji Salani.
Setelah seharian berkutat di masjid dan makam Wali, menjelang maghrib ia akan
duduk di emperan toko meubel menunggu waktu berbuka, asyik menggumam sendiri
hingga azan berkumandang. Biasanya ia akan berbuka bersama di masjid, tak
jarang juga ada orang yang bersedekah mengantar makanan untuknya ke emperan
toko meubel itu. Haji Salani yang dikenal dermawan, tak pernah sekali pun
mengusir perempuan itu dari emperan tokonya, bahkan ia memberinya tikar dan
merelakan salah satu lemari dagangan di emperan tokonya untuk dipakai perempuan
itu menyimpan pakaiannya—yang jumlahnya hanya beberapa potong.
Perempuan
itu jarang sekali berbicara, kalau pun berbicara, ia hanya mengucapkan beberapa
patah kata. Ia lebih banyak menggumam dan, ketika menggumam, ia seakan sedang
bercakap dengan seseorang. Sering kami perhatikan perempuan itu menggumam
sendiri di emperan toko, gumamannya terdengar berirama, seperti bersenandung.
Desas-desus
seputar asal-usul perempuan itu pun kemudian merebaklah. Ada yang mengatakan, perempuan
itu dulunya adalah istri seorang Kiai, yang menjadi gila karena dimadu oleh
suaminya. Ada pula yang curiga perempuan itu adalah orang yang hilang ingatan.
Kecurigaan itu mungkin wajar, sebab setiap kami mencoba berbicara dengan
perempuan itu dan menanyakan tentang keluarga dan asal-usulnya, perempuan itu
hanya tersenyum ganjil seperti orang linglung. Seseorang lainnya memberi
kesaksian bahwa dulu ia sering melihat perempuan itu mengemis di Masjid Jami’. Namun
desas-desus yang terus bermunculan, justru semakin mengaburkan tentang siapa perempuan
itu dan dari mana sebenarnya ia berasal.
Yang
benar-benar kami tahu dari perempuan itu adalah, ia sangat rajin beribadah. Sepanjang
hari ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan shalat dan mengaji. Perilaku
ganjilnya seakan tak membekas ketika perempuan itu sedang shalat dan mengaji.
Shalatnya sangat tenang dan khusyuk, dan jika mengaji, suaranya indah sekali. Sering
kami mencuri dengar setiap perempuan itu sedang mengaji, ia mengaji dengan
sangat merdu. Ayat-ayat suci yang terlantun dari bibirnya seakan mampu membawa kesejukan.
Setiap mendengar perempuan itu mengaji, entah kenapa kami selalu teringat akan
dosa-dosa kami, menyadari bahwa iman kami masih jauh dari sempurna. Suara
merdunya ketika mengaji, seringkali membuat kami tidak sadar menitikkan air
mata.
Kiai Damhuri,
ulama terkemuka di desa kami, dalam sebuah ceramahnya bahkan sampai menyinggung
ketaqwaan perempuan itu. “Kalau aku harus menyebut siapa orang yang membuatku malu
di hadapan Allah—dalam urusan ibadah, maka perempuan itulah orangnya.” Dan
tentang suara merdunya ketika mengaji, Kiai Damhuri berkata, “Suara perempuan
itu akan lebih dulu sampai di surga bahkan sebelum hari kematiannya.”
Ceramah
Kiai Damhuri itu sontak membuat kami menarik kesimpulan bahwa perempuan itu
bukanlah orang sembarangan.
“Bukan
tidak mungkin kalau perempuan itu adalah Waliyah yang diutus Allah untuk
menguji kadar keimanan kita.”
“Iya. Tidak
ada yang mampu mengetahui kewalian seseorang kecuali seorang Wali. Dawuh Kiai Damhuri tempo hari,
menyiratkan bahwa perempuan itu bukanlah orang sembarangan.”
“Mungkin perempuan itu adalah Wali Majnun.”
“Betul,
memang ada di antara Wali Allah yang jadzab—bertindak
di luar kewajaran manusia normal seperti kita, bahkan kelakuannya seringkali mendekati
kegilaan.”
“Barangkali
ia telah sampai pada puncak pencarian akan Tuhannya, sehingga lupa akan dirinya
dan tertutupi dari segala hal yang bersifat duniawi.”
“Wallahu a’lam.”
Maka
sejak Kiai Damhuri menyinggung perempuan itu dalam ceramahnya, kami tersadar bahwa
iman kami masih jauh dari sempurna, bahwa kami sering lalai dalam menjalankan
perintah agama. Kami mulai tergugah untuk memperbaiki ibadah kami, saling
berlomba-lomba melakukan kebaikan dan beribadah di bulan suci. Masjid yang
semula sepi kini selalu penuh setiap memasuki waktu shalat. Suara lantunan ayat
suci terdengar lagi dari masjid-masjid seluruh penjuru desa. Ramadan kami
menjadi jauh lebih khidmat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
* * *
Selepas
dimandikan, jasad perempuan itu disemayamkan di dalam masjid. Ribuan pelayat
yang sejak tadi memenuhi emperan toko meubel dan jalan raya mulai merangsek ke
halaman masjid, saling berdesakan, berebut tempat untuk ikut menyalatkan.
Masjid dan jalan raya kecamatan itu mendadak menjadi rumah duka. Di tengah
riuh-rendah suara takbir dan tahlil para petakziah, Kiai Damhuri memberikan sambutan
singkatnya, bahwa desa ini telah kehilangan salah satu orang terbaiknya; dan beliau
memohon izin kepada masyarakat agar berkenan bila perempuan itu dikuburkan di
komplek pemakamanWali.
Maka
pekik takbir kemudian kembali berkumandang, menggema menembus sekat-sekat
ruang. Ketika keranda perempuan itu mulai ditandu keluar dari pintu masjid, tak
sedikit dari kami yang menangis, menyadari bahwa kehadirannya yang singkat di
tengah kehidupan kami, telah membawa kesejukan dan perubahan yang besar dalam
kehidupan kami. Di tengah riuh-rendah kumandang tahlil yang tak putus, di tengah
ribuan pelayat yang mengiringi sang Waliyah menuju tempat peristirahatan
terakhirnya, tak sedikit dari kami yang diam-diam bersyukur, bukan atas
kematian perempuan itu, melainkan atas nikmat Allah yang telah memberikan
hidayahnya kepada kami, meski harus melalui sosok seorang perempuan gila. []
/Yogyakarta, 2015.
Catatan:
Waliyah: wali perempuan; Rihlah:
perjalanan; Dawuh: perkataan; Majnun: gila.
Lukisan: "Nogales Beggar Woman", painting-pastel on canson by Shirley Leswick, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar