Selasa, 15 September 2015

Meninggalnya Seorang Waliyah

Cerpen Badrul Munir Chair (Tribun Jabar, 13 September 2015)




Toko meubel satu-satunya di desa kami itu mendadak disesaki ratusan pelayat ketika matahari baru terbit. Tepat ketika sirine panjang dari masjid di seberang jalan—tanda waktu subuh telah habis—berbunyi, para pelayat sontak melantunkan kalimat tahlil, perempuan-perempuan yang duduk bersila mengitari jenazah itu terus melantunkan doa dan tak sadar menitikkan air mata. Seorang Waliyah telah berpulang, bisik seseorang. Waliyah yang akhir-akhir ini kerap menjadi bahan perbincangan orang-orang itu kini telah meninggal dunia, terbaring tenang di emperan toko yang selama sebulan ini telah menjadi tempat tinggalnya.

Seiring terbitnya matahari pagi yang mulai menerangi desa kami, kerumunan pelayat di emperan toko meubel itu terus bertambah, meluber hingga ke jalan raya kecamatan. Orang-orang saling berdesakan ingin mendekat untuk melihat jasad sang Waliyah, beberapa lelaki nampak sibuk mengatur lalu-lintas jalan raya kecamatan yang mulai tersendat oleh kerumunan para pelayat yang terus berdatangan.

Tak ada yang menyangka bahwa perempuan yang kami yakini sebagai Waliyah itu akan meninggal di desa kami, mengembuskan nafas terakhirnya di emperan toko meubel Haji Salani. Subuh tadi seperti biasanya perempuan itu datang ke masjid, keluar lebih awal seusai shalat jamaah untuk kembali ke emperan toko Haji Salani. Setelah mengganti mukenahnya dan mengambil kitab suci, biasanya ia akan kembali lagi untuk mengaji di komplek pemakaman Wali di samping masjid. Tapi pagi tadi, tak seperti biasanya perempuan itu malah terbaring tenang beralaskan tikar pandan di emperan toko meubel itu.

Awalnya kami mengira bahwa perempuan itu sedang tidur, mungkin kelelahan. Namun ketika perempuan-perempuan penjual sayur yang setiap pagi biasa berjualan di emperan toko meubel itu datang dan hendak menggelar dagangannya, ia tidak bisa dibangunkan. Ia benar-benar tertidur pulas untuk selama-lamanya, sehingga membuat gempar penduduk desa.

Berita duka kemudian tersebarlah.

Kami seakan ditinggalkan seseorang yang teramat penting dalam kehidupan kami. Semenjak kedatangannya yang secara tiba-tiba pada awal bulan puasa lalu, perempuan itu, dalam waktu yang singkat, sedikit-banyak telah membawa perubahan dalam kehidupan kami, menjadi penyejuk bagi kehidupan kami di tanah yang kering dan gersang ini.

Perempuan itu mungkin menemukan tempat tinggal yang nyaman di desa kami, desa kecamatan tepi pesisir yang di sepanjang tepi jalan rayanya dijejali belasan toko cinderamata yang seringkali dikunjungi para peziarah yang datang dari luar kota. Ia datang pada minggu pertama bulan Ramadan, sehingga semula kami mengira bahwa perempuan itu adalah musyafir yang tengah melakukan rihlah untuk mencari berkah di bulan suci. Sebagaimana Ramadan tahun-tahun lalu, memang banyak orang asing singgah di desa kami untuk berziarah ke makam Wali. Tapi perempuan itu berbeda dari musyafir dan peziarah kebanyakan. Jika biasanya musyafir dan peziarah yang datang ke desa kami menghabiskan waktunya untuk beri’tikaf di masjid, perempuan itu justru lebih banyak duduk di emperan toko meubel, sehingga wajar jika sebagian dari kami menganggapnya gelandangan, bahkan tidak sedikit dari kami yang menganggap perempuan itu gila.

Bagaimana tidak? Ia—perempuan yang hingga hari kematiannya tidak kami ketahui nama dan asal-usulnya itu, seringkali bertingkah ganjil. Pada hari kedatangannya, ia sudah bertindak aneh dan membuat kami merasa heran. Perempuan itu membuat keributan kecil di halaman masjid karena ia hendak keluar dari gerbang masjid dengan masih memakai mukenah inventaris masjid, yang tidak boleh dibawa pulang. Penjaga masjid sontak langsung menegur perempuan itu, mengingatkannya untuk mengembalikan mukenah yang dipakainya ke dalam masjid. Perempuan itu hanya tersenyum aneh sambil menunjuk toko meubel di seberang jalan, lalu berlalu begitu saja meninggalkan kami tanpa sepatah kata pun.

Setelah beberapa hari, kami mulai terbiasa dengan tingkah ganjil perempuan itu, bahkan mengenali kebiasaannya. Ia adalah orang pertama yang datang ke masjid pada waktu subuh. Sebelum azan berkumandang, perempuan itu sudah berada di masjid, duduk bersila di dekat pintu masuk jamaah perempuan. Ia akan menyalami perempuan yang datang ke masjid satu-persatu. Ketika shalat jamaah dimulai, ia akan berdiri di barisan paling belakang, dan setelah jamaah usai, ia akan kembali menyalami setiap jamaah perempuan yang hendak keluar dari masjid. Perempuan itu kemudian akan menuju emperan toko meubel di seberang jalan, melipat dan menyimpan mukenahnya di salah satu lemari dagangan Haji Salani, lalu, dengan memeluk Alqurannya, ia akan kembali menyeberang jalan menuju komplek pemakaman Wali di samping masjid, dan mengaji di sana hingga waktu dhuha tiba.

Rutinitasnya sehari-hari hanya dilakukan di tiga tempat: mandi dan beribadah di masjid, mengaji di makam Wali, dan beristirahat di emperan toko meubel Haji Salani. Setelah seharian berkutat di masjid dan makam Wali, menjelang maghrib ia akan duduk di emperan toko meubel menunggu waktu berbuka, asyik menggumam sendiri hingga azan berkumandang. Biasanya ia akan berbuka bersama di masjid, tak jarang juga ada orang yang bersedekah mengantar makanan untuknya ke emperan toko meubel itu. Haji Salani yang dikenal dermawan, tak pernah sekali pun mengusir perempuan itu dari emperan tokonya, bahkan ia memberinya tikar dan merelakan salah satu lemari dagangan di emperan tokonya untuk dipakai perempuan itu menyimpan pakaiannya—yang jumlahnya hanya beberapa potong.

Perempuan itu jarang sekali berbicara, kalau pun berbicara, ia hanya mengucapkan beberapa patah kata. Ia lebih banyak menggumam dan, ketika menggumam, ia seakan sedang bercakap dengan seseorang. Sering kami perhatikan perempuan itu menggumam sendiri di emperan toko, gumamannya terdengar berirama, seperti bersenandung.

Desas-desus seputar asal-usul perempuan itu pun kemudian merebaklah. Ada yang mengatakan, perempuan itu dulunya adalah istri seorang Kiai, yang menjadi gila karena dimadu oleh suaminya. Ada pula yang curiga perempuan itu adalah orang yang hilang ingatan. Kecurigaan itu mungkin wajar, sebab setiap kami mencoba berbicara dengan perempuan itu dan menanyakan tentang keluarga dan asal-usulnya, perempuan itu hanya tersenyum ganjil seperti orang linglung. Seseorang lainnya memberi kesaksian bahwa dulu ia sering melihat perempuan itu mengemis di Masjid Jami’. Namun desas-desus yang terus bermunculan, justru semakin mengaburkan tentang siapa perempuan itu dan dari mana sebenarnya ia berasal.

Yang benar-benar kami tahu dari perempuan itu adalah, ia sangat rajin beribadah. Sepanjang hari ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan shalat dan mengaji. Perilaku ganjilnya seakan tak membekas ketika perempuan itu sedang shalat dan mengaji. Shalatnya sangat tenang dan khusyuk, dan jika mengaji, suaranya indah sekali. Sering kami mencuri dengar setiap perempuan itu sedang mengaji, ia mengaji dengan sangat merdu. Ayat-ayat suci yang terlantun dari bibirnya seakan mampu membawa kesejukan. Setiap mendengar perempuan itu mengaji, entah kenapa kami selalu teringat akan dosa-dosa kami, menyadari bahwa iman kami masih jauh dari sempurna. Suara merdunya ketika mengaji, seringkali membuat kami tidak sadar menitikkan air mata.

Kiai Damhuri, ulama terkemuka di desa kami, dalam sebuah ceramahnya bahkan sampai menyinggung ketaqwaan perempuan itu. “Kalau aku harus menyebut siapa orang yang membuatku malu di hadapan Allah—dalam urusan ibadah, maka perempuan itulah orangnya.” Dan tentang suara merdunya ketika mengaji, Kiai Damhuri berkata, “Suara perempuan itu akan lebih dulu sampai di surga bahkan sebelum hari kematiannya.”

Ceramah Kiai Damhuri itu sontak membuat kami menarik kesimpulan bahwa perempuan itu bukanlah orang sembarangan.

“Bukan tidak mungkin kalau perempuan itu adalah Waliyah yang diutus Allah untuk menguji kadar keimanan kita.”

“Iya. Tidak ada yang mampu mengetahui kewalian seseorang kecuali seorang Wali. Dawuh Kiai Damhuri tempo hari, menyiratkan bahwa perempuan itu bukanlah orang sembarangan.”

 “Mungkin perempuan itu adalah Wali Majnun.”

“Betul, memang ada di antara Wali Allah yang jadzab—bertindak di luar kewajaran manusia normal seperti kita, bahkan kelakuannya seringkali mendekati kegilaan.”

“Barangkali ia telah sampai pada puncak pencarian akan Tuhannya, sehingga lupa akan dirinya dan tertutupi dari segala hal yang bersifat duniawi.”

“Wallahu a’lam.”

Maka sejak Kiai Damhuri menyinggung perempuan itu dalam ceramahnya, kami tersadar bahwa iman kami masih jauh dari sempurna, bahwa kami sering lalai dalam menjalankan perintah agama. Kami mulai tergugah untuk memperbaiki ibadah kami, saling berlomba-lomba melakukan kebaikan dan beribadah di bulan suci. Masjid yang semula sepi kini selalu penuh setiap memasuki waktu shalat. Suara lantunan ayat suci terdengar lagi dari masjid-masjid seluruh penjuru desa. Ramadan kami menjadi jauh lebih khidmat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

* * *

Selepas dimandikan, jasad perempuan itu disemayamkan di dalam masjid. Ribuan pelayat yang sejak tadi memenuhi emperan toko meubel dan jalan raya mulai merangsek ke halaman masjid, saling berdesakan, berebut tempat untuk ikut menyalatkan. Masjid dan jalan raya kecamatan itu mendadak menjadi rumah duka. Di tengah riuh-rendah suara takbir dan tahlil para petakziah, Kiai Damhuri memberikan sambutan singkatnya, bahwa desa ini telah kehilangan salah satu orang terbaiknya; dan beliau memohon izin kepada masyarakat agar berkenan bila perempuan itu dikuburkan di komplek pemakamanWali.

Maka pekik takbir kemudian kembali berkumandang, menggema menembus sekat-sekat ruang. Ketika keranda perempuan itu mulai ditandu keluar dari pintu masjid, tak sedikit dari kami yang menangis, menyadari bahwa kehadirannya yang singkat di tengah kehidupan kami, telah membawa kesejukan dan perubahan yang besar dalam kehidupan kami. Di tengah riuh-rendah kumandang tahlil yang tak putus, di tengah ribuan pelayat yang mengiringi sang Waliyah menuju tempat peristirahatan terakhirnya, tak sedikit dari kami yang diam-diam bersyukur, bukan atas kematian perempuan itu, melainkan atas nikmat Allah yang telah memberikan hidayahnya kepada kami, meski harus melalui sosok seorang perempuan gila. []

                                                                        /Yogyakarta, 2015.

Catatan:

Waliyah: wali perempuan; Rihlah: perjalanan; Dawuh: perkataan; Majnun: gila.

Lukisan: "Nogales Beggar Woman", painting-pastel on canson by Shirley Leswick, 2007.

Tidak ada komentar: