Rabu, 28 Januari 2015

Puisi dari Kampung Halaman dan Tantangan Kultural Penyair

Sebuah Catatan Pembaca Atas Manuskrip Puisi “Lelaki yang Pergi Malam Hari” Karya Badrul Munir Chair.
Oleh: Irwan Bajang* 



 
Tatanan geografis Indonesia sebagai negara kepulauan mau tidak mau berimbas pada pola gerak dan mobilisasi masyarakat secara keseluruhan. Gerak, dalam hal ini tentu dilandasi beraneka ragam motif. Pembangunan yang tidak merata menjadi salah satu penyebab berkembangnya keberagaman motif mobilasisi masyarakat, salah satu motif yang kemudian menjadi beragam dan rumit. Kepadatan penduduk di pulau Jawa, membuat Orde Baru secara “semena-mena” membuat kebijakan transmigrasi. Dengan dalih pemerataan jumlah penduduk, pemerataan pembanguan ekonomi, masyarakat dimobilisasi ke daerah-daerah yang masih dianggap sepi, transmigran diminta membuka hutan dan perkampungan, juga membaur dengan masyarakat lokal setempat.
Tentu dalam hal positif kita bisa menyaksikan pembauran masyarakat pendatang dengan penduduk lokal setempat berimbas baik dalam bidang agama, kehidupan sosial, budaya dan lain sebagainya. Tapi hasil yang tidak baik atau konflik juga tidak bisa diindahkan, tercatat, kerusuhan-kerusuhan etnis beberapa kali terjadi dan menjadi peristiwa politik besar, peristiwa kebudayaan yang mengerikan. Beberapa kritik mengatakan bahwa pemerintah Indonesia di era Orde Baru berupaya memanfaatkan para transmigran untuk menggantikan populasi lokal, dan untuk melemahkan gerakan separatis lokal.
Selain pemaksaan secara halus untuk perpindahan, ketimpangan pembangunan dan sentralisasi ekonomi menjadikan banyak orang memilih secara sadar menjadi perantau, datang ke kota atau daerah yang dianggap lebih maju dari daerah di mana mereka lahir dan besar. Lihatlah di sekeliling kita, Jogja misalnya, kota ini dihuni oleh banyak sekali orang asing, maksud saya orang luar Jogja. Para pekerja datang dari kota-kota satelit, para pelajar datang dari segenap penjuru negeri. Motif paling banyak dari kedatangan mereka adalah ekonomi dan pendidikan. Adanya motif ekonomi membuat kita melihat para pendatang menjadi kaum pekerja sekaligus masyarakat urban di kota ini. Fenomena ini juga tentu ada di kota-kota lain. Kedatangan dengan motif pendidikan, membuat kita menyaksikan tiap gang dihuni oleh kebanyakan kaum muda yang kemudian memberi pengaruh sosial ekonomi bagi daerah yang mereka tempati. Sebagaimana layaknya transmigrasi bermotif ekonomi, arus datang dan arus balik orang “luar kota” ke kota tujuan memberi dampak bagi kota tersebut,  bagi manusia-manusia setempat juga sekaligus bagi diri si pendatang.
Penyair atau sastrawan barangkali paling sering menjadi bagian dari orang-orang yang mencatat dan menceritakan banyak hal tentang diri, situasi, asal-muasal dan lokasi di mana ia berada. Sebagaiman sebuah idiom yang sering kita dengarkan; karya sastra mustahil muncul dari kekosongan.
Saya akan mencoba membahas berberapa puisi Badrul munir dari persepsi yang saya bangun di paragraf-paragraf awal di atas. Kedatangan, kemenetapan diri penyair dan kaitannya dengan puisi puisi yang ia produksi.

***
Mambaca enam puisi Badrul Munir  Chair dalam manuskrip ini, mau tidak mau saya akhirnya mengaitkan diri saya sendiri yang secara kebetulan memiliki beberapa kesamaan dengan dirinya, baik dalam posisi mengamati masyarakat di kota yang kami diami sekarang, juga sebagai pendatang dari pulau luar, lokasi yang jauh, kota dan desa yang jauh.
 Pada puisi pertama—yang saya yakin disusun secara sadar oleh Badrul Munir Chair—ia menempatkan judul “Lelaki yang Pergi Malam Hari”. Puisi ini jika dibaca cepat atau sekilas saja sudah menunjukkan pada kita diksi-diksi yang berkaitan dengan mobilisasi manusia. Badrul memulai kalimat pertamanya dengan kata tunjuk tempat; Ke Barat. Sebuah permulaan yang langsung mengingatkan kita pada kiblat modernisasi, teknologi, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Barat, bagi banyak orang tak bisa lagi di tolak sebagai sesuatu yang kerap dianggap superior. Barat menjanjikan banyak hal bagi orang modern. Dalam banyak percakapan, kita sering mengutip Barat sebagai simbol kemajuan, sebagai alat banding tentang banyak ketertinggalan kita sebagai manusia Timur. Barat menjadi simbol kemajuan dan modernisasi, sementara Timur selain identik dengan tertinggal (seperti bagaimana negara membuat sebutan untuk Indonesia bagian timur) kerap diidentikkan dengan spiritualitas.
Badrul memulai puisinya dengan ke barat, sebuah isyarat tujuan yang kemudian dia lanjutkan dengan diksi-diksi lain yang sangat erat kaitannya dengan nuansa kepergian. Mobilisasi manusia. Badrul menyebut pergi, arah, perantau, rumah, pulau, menyeberang dan diksi-diksi serupa lainnya dalam puisi pertamanya ini. Selanjutnya, selain di puisi ini, kita nantinya akan menemukan diksi dan imaji yang berasosiasi serupa memenuhi hampir keseluruhan badan puisi-puisi dalam manuskrip ini.
Dalam puisi lain tentang “Selat Madura”, puisi yang titimangsanya paling tua (2011) dalam manuskrip ini, pun Badrul tak bisa lepas dari diksi dan imaji tentang perjalanan datang dan pergi manusia;

Selepas selat, dermaga membukakan pintu
pada angin—seperti  menyambut anak-cucu
pulang ke rumah sendiri
kubayangkan perjalanan akan serupa tubuh
cakalan dan hentakan kaki sapi yang
berpacu di lintasan karapan

Suguhan diksi-imaji tentang perpindahan manusia yang dihadirkan Badrul dalam puisi ini membuat saya menduga sekaligus mengiyakan, bahwa sebagai manusia yang pergi dari kampungnya, sang penyair sungguh sulit membuat jarak dengan tanah kelahiran. Muasal dari rangkaian awal kehidupan yang kemudian ia bentuk dan jalani sekaligus membentuk puisi-puisi dan proses kepenyairannya.  Layaknya hampir semua manusia yang pergi, Badrul menyebut diri dalam puisinya sebagai manusia-manusia yang mau tidak mau harus kembali, entah dalam jeda-jeda tertentu sebagaimana lazimnya para perantau yang bisa kita saksikan dalam tradisi mudik-balik di Indonesia.
Dalam puisi ini—entah ditulis di Madura, tanah kelahirannya ataukah di Jogja sebagai tanah rantau dan rumah keduanya—aku dalam diri penyair mau tidak mau mengakui, bahwa kampung halaman, ibu dan entitas lain muasalnya selalu menjadi sesuatu yang lekat bagi diri penyair dan puisinya.
 Langit biru, laut biru. Semuanya mengharu
biru layaknya perkabungan melepas keberangkatan
anak-anak pulau; tembakau, garam, dan
hasil laut yang pergi meninggalkan ibu

Maka kita bisa mengamati atau menarik sebuah dugaan, seorang manusia—yang dalam hal ini diwakili penyair dan puisi Badrul—sungguh tidak lepas dari segala entitas kediriaan awal, sebagai muasal dirinya. Dalam hal ini sebagai anak-anak pulau, yang akrab dengan tembakau, garam dan hasil laut. Sebagaimana Madura  yang selama ini kita kenal.  Fenomena puisi Badrul ini juga akan kita temukan di “Sonet Pengembara”, puisi yang paling muda (2014) yang sekaligus ia pakai sebagai penutup manuskrip ini.
Dalam puisi lainnya, “Aku Telah Jadi Ikan di Sungai Kecil Ini” yang kalau boleh saya kategorikan secara sederhana (kalau tidak serampangan)  sebagai puisi sufistik, pun Badrul tidak bisa terlepas dari entitas awalnya; sejauh apapun ia mau keluar.
Misalnya dari diksi-diski yang lebih terang tentang muasal dirinya, kemaduraannya, kedatangannya sebagai manusia pulau, garam, tembakau dan laut. Ia sama sekali tak bisa menolaknya, diksi-diksi karang, ikan, laut, palung tetap melekat pada dirinya, menolak lepas dan menjauh darinya. Seolah ikan-ikan yang ia jadikan aku lirik dalam puisi ini pun bersaksi tentang perjalan kaki di jembatan tua dan nelayan di tepi pantai.
 Menengok Kampung Halaman  Tanah yang Jauh
Jika kita mengamati pola masyarakat kita, kita akan menemukan sebuah momen atau waktu tertentu di mana banyak masyarakat Indonesia yang mewajibkan rutinitas mudik di hari raya. Baik lebaran, natal ataupun perayaan agama lainnnya. Secara tidak sadar, kita tersusun dari rangkain rangkaian peristiwa di mana tubuh, baik secara fisik dan nonfisik sesungguhnya tak bisa dilepaskan dari tanah asal muasal kita.
Kita mengenal sebuah tradisi yang hampir ada di semua suku di Indonesia, ari-ari anak yang baru lahir bahkan ditanam di depan rumah, dan dengan banyak alasan mitos, misalnya agar si anak kelak tak lupa pulang ke rumahnya.
Puisi-puisi Badrul berada di arus situasi tradisi masyarakat memandang tanah kelahirannya. Tanah kelahiran selalu penting, pulang itu penting. Badrul dan puisi-puisinya berada di ra­­nah tersebut. Ia terjebak, dan mungkin juga bisa secara sengaja menceburkan diri dan tak mau lepas dari situasi masyarakat yang demikian.
Kampung halaman selalu menjadi sesuatu entitas yang susah kita lepaskan. Setidaknya itu yang tergambar dari hamparan kata-kata yang disebar Badrul dalam puisi-puisinya. Bagaimanapun, sesuatu memang menjadi berbeda dengan melihat dari jarak yang jauh. Tradisi-tradisi bermain di waktu kecil, pantai-pantai, sahabat-sahabat bermain, ibu yang cerewet di rumah, menjadi sesuatu yang berbeda dilihat dari jarak yang jauh.
Mungkin jarak memang selalu membuat sesuatu menjadi dirindukan. Sesuatu yang semulanya ada dan biasa, sesuatu yang semula menjadi bagian tidak terlalu penting bagi kita, akhirnya menjadikan sesuatu yang dirindukan, jauh di tanah lain yang sama sekali berbeda.
Kepergian, referensi-referensi temuan dalam perjalanan, di kota yang jauh akhirnya menjadikan sebuah kegiatan kembali ke kampung halaman menjadi berbeda. Tentu dermaga akan menjadi biasa saja bagi orang yang misalnya tidak banyak datang dan membandingkan dengan terminal, stasiun badara dan lain sebaginya.  Kegelisahan-kegelisahan sebagai anak zaman yang menyaksikan kampung, mengalamai masa kecil  sebagai ikan ikan di sungai, membentuk proses kepenyairan Badrul menjadi seorang pencatat yang gelisah. Kampung halaman, atau kota baru yang ia datangi diamatinya, dan dengan intuisinya ia mencatat juga perubahan-perubahan yang cepat melalui puisi “Mula dan Berakhirnya Sebuah Kota”. Ia melihat perubahan kota, atas nama pembangunan disulap seolah oleh penyihir sakti dan dalam waktu yang singkat.  
Lalu kita bertanya, bagaimana mungkin sebuah kota dibangun
hanya dalam jeda kedipan mata? Seperti kekuatan sihir,
begitulah bermulanya peradaban. Sebuah kota lahir
sekaligus lenyap dalam waktu hampir bersamaan.

Sebagai penyair yang intens mencatat perjalanan pergi dan pulang, baik dalam beberapa puisi yang secara terang memotret perpidahan fisik, Badrul boleh disebut sebagai penyair yang berhasil. Terlebih kemampuan berbahasanya yang lugas dan tidak terkesan bertele-tele dan beraneh-aneh telah menunjukkan dan menegaskan keberhasilan ini. Artinya, dari segi kebahasaan, Badrul telah selesai dan lepas dari persoalan-persoalan dasar tersebut.  Namun, dalam beberapa hal, Badrul seolah abai dengan fenomena lain di luar itu. Ia tidak mencatat hal-hal lain dari efek perkembangan kota yang lahir sekaligus lenyap melalui gambaran-gambaran peristiwa, misalnya dengan memilih dan memberi efek-efek imaji lain tentang kota, entah memasukkan masyarakatnya, polusi, karut-marut masayarakat, politik atau lain sebagainya, atau lebih dari itu. Badrul seolah hanya terpesona dengan imaji-imaji batu yang ditancapkan, gedung pemerintahan, jembatan yang ditegakkan, pohon-pohon ditebang dan pulau jadi kota, seperti dalam puisi Mula dan Berakhirnya Sebuah Kota.  Padahal, jika kita mau menelisik lebih jauh, keberadaan kota, perubahan bangunan, keramaian jalan raya hanyalah efek biasa dari keseharian akan kota yang kita saksikan di televisi ataupun di sekeliling kita. Tentunya ada banyak pilihan lain, misalnya psikologi manusia, perubahan karater banyak orang dan arus pembangunan plus modernisasi yang meluncur di sekitar kita. Alhasil, puisi ini menjadi puisi yang bisa dibilang tidaklah begitu istimewa, puisi yang mirip keluhan yang biasa kita dengar dari banyak orang di pinggir jalan, orang-orang tua desa yang kaget, kritik-kritik aktivis lingkungan atau kedangkalan kritik pembangunan oleh komentator-komentator televisi. Meskipun, dalam tataran estetis, penjagaan rima, kedalamaan perenungan, dan hal lain dalam unsur puisi sudah berhasil dibagun dengan baik dan menjadi nilai lebih Badrul.  Badrul detail dalam menangkap momen dan menulis secara otobigrafis tentang diri dan proses datang dan pergi dia sebagai orang yang merantau dari pulau jauh ke pulau yang secara pembangunan—seperti sebutan banyak orang—mungkin lebih modern atau lebih maju. Tapi tentu bagaimanapun ini adalah pilihan. Dan Badrul memilih itu. Mungkin kelak akan kita temukan pada puisi puisinya yang lain.
 Tantangan Pergulatan dengan Kultur
Karya sastra, dalam hal ini puisi, mau tidak mau adalah gambaran kehidupan si penyairnya. Semuanya terbentuk dari fragmen-fragmen pengalaman yang kemudian diwujudkan ulang sebagai sebuah karya. Menurut Saini K.M, karya sastra merupakan hasil pemikiran tentang kehidupan yang berbentuk fiksi dan diciptakan oleh pengarang untuk memperluas, memperdalam dan memperjernih penghayatan pembaca terhadap salah satu sisi kehidupan yang disajikannya (Saini K.M, 1986:14-15).
Sebagai penyair sekaligus anggota masyarakat dan lingkungannya, maka tentu fenomena puisi-puisi Badrul menjadi begitu gampang dirunut, misalnya dengan identitas dia sebagai manusia kelahiran Madura. Begitu banyaknya penyair lintas generasi yang datang dan muncul dari Madura, membuat kita dengan mudah bisa mengamati dan membandingkan puisi Badrul dengan puisi serupa lainnya.
Maka tugas kepenyairan Badrul sesungguhnya tidak semudah tugas penyair lain yang mungkin berasal dari kota lain dengan stok penyair yang tidak sebanyak Madura.
Jika terciptanya sebuah karya sastra oleh seorang pengarang secara langsung atau tidak langsung merupakan kebebasan sikap budaya pengarang terhadap realitas yang dialaminya. Maka apa sesungguhnya yang sedang  dialami Badrul? Cukupkah pengalaman, gambaran naratif  tentang Madura dan tanah kelahirannya ini menjadi sebuah sesuatu yang spesial untuk kita dedah lebih lanjut? Banyak penyair Madura yang menggunakan diksi karapan, laut, pantai, garam dan tembakau, lalu menuliskan pengalaman ia pergi, membandingkan pengalaman, situasi dan rasa di daerah tententu dengan daerahnya.
Mari kita coba berhitung, ada berapa banyak sastrawan Madura terutama penyair Muda yang ada di Jogja saat ini? Dengan menimbang dan membandingkannya, maka keitimewaan Badrul dibandingkan yang lainnya akan susah kita temukan.  Setidaknya bagi saya yang membaca puisi Badrul dan kawan-kawan Madura lainnya.
Jika kita, Badrul percaya bahwa proses penciptaan karya sastra lebih banyak disebabkan oleh kontinuitas kehidupan yang tidak pernah habis antara nilai realitas sosial dengan nilai ideal dalam diri pengarang, maka tentu saja kita akan menunggu karya-karya Badrul yang lahir dari realitas tempat ia sekarang, asal muasal kulturan sekaligus kegigihannya dalam berproses. Saya pribadi menunggu dengan gembira. []

Irwan Bajang, penyair. Pemimpin Redaksi Indie Book Corner Yogyakarta. 
Disampaikan dalam Diskusi Sastra PKKH "Lelaki yang Pergi Malam Hari. Selasa, 23 Desember 2014, di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, UGM.

Tidak ada komentar: