Rabu, 28 Januari 2015

Yang Pergi dan yang Terhapus Air




YANG PERGI DAN YANG TERHAPUS AIR
Oleh: Prof. Faruk HT.*


Lelaki yang Pergi Malam Hari 

Ke barat ia pergi, arah yang ditunjuk perantau abadi
di pantai rumah telah terbakar, pulau dikepung api
laut pasang memberi isyarat untuk segera menyeberang
angin seperti lirih bisikan nenek moyang, memberi petuah
nasihat-nasihat yang hidup ribuan abad, serupa gelombang:
“Rumah sejati ada dalam diri, bukan sekadar tanah
dan tempat singgah. Maka pergilah!”

Pergilah ia di malam hari, agar jejaknya di pasir lekas-
terhapus  air. Tanpa dayung dan mesin pemutar baling-baling
perahu berangkat ke negeri jauh. Tak ada isyarat dan pesan
kepergian—juga prosesi pemberkatan. Pandang tiada berpaling
tertinggallah segala yang dikenalinya sebagai masa lalu
usia remaja yang kelewat naif dan lugu, menjadi luka waktu

Badai  membangun siasat seperti mata pancing dan tombak
tajam dan runcing. Hanya hening, hati sebening telaga
menuntunnya menerka lekuk laut dan gelap semesta
lalu hamparan kabut membuka diri serupa gerbang
menyambut kedatangan pelayar baru, gemetar dan ragu
tapi perahu telah jauh berangkat, tak ada alasan kembali
sebab di pantai rumah telah terbakar: pulau direnggut api.

2013

Puisi ini merupakan kisah perjalanan. Meskipun baru sampai pada dua tahap, yaitu ketika berangkat dan di tengah perjalanan. Seperti kisah-kisah perjalanan kolonial di masa lalu, perjalanan merupakan sebuah tahap pengujian dan penemuan diri, pembangunan subjek dan posisinya di dalam lingkungan sekitar.  Karena itu, perjalanan itu bukan hanya sebuah gerakan dari sebuah lokasi geografis yang satu ke lokasi geografis yang lain, melainkan juga peralihan  dari usia remaja ke, tentunya, usia dewasa.  Lebih jauh, perjalanan itu juga menjadi peralihan dari satu kepribadian ke kepribadian yang lain, satu kecenderungan mental ke kecenderungan mental yang berbeda, yaitu dari kelewat naif dan lugu ke “luka waktu”.
Karena perjalanan itu sekaligus merupakan perjalanan untuk penemuan diri, mental ataupun psikologis, tidak menjadi begitu penting gambaran mengenai lokasi (-lokasi) yang dikunjungi. Yang penting adalah penemuan diri subjek itu sendiri. Dan, tampaknya diri itu bahkan sudah ditemukan sebelum perjalanan itu sampai ke tujuan, yang di dalam puisi ini disebut sebagai “barat”. Diri itu tidak lain dari apa yang disebut sebagai “luka waktu” di atas.
Tapi, diri yang seperti apa, sebenarnya, yang disebut sebagai “luka waktu” itu? Yang sudah bisa dipastikan adalah diri yang sudah meninggalkan masa kanak-kanak yang “naif dan lugu”. Kenapa, diri yang seperti itu disebut sebagai “luka waktu”? mungkin kita perlu memahami luka sebagai sebuah kerusakan atau kebocoran pada yang semula utuh, seperti “luka perawan”. Dalam pengertian yang demikian, keluguan bisa diartikan sebagai sebuah keutuhan. Keutuhan yang bagaimana? Tentu saja, ketika manusia berada dalam ketidaktahuan, lugu.
Jadi, bila dilihat dari pertentangannya dengan keluguan, luka waktu bisa diartikan sebagai diri yang berpengetahuan. Tapi, kenapa berpengetahuan dinamakan sebagai luka, sebagai sesuatu yang tidak utuh? Untuk menjawab hal ini kita mungkin perlu melihat hal lain yang bisa dianalogikan dengan keluguan di atas karena hal itu juga merupakan sesuatu yang ditinggalkan, yaitu pulau dan rumah. Keluguan menjadi analog dengan keterikatan diri subjek pada lokasi tertentu, pada lingkungan yang akrab. Diri yang lugu adalah diri yang masih menjadi satu dengan pulau dan rumah itu, belum menjadi subjek yang berdiri sendiri, masih bergantung pada lingkungan. Luka, dengan demikian, terjadi sebagai akibat dari ditariknya diri dari lingkungannya itu, dilepaskannya diri, anggaplah, dari akarnya.
Dengan demikian, berpengetahuan hanya berlaku bagi diri yang sudah terlepas dari lingkungannya, dari pulau dan rumahnya. Selama diri masih terikat pada sesuatu yang ada di luar dirinya tersebut, dia tidak dapat disebut berpengetahuan. Bila kemampuan lepas dari lingkungan dapat diartikan sebagai kemampuan diri untuk menjadi subjek yang berdiri sendiri, berpengetahuan menjadi identik dengan subjektivitas dan subjektivitas identik dengan luka. Hanya orang yang terluka, mengalami rasa sakit, yang berpengetahuan dan sekaligus menjadi subjek.
Karena luka menjadi bagian dari subjektivitas itu, perjalanan diri sudah sampai ke tujuannya justru pada saat ia baru berangkat dan dalam perjalanan, justru ketika ia belum sampai pada tujuan, pada pulau ataupun rumah yang lain. Lebih jauh, karena alasan yang sama, keadaan di dalam perjalanan itu sendiri tidak boleh menjadi perjalanan yang nyaman, yang tidak menyakitkan. Keadaan di dalam perjalanan itu juga harus menimbulkan rasa sakit, luka. Badai “seperti mata pancing dan tombak tajam dan runcing”.
Bila luka adalah tujuan itu sendiri, yaitu ditemukannya diri yang berpengetahuan, diri yang luka, tentunya perjalanan menjadi tujuan itu sendiri, badai yang seperti mata pancing dan tombak tajam dan runcing itu bukan lagi hanya keadaan transisi menuju keadaan yang lain. Tapi, puisi ini tidak menganggapnya demikian. Ia masih berusaha menemukan rumah baru. Rumah itu adalah: “rumah sejati ada dalam diri...”. dengan demikian, perjalanan itu bergerak bukan hanya dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu keadaan ke keadaan yang lain, dari satu mentalitas ke mentalitas yang lain, melainkan dari lingkungan yang ada di luar ke yang ada di dalam diri.
Badai  membangun siasat seperti mata pancing dan tombak
tajam dan runcing. Hanya hening, hati sebening telaga
menuntunnya menerka lekuk laut dan gelap semesta

Dalam hal ini bisa diartikan bahwa bagi puisi ini lingkungan yang ada di luar, dengan segala ancaman dan tantangannya, tak lebih dari sebuah batu uji bagi diri. Diri yang hening, sebening telaga. Apakah diri ini sama dengan diri yang luka waktu? Bila luka sama dengan ombak yang setajam mata pancing dan tombak, diri yang luka itu pun menjadi hanya sebuah masa transisi, keadaan di perjalanan untuk menuju tempat yang lain. Tapi, tetap ada masalah di sini.
Di dalam kutipan puisi di atas, keheningan dan kebeningan hati merupakan sebuah kekuatan untuk bisa mengatasi ombak, membuat kabut membuka pintu. Dengan kata lain, keheningan dan kebeningan ada sebelum ombak, ada sebelum luka. Tapi, darimana datangnya? Mungkin dari apa yang disebutkan di baris-baris terakhir bait pertama.
laut pasang memberi isyarat untuk segera menyeberang
angin seperti lirih bisikan nenek moyang, memberi petuah
nasihat-nasihat yang hidup ribuan abad, serupa gelombang:
“Rumah sejati ada dalam diri, bukan sekadar tanah
dan tempat singgah. Maka pergilah!”

Tampak bahwa diri yang dicoba dicari dalam perjalanan itu, dengan meninggalkan rumah, pulau, dan masa lalu itu, sudah ditentukan oleh nasihat-nasihat angin, laut pasang, nenek moyang, yang menyerupai gelombang. Sesuatu yang melampaui ruang dan melampaui waktu, yang tentunya membuat diri tidak bisa beralih dari ruang yang satu ke ruang yang lain, dari waktu yang satu ke waktu yang lain, yang membuat diri pergi dan melakukan perjalanan dalam kerangka tanpa ruang dan tanpa waktu. Perjalanan ke manakah itu, peralihan dari mana ke mana? Bila rumah ada dalam diri, ke manakah ia pergi? Apa yang ia tinggalkan, ke mana ia menuju?
Sekilas, puisi ini merupakan sebuah cerita perjalanan menuju diri cartesian yang mandiri, yang hanya akan menjadi diri bila ia terluka dan melepaskan diri dari segala ikatan dengan dunia yang ada di luarnya. Tapi, ternyata tidak. Bila puisi ini bicara mengenai kebeningan telaga, kebeningan itu bukanlah kebeningan berpikir tanpa bias, lepas dari ikatan tahyul dan mitos dan pikiran orang-orang sebelumnya, melainkan keheningan ketika diri melebur dalam ruang dan waktu, kebeningan ketika diri tiada, dan pintu terbuka dengan sendirinya.
Diri pergi bukan karena maunya sendiri, tapi ada kekuatan luar yang membuatnya pergi. Mungkin angin, mungkin laut pasang, mungkin rumah yang terbakar dan pulau direnggut api, hingga ia, mau tak mau, harus tetap berangkat dan tak bisa kembali. Ia tak bisa lagi menjadi ragu kecuali menyerahkan diri pada kehendak kekuatan itu. Ia adalah orang-orang Madura yang selalu hidup bersama dalam perantauan, ia adalah orang-orang Madura yang selalu kembali setiap hari raya haji. Dan ia, batal ke barat karena sudah menemukan rumah di dalam hati, rumah pemberian si nenek moyang yang abadi. Ia berkelana di tanah tuhan yang tidak tanpa batas.
Ia yang pergi malam hari agar segala jejaknya terhapus air. Begitukah... []

* Prof. Faruk HT., Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Catatan pembanding dalam Diskusi Sastra PKKH "Lelaki yang Pergi Malam Hari", puisi-puisi Badrul Munir Chair. Selasa, 23 Desember 2014, di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, UGM.

Tidak ada komentar: