Rabu, 28 Januari 2015

"Subjek" yang Berhasrat Pada Perjalanan



"Subjek" yang Berhasrat Pada Perjalanan:
Sebuah Hasil Pembacaan Puisi Badrul Munir Chair
Oleh: Galuh Febri Putra*


Pengantar : Subjektivitas akan Ruang dan Keberangkatan

"Tunjukan Kami Jalan yang Lurus"
(QS. Al-Fatihah: 6)

Kutipan ayat tersebut selain menjadi dasar bagi sebuah percarian abadi akan (per)jalan(nan), ayat itu juga mungkin mempunyai implikasi bahwa jalan lurus haruslah ditunjukan, tanpa ada "penunjuk" maka jalan tersebut tidak dapat disebut sebagai jalan yang lurus. Apakah jalan tersebut lurus ataupun berkelok semua tergantung pada siapa yang melakukan atau menunjuk sebuah perjalanan. Kerelatifitas perjalanaan bahkan juga ditunjukan oleh ilmu-ilmu positifistik yang punya kebenaran mutlak.
Jika menempatkan teorema Newton yang menyatakan bahwa ruang itu bersifat objektif dan mutlak, maka akan didapati sebuah paradoks. Jika sebuah tongkat dengan dimensi panjang 15 cm maka tongkat tersebut akan menempati ruang 15 cm, kemudian tongkat tersebut dilemparkan dan bergerak dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Setiap saat dalam keadaan melayang tongkat tetap berukuran 15 cm berarti tongkat menempati ruang sepanjang 15 cm.  Kemudian pengamat mengatakan bahwa berukuran sepanjang 15 cm berarti menempati ruang sepanjang 15 cm dan berhubung dengan itu, maka setiap saat dalam keadaan melayang tongkat tersebut berada dalam keadaan diam.
Dari paradoks di atas bisa disimpulkan bahwa ruang bersifat relatif. Ruang tergantung pada pengamatnya. Ruang merupakan semacam hubungan antara benda-benda yang diukur dengan cara-cara tertentu. Dengan demikian apabila pengukurannya dilakukan dengan cara yang berbeda, maka hasilnya pun akan berbeda
Pernyataan seperti di atas nampaknya juga dibangun oleh seorang sastrawan muda bernama Badrul Munir Chair melalui puisi-puisi yang ditulisnya. Dalam puisi-puisinya, Chair menunjukan sebuah transformasi ruang yang mengambil bentuk perubahan kesadaran, yang  ditunjukkan dalam resistensi aktif terhadap perubahan material yang ada di dalam ruang yang menjadi titik keberangkatan. Kekacauan ruang dalam puisi tersebut dimulai dari api yang membakar rumah yang kemudian menjalar ke seluruh pulau sehingga perjalanan keluar pulau menjadi sebuah keharusan.
Ikan di Sungai Kecil: Subjek yang Berhasrat pada Perjalanan
“You never look at me from the place at which I see you” (Lacan, 1999).
Jika Decrates menawarkan "saya berfikir maka saya ada" dan Jacques Lacan menawarkan "saya berfikir maka saya tidak ada" maka mungkin Chair menawarkan "Saya berhasrat maka ruang ada" . Setidaknya hal itu yang bisa ditangkap dari puisinya yang berjudul Aku Telah Jadi Ikan di Sungai Kecil Ini. Ikan kecil dalam puisi seakan menjadi manifestasi subjek Chair yang berhasrat pada perjalanan. Seperti apa yang dikonseptualkan oleh Zizek yang menempatkan subjek pada garis ”antara”.  Subjek dalam puisi ini tersublimasi berupa ikan kecil mengafirmasi lackness – kekurangan/ketidakcukupan subjek akan ruang yang statis, sehingga ikan kecil yang berada di aliran sungai paling nurani muncul  sebagai  subjek yang ingin dibentuk melalui transendensi penempatannya ke dalam ”ruang kosong”. (Kristiatmo: 2007)
Aku telah jadi ikan di sungai kecil ini
mengawasi pejalan kaki di jembatan tua
dari dasar air paling nurani
dan suara nyanyian nelayan di tepian
menyenandungkan kesunyian purbawi
membawaku terapung ke permukaan
lalu mabuk dalam kefanaan

            Dari dasar air yang serupa nurani ikan kecil seakan belajar untuk berhasrat dari pejalan kaki yang melintas melewati jembatan tua. Pejalan kaki menggiring ikan melakukan perjalan menuju permukaan dan meninggalkan tempat yang mungkin merupakan tempat yang paling nyaman dimana si ikan kecil mendapatkan kepenuhan dari air nurani yang berada di dasar sungai. Setelah sampai ke permukaan ikan kemudian menjadi mabuk akan kefanaan. Candu yang diberikan oleh Chair yang membuat si ikan kecil menjadi mabuk melalui manifestasi pejalan kaki yang diamati oleh si ikan kecil. Tindakan melihat si ikan kecil merupakan  dorongan untuk melihat (scopic drive). Oleh karena itu, pengawasan ikan kecil tidak lagi semata berada pada posisi si ikan kecil, tatapan tersebut adalah tatapan yang lain. Dengan tatapan itu si ikan dapat mendengar nyanyian nelayan, bahkan dengan tatapan tersebut si ikan kecil dapat menyenandungkan kesunyian purbawi. Dapat disimpulkan bahwa pengawasan si ikan kecil berbeda dengan pengawasan indrawi. Pengawasan yang dilakukan ikan kecil menawarkan sebuah kekosongan bagi subjek, sehingga muncul usaha-usaha guna meraih kekosongan dengan berbagai macam cara.
            Kekosongan yang abadi oleh Chair dimanifestasikan melalui perjalanan dalam puisi-puisinya. Dalam puisi yang berjudul Selat Madura, Chair menawarkan antar ruang yang muncul diatara rumah dan bukan rumah. Puisi ini lebih "bercerita" akan Selat Madura dan bukan Madura yang sejatinya merupakan ruang. Jika yang lain lebih menitikberatkan bahwa selat yang hanyalah menjadi semacam penghubung dimana tidak ada ruang yang dapat ditulis secara naratif. Chair menawarkan bahwa ruang hanya muncul ketika seorang subjek berhasrat. Hasrat Chair yang dibangun di dalam kekosongan bertransformasi aktif bersama subjek sehingga memunculkan ruang yang bertansformasi subjektif.
Keberangkatan = Kekacauan Ruang

Ke barat ia pergi, arah yang ditunjuk perantau abadi
di pantai rumah telah terbakar, pulau dikepung api
laut pasang memberi isyarat untuk segera menyeberang
angin seperti lirih bisikan nenek moyang, memberi petuah
nasihat-nasihat yang hidup ribuan abad, serupa gelombang:
“Rumah sejati ada dalam diri, bukan sekadar tanah
dan tempat singgah. Maka pergilah!”

Walaupun dimensi rumah dan pulau dalam stanza pertama tidak digambarkan secara detail, namun secara indrawi rumah di atas pulau dapat disimpulkan bahwa dimensi rumah tidak sama dengan pulau dalam arti rumah tidak akan sebesar pulau. Dalam puisi kebakaran yang terjadi pada rumah dan akhirnya dapat menyebabkan seluruh pulau ikut terbakar, rumah juga digambarkan dalam puisi jika rumah berada di pantai yang notabene merupakan sumber air yang dapat memadamkan api secara seketika. Stanza pertama puisi Chair mentransformasikan rumah dan pulau menjadi sesuatu yang berbanding lurus, jika rumah terbakar maka pulau terbakar, jika rumah bisa untuk bercinta maka pulau juga bisa untuk bercinta. Padahal di bagian belakang pulau mungkin masih ada tempat yang belum terbakar dan bisa untuk ditempati. Sebuah subjektivitas akan ruang dalam puisi sepertinya menjadi sebuah titik tolak sebuah keberangkatan abadi.
Perjalanan yang dilakukan di dalam puisi melalui sebuah gerbang yang merupakan pengejawantahan yang berwujud dari kabut.   Gerbang sejatinya adalah bangunan yang menjadi pintu bagi tembok pembatas yang mengelilinginya. Tembok membatasi tempat yang ada di luar dan juga ruang yang ada di dalam. Gerbang merupakan penengah antara tempat di dalam dan di luar ruang. Wujud gerbang yang hanya kabut transparan dan tidak dapat memberikan batasan secara fisik terhadap ruang bisa dibilang gagal sebagai penengah atara ruang luar dan ruang dalam.   Hal ini jelas akan memunculkan instabilitas bagi siapa saja yang ada di gerbang tersebut karena terjadi penumpukan antara tempat yang di dalam dan ruang yang ada di luar. Siapapun yang ada di sana pasti akan melihat dunia sebagai sebuah dunia dengan ruang yang absolut dan kemudian membandingkannya dengan dengan segala keterbatasan yang ada di dalam tempat di dalam tembok.
Perjalanan merupakan usaha untuk melarikan diri dari batas-batas yang disematkan oleh tempat. Batas yang disematkan dalam puisi ini adalah api yang membatasi rumah dan juga pulau, sehingga laut yang pasang pun membisiki untuk melakukan perjalanan. Perjalanan ini tidaklah sama dengan perjalanan untuk menemukan ruang absolut dimana dapat melakukan fiksasi atas ruang tersebut hal ini dapat dilihat dari bisikan nenek moyang yang menjelajah waktu dan muncul dalam puisi sebagai nasehat hidup yang berbunyi "Rumah sejati ada dalam diri, bukan sekadar tanah dan tempat singgah. Maka pergilah" . Perjalanan dalam puisi ini lebih pada usaha untuk melampaui batas-batas dan pemetaan dan pencarian seuatu yang lebih sesuatu yang jauh lebih cair. (Upstone, 2009)
 Daftar Rujukan
 Lacan, Jacques. 1999. The Four Fundamental Concepts of Psycho-Analysis. New York: W.W.  Norton and Company.
Kristiatmo, Thomas.2007. Redefinisi Subjek dalam Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra.
Upstone, Sara. 2009. Spatial Politics in The Postcolonial Novel. England: Ashgate Publishing       Limited.   


 Galuh Febri Putra, Mahasiswa program pascasarjana jurusan Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, UGM.
Disampaikan dalam Diskusi Sastra PKKH "Lelaki yang Pergi Malam Hari. Selasa, 23 Desember 2014, di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, UGM.

Tidak ada komentar: