Selasa, 01 Juli 2014

Kabar Buruk dari Laut

Cerpen Badrul Munir Chair (Radar Banjarmasin, 25 Mei 2014).
 


Rumah-rumah menghadap laut seakan membukakan pintu-pintunya kepada maut. Ia selalu duduk menerawang dari balik jendela kayu, memperhatikan perahu-perahu yang datang dan berlalu, menatap air laut yang tak henti menghempas dan beradu. Diperhatikannya ombak menggapai tumpukan karung berisi pasir, penanda batas antara laut dan perkampungan, hamparan pasir pantai yang ia sebut halaman. Sesekali terdengar deru mesin perahu yang dipanaskan, penanda keberangkatan, seperti isyarat ucapan selamat tinggal bagi segenap penghuni perkampungan. Terkadang ia begitu sangsi, mencemaskan cuaca, angin pancaroba, kabar buruk dari laut, perahu-perahu datang membawa berita tentang tenggelamnya sebuah kapal. Meski ia tahu, kini ia tak lagi memiliki seseorang pun yang harus dicemaskan karena sedang berada di tengah lautan. Tak ada lagi nama lelaki yang ia gumamkan ketika angin kencang menghempas pintu rumahnya di tepi pantai. Tak ada lagi mimpi buruk, firasat-firasat ganjil yang kerap mengusik pikirannya ketika lelaki itu sedang berlayar. Lelaki itu sudah lama tiada, berkubur di kedalaman samudera.
Tapi ia masih saja mencemaskan lautan, cuaca dan pertanda yang seringkali masih mengusik pikiran. Ia akan bergumam sendirian, seakan melontarkan pertanyaan-pertanyaan ke arah lautan, atau mengutuk lautan yang telah menenggelamkan perahu suaminya hingga tak pernah muncul lagi ke permukaan. Terkadang suaranya menyerupai ratapan, atau bahkan seperti lirih tangisan. Dan ia yang kini telah ditinggalkan, hanya bisa meratapi kesepian.
* * *
Ia yang kuceritakan di sini adalah Martini. Usianya belum genap dua puluh tahun ketika ia ditinggal mati suaminya, enam bulan yang lalu. Semenjak kepingan perahu suaminya ditemukan terdampar di bagian lain pulau ini, tak didapatinya lagi kabar mengenai keberadaan sang suami. Orang-orang kampung mengatakan suaminya tak akan pernah kembali, meski hanya sekadar jasad. Mulanya ia masih merasa punya harapan, tak lantas pasrah dan terus memupuk asa pada kemungkinan keajaiban. Namun setelah berlalu hitungan bulan, suaminya tak kunjung datang, ia tak lagi memupuk harapan, menenggelamkannya dalam-dalam. Sejak itulah raut wajahnya yang ayu lebih sering terlihat sayu, di bawah matanya terdapat cekungan kulit yang menghitam, seakan menandakan kesedihan yang begitu kelam.
Sepanjang waktu ia akan duduk di balik jendela itu, jendela rumahnya yang menghadap laut. Sesekali angin utara menghempas keras ke daun jendela, menyadarkannya yang sedang larut dalam lamunan. Sesekali ombak besar mampu menyeberangi tumpukan karung berisi pasir yang menjadi tanggul antara perkampungan dengan batas lautan. Jika cuaca sedang buruk, ia akan menjauh dari jendela dan menutup semua daun pintu dan jendela rumahnya yang menghadap utara, menghadap laut lepas. Lalu ia akan bergumam seperti mengutuk, mengapa rumah ini begitu dekat dengan lautan, begitu dekatnya dengan kematian.
Barangkali ia tidak terlalu berlebihan jika menganggap orang-orang yang hidup di tepi laut menjadi lebih akrab dengan kematian. Kakeknya dulu, merenggang nyawa di atas perahunya sendiri setelah mulutnya tiba-tiba memuntahkan darah yang mengental. Awak-awak perahu kakeknya membawanya pulang ke daratan dalam keadaan sudah tak bernyawa. Kejadian serupa hampir dialami juga oleh ayahnya. Namun nasib ayahnya sedikit lebih beruntung daripada sang kakek, ayahnya masih sempat dibawa pulang ke daratan, menghembuskan nafas terakhirnya di rumahnya sendiri disaksikan sang anak dan istri. Meski ayahnya tak mati di laut, tapi Martini berprasangka lautlah yang menyebabkan kematian ayahnya. Sedang ibunya memilih menyeberangi lautan untuk bekerja di negeri tetangga beberapa bulan setelah kematian sang suami, hendak menyangkal semua nasib buruk yang dialaminya di kampung tepi laut ini. Dengan dalih untuk menghidupi keluarga, ibunya pergi dan meninggalkan Martini di rumah itu seorang diri.
Maka sejak ibunya memutuskan pergi, Martini termenung sepanjang waktu di jendela itu. Meratapi kesendirian. Menatap lautan lepas yang terhampar di depan rumahnya, menyaksikan perahu-perahu berseliweran, orang-orang kampung yang berlalu-lalang di tepi pantai—dengan wajah kehampaan. Jika suasana hatinya sedang baik, ia akan keluar rumah, mendatangi pabrik terasi milik tetangganya untuk membantu sebagai pekerja lepas dengan upah yang pas-pasan. Tapi memang bukan uang yang ia cari, ibunya rutin mengirimkan uang kepadanya untuk biaya hidup setiap bulan, tapi Martini hanya ingin berbagi, sedikit mengurangi rasa kesepian dengan mendengarkan cerita-cerita para tetangganya yang bekerja di pabrik terasi itu sembari menumbuk udang. Mungkin Martini masih terlalu muda untuk menerima kehilangan demi kehilangan yang ia alami dalam waktu yang berdekatan. Setelah kakeknya meninggal, ayahnya menyusul mangkat, lalu ibunya memutuskan pergi mengadu nasib ke negeri seberang.
Kesepian Martini seakan terobati ketika Marzuki, pemuda kampung yang baru pulang dari merantau mampu menarik hari Martini. Kehadiran Marzuki benar-benar mampu menghibur hati Martini yang sedang dilanda sedih dan sepi. Jika hari-hari sebelum kedatangan Marzuki ia betah berlama-lama termenung di balik jendela, kini ia lebih suka berbaur dengan orang-orang kampung jika pagi tiba, mendekati kerumunan orang-orang yang menunggu perahu datang, membantu mengangkut ikan tangkapan tetangganya yang baru datang ke tempat penampungan ikan yang tak jauh dari pantai—ia akan mendapatkan beberapa ekor ikan sebagai upah membantu. Tapi sebenarnya bukan upahlah yang ia cari. Martini diam-diam mencari sosok Marzuki di antara puluhan orang yang lalu-lalang di pantai, lalu menyapa lelaki itu ketika mereka berpapasan, dan mereka akan saling melempar senyuman dan saling memberi isyarat lewat kedipan. Wajag Martini yang semula murung-mendung selama setahun belakangan mulai tampak berseri.
Wajah Martini semakin berseri-seri ketika Marzuki datang melamar. Paman Martini mewakili keluarga menerima lamaran Marzuki, sedangkan ibunya yang semenjak merantau tak pernah sekalipun pulang hanya memberi restu lewat telepon, bahkan ibunya tak hadir pada waktu pernikahan Martini. Kata ibunya, majikannya tak mengizinkan. Meski kebahagiaannya tak lengkap tanpa kehadiran sang ibu, tapi Martini tak mampu menyembunyikan pancaran kebahagiaan dari wajahnya ketika hari pernikahan.
Semenjak menikah, tak terlihat lagi Martini yang murung mencemaskan lautan. Ia tak lagi suka termenung di balik jendela, melainkan kini lebih sering menyibukkan diri di dapur belakang, mengasapi ikan-ikan tangkapan sang suami agar bisa bertahan tidak membusuk selama beberapa hari, membuat kerupuk ikan untuk bekal sang suami ketika berangkat melaut. Jika tiba hari suaminya akan pulang—biasanya lima hari berselang sejak hari keberangkatan—Martini akan menunggu di tepi pantai sebelum matahari terbit, memperhatikan perahu demi perahu yang mendekat ke pulau. Dan ketika langit mulai terlihat sementara perahu suaminya belum datang, ia akan cemas, bertanya pada nelayan-nelayan yang baru datang apakah mereka berpapasan dengan perahu suaminya di tengah lautan. Dan kecemasannya itu seketika akan berubah menjadi kebahagiaan ketika dilihatnya perahu sang suami mulai menepi, tak peduli walaupun suaminya membawa pulang sedikit ikan tangkapan.
* * *
Tapi untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Belum genap setahun usia pernikahan mereka, belum lama Martini menuai kebahagiaan dari bibit-bibit kesedihan yang telah ia alami, Martini harus kembali menerima kabar buruk yang datangnya dari lautan, badai semalam telah membuat belasan perahu terdampar. Maka pagi-pagi sekali ia menunggu di tepi pantai bersama ratusan orang yang juga menunggu kabar, mencemaskan nasib kerabat mereka. Satu demi satu kabar mereka dapatkan dari perahu nelayan yang berhasil kembali. Terdengar kabar perihal perahu yang terdampar ke pulau-pulau kecil di sebelah timur pulau ini, tak sedikit pula nelayan yang membawa kabar tentang karamnya sebuah perahu. Tapi kabar-kabar buruk itu belum pasti, siapa yang selamat dan siapa yang bernasib buruk. Mereka hanya bisa menunggu, sambil berdoa mengharapkan keajaiban.
Sehari berlalu semenjak datangnya badai, tak ada kabar tentang keberadaan suaminya, tak ada tanda-tanda suaminya akan kembali. orang-orang kampung cemas menunggu, Martini jauh lebih cemas lagi. Semenjak kemarin ia tak henti tersedu. Kecemasan itu semakin memuncak ketika menjelang sore, segerombolan nelayan datang memikul pecahan perahu Marzuki yang terdampar di bagian lain pulau ini. Bagian lambung perahu yang sudah tak berbentuk, namun tulisan nama pada papan bagian lambung perahu itu masih jelas bisa dibaca, nama yang menandakan bahwa pecahan lambung itu benar-benar adalah perahu Marzuki. Maka jeritan Martini tidak bisa dibendung lagi, menggema ke seluruh penjuru kampung tepi laut itu.
Setelah itu, hari-hari hampa Martini kembali dimulai.  Selama enam bulan terakhir, ia kembali duduk menerawang dari balik jendela kayu, memperhatikan perahu-perahu yang datang dan berlalu dengan tatapan mata hampa, menatap air laut yang tak henti menghempas dan beradu. Sebagai istri seorang nelayan, ia mengerti, suatu saat nanti akan datang sebuah kabar buruk dari laut, sesuatu pasti akan terjadi pada suaminya. Namun ia tak menyangka kabar buruk itu akan datang secepat ini, ketika usia pernikahan emreka belum genap satu tahun. Ia juga tak pernah membayangkan jika nasib suaminya jauh lebih buruk daripada yang menimpa kekek dan ayahnya. Suaminya meninggal dengan cara yang lebih mengenaskan, mati digulung badai. Suaminya mati tak berkubur, jasadnya tak pernah ditemukan.
Seringkali Martini membayangkan ia menabur bunga di makam suaminya, berdoa di samping pusaranya, berziarah mengunjungi makam suaminya itu sebagaimana lumrahnya keluarga yang ditinggalkan. Nyekar setiap menjelang lebaran—membersihkan makam suaminya dari tumbuhan dan rumput liar di sekitar makam, atau mengecat ulang batu nisannya ketika warnanya mulai memudar. Semua itu tidak bisa Martini lakukan, sebab ia tak pernah tahu di mana jasad suaminya kini berada. Jasad suaminya mungkin tak akan pernah ditemukan. Ia harus membuang jauh keinginannya untuk ziarah ke makam suaminya jika sewaktu-waktu ketika ia sedang rindu, ketika ia sedang ingin mengadu tentang buruk nasibnya.
Maka sepanjang hari, sepanjang waktu, ia meratap di balik jendela, sembari menyesali hidupnya yang begitu akrab dengan lautan, rumahnya yang tak berjarak dengan lautan—ah, begitu dekat dengan kematian. Jika ia mendengar mesin perahu dinyalakan, yang baginya terdengar seperti isyarat ucapan selamat tinggal bagi segenap penghuni perkampungan, ia menjadi begitu sangsi, begitu bimbang. Firasatnya selalu mengatakan, akan ada lagi seseorang yang akan dipanggil oleh lautan. Jika kecemasannya sudah semakin menjadi, maka ia akan mengambil bunga yang telah ia persiapkan, melarungkannya ke lautan lepas, lautan yang menjadi kuburan suaminya, lautan yang menjadi sumber dan muara sedih nasibnya. Ia lepaskan bunga-bunga ke permukaan air, dan ombak akan membawanya, seakan-akan menabur bunga ke sekujur pusara suaminya.
Suatu senja, ketika ia sedang melarungkan bunga-bunga ke air laut, meratapi nasib buruknya sembari membisikkan doa demi doa lewat tangkai-tangkai bunga, ia tak menyadari air laut telah menggenangi kakinya, menggenangi pinggangnya, lalu tiba-tiba ombak datang semakin tinggi, semakin tinggi, menenggelamkan tubuhnya. [ ]
Yogyakarta, 2013.
Lukisan oleh: Henri Fantin Latour, Bathers by The Sea.

Tidak ada komentar: