Minggu, 25 Mei 2014

Puisi-puisi di Radar Surabaya, 11 Mei 2014




Puisi-puisi Badrul Munir Chair
Para Penambang Bukit Kapur

Kelak, setelah sekelompok penambang pergi
akan datang para penambang lain untuk menggali
sisa-sisa batu kapur, mengeruk yang terlewat
dan yang tak terangkat

Datang dari kampung yang sama dengan penambang
yang lebih dulu tiba, meninggalkan rumah
sebagai kafilah pengembara. Mereka berlindung di goa
untuk tempat tinggal sementara

Memecah, menggali, mengeruk
sampai batas kemampuan, hingga keringat penghabisan
menetes membasahi tanah galian
dan bukit kapur yang dulu tinggi menjulang
tersisa separuh luang, lalu rata dengan tanah
dan menjadi wilayah terbuang

Sekelompok penambang pergi, kelompok lain datang
tapi bukit kapur yang telah ditambang
tak akan pernah kembali. Selamanya jadi tandus
dan terbuang.

2014

Laron-laron
Ada yang mesti kupelajari dari gelap semesta
ketika sebatang lilin di kamar mulai menyala
selalu lahir sebuah tanya: mengapa laron-laron
membakar diri pada nyala lilin, hanya untuk mati?

Aku memperhatikan laron-laron menanggalkan sayap
semacam upaya meninggalkan cemas di ruang gelap
lalu tibalah saat perpisahan itu: ketika laron-laron
bergantian mencumbui lilin yang sedang menyala
semacam upacara untuk kematian yang sederhana

Aku mulai sangsi memikirkan prosesi terbaik untuk mati
aku hidup dan bahagia, bernafas dan bahagia,
berdoa dan bahagia. Tapi, Elia, apakah kematian
adalah semacam kebahagiaan juga?

Laron-laron seakan tak peduli hawa panas pada api
berduyun-duyun datang, kemudian pasrah mengantri
membuka jalan atas kematiannya sendiri.

2013

Perempuan Fiksi

Kau datang padaku dengan wajah yang sakit
kemurungan menjadikanmu serupa ilusi
seperti tembang suaramu melengking panjang

Elia, hari-hari kita adalah kegilaan tak terencana
kita menyusun imajinasi-imajinasi konyol
seperti cerita fiksi kita dibenturkan pada skenario
yang tak terbayangkan. Kita kerap diselamatkan
kebetulan-kebetulan

Kau adalah tokoh utama cerita komedi satir
aku belajar menertawakan peristiwa getir
yang pahit. Seperti tembang kau pandai—
menyamarkan kesedihan, telingaku menangkap
ratapan dari dalam kegelapan

Elia, berpura-puralah dengan sempurna
pahamilah kesedihan mereka dan menangislah
airmata adalah bagian terpenting kisah manusia
biarlah cerita kita terperangkap imajinasi cerita fiksi
aku akan belajar melepaskan diri dari situasi tak wajar ini.

2013

Dipublikasikan di Radar Surabaya, 11 Mei 2014, bersama 2 puisi lainnya.

Lukisan: Hellish Moths Still Gnaw and Fret, Stephen Livingstone, 2012.

Tidak ada komentar: