Meski cuaca sedang buruk dan belasan perahu
yang sebelumnya telah berangkat kembali pulang menepi, rombongan pengantin itu
tetap akan berangkat ke pulau seberang. Bagaimana pun, tanggal dan waktu sudah
ditentukan. Di sana, di kejauhan pulau di balik pekat kabut itu, perhelatan
pernikahan tengah dipersiapkan; keluarga besar mempelai perempuan sedang
menunggu.
Ia, lelaki berbaju pengantin itu,
melangkah ragu di atas dermaga kayu, berjalan pelan menuju perahu kecil
diiringi rombongan pengantar pengantin yang membawa aneka hantaran dan mahar
pernikahan. Mereka telah terlambat dua jam dari jadwal keberangkatan. Seharusnya
rombongan pengantin itu berangkat sebelum jam enam pagi, sebab akad nikah akan
dihelat jam sepuluh pagi ini. Tapi sejak semalam angin begitu kencang, hujan
angin terus turun hingga pagi hari dan, ketika rombongan pengantin itu tiba di
pelabuhan, cuaca belum juga membaik.
Pemimpin rombongan iringan pengantin
itu, lelaki tertua di antara mereka yang ditunjuk sebagai juru bicara pihak
keluarga mempelai laki-laki dalam acara pernikahan nanti, memutuskan mereka
harus tetap berangkat. Perahu yang akan mereka naiki sudah siap semenjak tadi. Menunggu
cuaca membaik di musim pancaroba seperti ini hanya akan dipermainkan waktu.
Cuaca pancaroba selamanya tak akan mudah diterka. Maka ketika pemimpin
rombongan itu mengambil keputusan untuk segera berangkat—karena mereka sudah
terlambat—rombongan pengantin itu mau tak mau segera naik ke atas perahu, meski
di hati mereka terbesit sedikit ragu, memikirkan cuaca buruk yang akan menghambat
mereka di tengah perjalanan nanti.
“Jika kita berangkat sekarang, keluarga
besan tidak akan cemas menunggu terlalu lama. Kalau lancar, kita bisa sampai di
sana dalam 3 jam, belum terlalu terlambat,” ucap pemimpin rombongan itu
meyakinkan. Tak ada satu pun anggota rombongan yang menyahut. Mereka tahu, mengharapkan
perjalanan lancar di tengah cuaca yang tidak menentu ini tak ubahnya
mengharapkan hujan di puncak musim kemarau. Sementara lelaki berbaju pengantin
itu duduk bersila di atas geladak papan, bersandar pada tiang tengah perahu.
Sorot matanya tajam, memandang ke arah yang sangat jauh di depan, seakan-akan yang
berada jauh di depan itu adalah ‘pulau harapan’, pulau tempat akan
dilangsungkannya resepsi pernikahan.
Ketika perlahan-lahan perahu mulai melaju
meninggalkan pelabuhan, lelaki berbaju pengantin itu tak lagi mengarahkan
pandangannya ke depan. Menatap kabut yang teramat pekat di depan hanya akan
membuatnya semakin cemas. Lalu diperhatikannya wajah-wajah para kerabat yang
mengiringinya, duduk berimpitan di atas geladak papan sambil memangku hantaran.
Hampir tak ada lagi ruang untuk sekadar meluruskan kaki. Perahu ini mungkin
memang terlalu kecil untuk dinaiki belasan orang. Untuk sampai di pulau yang
mereka tuju, tak ada lain pilihan selain menaiki perahu nelayan. Mereka bisa
saja menyewa dua perahu untuk mengangkut anggota rombongan. Namun dalam kondisi
cuaca yang seperti sekarang, jarang sekali ada nelayan yang mau mengantar
mereka ke seberang meski dengan bayaran mahal. Perahu yang sedang mereka naiki
merupakan perahu milik kerabat mereka sendiri, yang tak mungkin bisa menolak
ketika dimintai bantuan untuk mengantar mereka, seburuk apa pun kondisi cuaca.
“Rasanya tak salah bila para tetua kita sering
berkata .... berumah tangga itu tak ubahnya seperti berlayar di lautan,” ucap
lelaki tua pemimpin rombongan berusaha memecah keheningan, “Akan selalu ada
ombak yang menghadang, ada badai yang mengintai.”
“Mungkin karena para tetua kita banyak
yang menikah dengan orang dari pulau seberang, maka mereka mengandaikan
pernikahan layaknya sebuah pelayaran. Untuk sampai di pulau tujuan,
rintangannya memang berat.”
“Semoga kita selamat,” sahut seseorang.
Yang lain mengangguk mengamini.
* * *
Marwan mengenal Silmi di pelabuhan, tujuh
bulan yang lalu, suatu siang ketika gadis itu hendak memindahkan
barang-barangnya dari mobil angkutan ke atas perahu. Marwan baru saja
memindahkan beberapa karung beras milik seorang juragan ke atas perahu ketika
melihat seorang gadis melambaikan tangan memanggilnya, memintanya memindahkan
beberapa karung bahan makanan ke atas perahu.
Marwan memikul barang-barang bawaan
gadis itu ke atas perahu yang ditunjuk. Oleh pemilik perahu yang hendak
ditumpangi gadis itu, Marwan dibisiki bahwa gadis itu masih lajang.
“Sendirian saja?” tanya Marwan setelah
gadis itu membayar upahnya. Gadis itu hanya tersenyum. Pertanyaan-pertanyaan
lain pun kemudian keluar dari mulut Marwan. Sebagaimana kuli-kuli pelabuhan
lainnya, Marwan sesekali menggoda perempuan menarik perhatian yang bepergian
sendirian. Apalagi jika perempuan itu masih lajang.
Pertemuan kedua terjadi sebulan
kemudian. Silmi kembali meminta bantuan Marwan untuk memindahkan barang-barang
belanjaannya ke atas perahu. Silmi datang ke pulau ini setiap bulan, berbelanja
kebutuhan-kebutuhan pokok; beras, mie instan, kopi kemasan, bumbu-bumbu masak,
dan makanan-makanan ringan. Pada pertemuan mereka yang kedua itu, Silmi
bercerita tentang ayahnya yang mulai sakit-sakitan, sehingga tugas berbelanja
kebutuhan pokok yang semula dikerjakan ayahnya kini harus dikerjakannya.
“Boleh aku ikut mengantar ke rumahmu?” pinta
Marwan, suatu hari pada pertemuan yang lain.
“Rumahku jauh, di Gili. 3 sampai 4 jam
dari sini.”
“Aku tahu. Aku bahkan pernah ke Pulau Sepekan.
Lebih jauh toh, dari rumahmu?”
“Kalau ikut, kamu akan sulit pulang
kembali ke sini. Perahu dari Gili tidak berangkat tiap hari. Kecuali kamu punya
kenalan nelayan.”
“Baiklah, aku akan mengantarmu lain
kali.”
Marwan benar-benar ikut mengantar Silmi
pada pertemuan mereka berikutnya. Pemilik perahu yang mereka tumpangi berjanji akan
kembali ke pelabuhan ini keesokan harinya untuk membawa udang-udang tangkapan
nelayan dari sana. Marwan bisa ikut, bermalam di sana. Pemilik perahu itu
bahkan menawarkan Marwan untuk menginap di rumahnya. Tanpa berpikir panjang
lagi, Marwan ikut mengantar gadis itu. Sepanjang perjalanan Marwan duduk
berdekatan dengan gadis itu, saling bertukar cerita, sehingga perjalanan
panjang nan melelahkan menuju pulau tempat tinggal gadis itu tidak begitu ia
rasakan.
* * *
Perjalanan kali ini terasa jauh lebih
berat dibandingkan ketika ia mengantar gadis itu pertama kalinya, juga jauh
lebih melelahkan dibandingkan ketika perjalanan melamar gadis itu sebulan yang
lalu. Gerimis dan kabut kini menjadi teman sepanjang perjalanan. Yang paling mengkhawatirkan
dari perjalanan di tengah cuaca buruk begini adalah kondisi alam yang begitu
cepat berubah. Hujan rintik-rintik seketika bisa berubah menjadi hujan deras
yang disertai badai, dan ombak tenang sewaktu-waktu bisa berubah menjadi besar.
Kekhawatiran lain timbul karena terlalu banyaknya muatan. Beban yang berat
membuat lambung perahu semakin rendah, semakin dekat dengan permukaan air.
Tempias air laut akan semakin mudah masuk ke dalam perahu. Mereka harus
bergantian menguras air laut yang masuk menggenangi palka.
“Ini sudah hampir jam 10 dan kita belum
separuh perjalanan.”
“Jangan dulu memikirkan waktu. Lebih
baik terlambat daripada harus mempertaruhkan keselamatan.”
“Mereka pasti akan terus menunggu. Orang
pulau tahu beratnya rintangan di tengah lautan.”
“Dalam perjalanan di tengah cuaca seperti
ini, jarak tak lagi bisa diukur dengan waktu.”
Semakin jauh perahu berjalan, semakin
pekat kabut yang menghadang. Jarak pandang mereka tak lagi sejauh sebelumnya.
Ombak yang bergulung semakin tinggi membuat tempias air yang masuk ke dalam
perahu semakin menggenangi palka. Lambung perahu semakin dekat dengan permukaan
air, laju perahu menjadi semakin melambat.
Di tengah kondisi lambung perahu yang
semakin rendah, akhirnya pemilik perahu itu menyerah. “Jika kita tetap memaksa
melanjutkan perjalanan, bukan tidak mungkin kita akan tenggelam.”
“Kita akan kembali?” tanya lelaki
berbaju pengantin itu, dengan suara parau.
“Bukankan di tengah cuaca seperti ini,
memilih kembali akan sama beratnya dengan tetap melanjutkan perjalanan?
Sebaiknya kita tetap ke sana,” ucap lelaki tua pemimpin rombongan itu.
“Tapi setidaknya perjalanan kembali jauh
lebih dekat. Kita belum separuh perjalanan.”
Tak lama setelah pemilik perahu itu
mengusulkan untuk kembali, hujan turun dengan derasnya. Terpal yang menjadi
atap perahu seakan diterpa ribuan kerikil. Secepat mungkin pemilik perahu itu
berusaha memutar haluan. Mendapati cuaca yang semakin buruk dan membahayakan
keselamatan mereka, mau tak mau lelaki tua pemimpin rombongan itu menerima usul
si pemilik perahu. Lebih baik kembali dengan raga masih dibalut nyawa daripada
pulang hanya tinggal nama. Dibandingkan dengan dirinya, nelayan pemilik perahu
itu memang jauh lebih mengerti tentang rahasia lautan.
Ketika perahu mulai berbalik arah, dan
perlahan-lahan perahu semakin menambah kecepatannya untuk kembali ke pelabuhan,
lelaki berbaju pengantin itu menoleh ke belakang. Ditatapnya kabut dan tumpukan
awan di langit yang berwarna kehitaman. Dengan sorot mata yang redup, berkali-kali
ditolehnya pekat kabut di belakang, seakan-akan yang berada jauh di balik pekat
kabut itu adalah ‘pulau harapan’. Pulau yang gagal ia jelang. []
/Sumenep-Yogyakarta,
2015.
Gambar: "Fishing Boat" lukisan acrylic, oleh Edward Abela.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar