Minggu, 26 Juli 2015

Penumpang Perahu Berbaju Pengantin

Cerpen Badrul Munir Chair (Sinar Harapan, 4-5 Juli 2015).


Meski cuaca sedang buruk dan belasan perahu yang sebelumnya telah berangkat kembali pulang menepi, rombongan pengantin itu tetap akan berangkat ke pulau seberang. Bagaimana pun, tanggal dan waktu sudah ditentukan. Di sana, di kejauhan pulau di balik pekat kabut itu, perhelatan pernikahan tengah dipersiapkan; keluarga besar mempelai perempuan sedang menunggu.
Ia, lelaki berbaju pengantin itu, melangkah ragu di atas dermaga kayu, berjalan pelan menuju perahu kecil diiringi rombongan pengantar pengantin yang membawa aneka hantaran dan mahar pernikahan. Mereka telah terlambat dua jam dari jadwal keberangkatan. Seharusnya rombongan pengantin itu berangkat sebelum jam enam pagi, sebab akad nikah akan dihelat jam sepuluh pagi ini. Tapi sejak semalam angin begitu kencang, hujan angin terus turun hingga pagi hari dan, ketika rombongan pengantin itu tiba di pelabuhan, cuaca belum juga membaik.
Pemimpin rombongan iringan pengantin itu, lelaki tertua di antara mereka yang ditunjuk sebagai juru bicara pihak keluarga mempelai laki-laki dalam acara pernikahan nanti, memutuskan mereka harus tetap berangkat. Perahu yang akan mereka naiki sudah siap semenjak tadi. Menunggu cuaca membaik di musim pancaroba seperti ini hanya akan dipermainkan waktu. Cuaca pancaroba selamanya tak akan mudah diterka. Maka ketika pemimpin rombongan itu mengambil keputusan untuk segera berangkat—karena mereka sudah terlambat—rombongan pengantin itu mau tak mau segera naik ke atas perahu, meski di hati mereka terbesit sedikit ragu, memikirkan cuaca buruk yang akan menghambat mereka di tengah perjalanan nanti.
“Jika kita berangkat sekarang, keluarga besan tidak akan cemas menunggu terlalu lama. Kalau lancar, kita bisa sampai di sana dalam 3 jam, belum terlalu terlambat,” ucap pemimpin rombongan itu meyakinkan. Tak ada satu pun anggota rombongan yang menyahut. Mereka tahu, mengharapkan perjalanan lancar di tengah cuaca yang tidak menentu ini tak ubahnya mengharapkan hujan di puncak musim kemarau. Sementara lelaki berbaju pengantin itu duduk bersila di atas geladak papan, bersandar pada tiang tengah perahu. Sorot matanya tajam, memandang ke arah yang sangat jauh di depan, seakan-akan yang berada jauh di depan itu adalah ‘pulau harapan’, pulau tempat akan dilangsungkannya resepsi pernikahan.
Ketika perlahan-lahan perahu mulai melaju meninggalkan pelabuhan, lelaki berbaju pengantin itu tak lagi mengarahkan pandangannya ke depan. Menatap kabut yang teramat pekat di depan hanya akan membuatnya semakin cemas. Lalu diperhatikannya wajah-wajah para kerabat yang mengiringinya, duduk berimpitan di atas geladak papan sambil memangku hantaran. Hampir tak ada lagi ruang untuk sekadar meluruskan kaki. Perahu ini mungkin memang terlalu kecil untuk dinaiki belasan orang. Untuk sampai di pulau yang mereka tuju, tak ada lain pilihan selain menaiki perahu nelayan. Mereka bisa saja menyewa dua perahu untuk mengangkut anggota rombongan. Namun dalam kondisi cuaca yang seperti sekarang, jarang sekali ada nelayan yang mau mengantar mereka ke seberang meski dengan bayaran mahal. Perahu yang sedang mereka naiki merupakan perahu milik kerabat mereka sendiri, yang tak mungkin bisa menolak ketika dimintai bantuan untuk mengantar mereka, seburuk apa pun kondisi cuaca.
“Rasanya tak salah bila para tetua kita sering berkata .... berumah tangga itu tak ubahnya seperti berlayar di lautan,” ucap lelaki tua pemimpin rombongan berusaha memecah keheningan, “Akan selalu ada ombak yang menghadang, ada badai yang mengintai.”
“Mungkin karena para tetua kita banyak yang menikah dengan orang dari pulau seberang, maka mereka mengandaikan pernikahan layaknya sebuah pelayaran. Untuk sampai di pulau tujuan, rintangannya memang berat.”
“Semoga kita selamat,” sahut seseorang. Yang lain mengangguk mengamini.
* * *
Marwan mengenal Silmi di pelabuhan, tujuh bulan yang lalu, suatu siang ketika gadis itu hendak memindahkan barang-barangnya dari mobil angkutan ke atas perahu. Marwan baru saja memindahkan beberapa karung beras milik seorang juragan ke atas perahu ketika melihat seorang gadis melambaikan tangan memanggilnya, memintanya memindahkan beberapa karung bahan makanan ke atas perahu.
Marwan memikul barang-barang bawaan gadis itu ke atas perahu yang ditunjuk. Oleh pemilik perahu yang hendak ditumpangi gadis itu, Marwan dibisiki bahwa gadis itu masih lajang.
“Sendirian saja?” tanya Marwan setelah gadis itu membayar upahnya. Gadis itu hanya tersenyum. Pertanyaan-pertanyaan lain pun kemudian keluar dari mulut Marwan. Sebagaimana kuli-kuli pelabuhan lainnya, Marwan sesekali menggoda perempuan menarik perhatian yang bepergian sendirian. Apalagi jika perempuan itu masih lajang.
Pertemuan kedua terjadi sebulan kemudian. Silmi kembali meminta bantuan Marwan untuk memindahkan barang-barang belanjaannya ke atas perahu. Silmi datang ke pulau ini setiap bulan, berbelanja kebutuhan-kebutuhan pokok; beras, mie instan, kopi kemasan, bumbu-bumbu masak, dan makanan-makanan ringan. Pada pertemuan mereka yang kedua itu, Silmi bercerita tentang ayahnya yang mulai sakit-sakitan, sehingga tugas berbelanja kebutuhan pokok yang semula dikerjakan ayahnya kini harus dikerjakannya.
“Boleh aku ikut mengantar ke rumahmu?” pinta Marwan, suatu hari pada pertemuan yang lain.
“Rumahku jauh, di Gili. 3 sampai 4 jam dari sini.”
“Aku tahu. Aku bahkan pernah ke Pulau Sepekan. Lebih jauh toh, dari rumahmu?”
“Kalau ikut, kamu akan sulit pulang kembali ke sini. Perahu dari Gili tidak berangkat tiap hari. Kecuali kamu punya kenalan nelayan.”
“Baiklah, aku akan mengantarmu lain kali.”
Marwan benar-benar ikut mengantar Silmi pada pertemuan mereka berikutnya. Pemilik perahu yang mereka tumpangi berjanji akan kembali ke pelabuhan ini keesokan harinya untuk membawa udang-udang tangkapan nelayan dari sana. Marwan bisa ikut, bermalam di sana. Pemilik perahu itu bahkan menawarkan Marwan untuk menginap di rumahnya. Tanpa berpikir panjang lagi, Marwan ikut mengantar gadis itu. Sepanjang perjalanan Marwan duduk berdekatan dengan gadis itu, saling bertukar cerita, sehingga perjalanan panjang nan melelahkan menuju pulau tempat tinggal gadis itu tidak begitu ia rasakan.
* * *
Perjalanan kali ini terasa jauh lebih berat dibandingkan ketika ia mengantar gadis itu pertama kalinya, juga jauh lebih melelahkan dibandingkan ketika perjalanan melamar gadis itu sebulan yang lalu. Gerimis dan kabut kini menjadi teman sepanjang perjalanan. Yang paling mengkhawatirkan dari perjalanan di tengah cuaca buruk begini adalah kondisi alam yang begitu cepat berubah. Hujan rintik-rintik seketika bisa berubah menjadi hujan deras yang disertai badai, dan ombak tenang sewaktu-waktu bisa berubah menjadi besar. Kekhawatiran lain timbul karena terlalu banyaknya muatan. Beban yang berat membuat lambung perahu semakin rendah, semakin dekat dengan permukaan air. Tempias air laut akan semakin mudah masuk ke dalam perahu. Mereka harus bergantian menguras air laut yang masuk menggenangi palka.
“Ini sudah hampir jam 10 dan kita belum separuh perjalanan.”
“Jangan dulu memikirkan waktu. Lebih baik terlambat daripada harus mempertaruhkan keselamatan.”
“Mereka pasti akan terus menunggu. Orang pulau tahu beratnya rintangan di tengah lautan.”
“Dalam perjalanan di tengah cuaca seperti ini, jarak tak lagi bisa diukur dengan waktu.”
Semakin jauh perahu berjalan, semakin pekat kabut yang menghadang. Jarak pandang mereka tak lagi sejauh sebelumnya. Ombak yang bergulung semakin tinggi membuat tempias air yang masuk ke dalam perahu semakin menggenangi palka. Lambung perahu semakin dekat dengan permukaan air, laju perahu menjadi semakin melambat.
Di tengah kondisi lambung perahu yang semakin rendah, akhirnya pemilik perahu itu menyerah. “Jika kita tetap memaksa melanjutkan perjalanan, bukan tidak mungkin kita akan tenggelam.”
“Kita akan kembali?” tanya lelaki berbaju pengantin itu, dengan suara parau.
“Bukankan di tengah cuaca seperti ini, memilih kembali akan sama beratnya dengan tetap melanjutkan perjalanan? Sebaiknya kita tetap ke sana,” ucap lelaki tua pemimpin rombongan itu.
“Tapi setidaknya perjalanan kembali jauh lebih dekat. Kita belum separuh perjalanan.”
Tak lama setelah pemilik perahu itu mengusulkan untuk kembali, hujan turun dengan derasnya. Terpal yang menjadi atap perahu seakan diterpa ribuan kerikil. Secepat mungkin pemilik perahu itu berusaha memutar haluan. Mendapati cuaca yang semakin buruk dan membahayakan keselamatan mereka, mau tak mau lelaki tua pemimpin rombongan itu menerima usul si pemilik perahu. Lebih baik kembali dengan raga masih dibalut nyawa daripada pulang hanya tinggal nama. Dibandingkan dengan dirinya, nelayan pemilik perahu itu memang jauh lebih mengerti tentang rahasia lautan.
Ketika perahu mulai berbalik arah, dan perlahan-lahan perahu semakin menambah kecepatannya untuk kembali ke pelabuhan, lelaki berbaju pengantin itu menoleh ke belakang. Ditatapnya kabut dan tumpukan awan di langit yang berwarna kehitaman. Dengan sorot mata yang redup, berkali-kali ditolehnya pekat kabut di belakang, seakan-akan yang berada jauh di balik pekat kabut itu adalah ‘pulau harapan’. Pulau yang gagal ia jelang. []
                                                                        /Sumenep-Yogyakarta, 2015.

Gambar: "Fishing Boat" lukisan acrylic, oleh Edward Abela.

Tidak ada komentar: