Oleh: Badrul Munir Chair
|
Perkampungan Nelayan di Pesisir Ambunten |
Dari tepi muara
Sungai Ambunten, nampak kerumunan
orang-orang yang sedang menghias perahu. Beberapa perahu nelayan ditambatkan di
atas hamparan pasir di sisi-sisi muara sungai, beberapa orang yang duduk di
atas geladak perahu terlihat sibuk merangkai janur kelapa untuk dijadikan
hiasan. Janur yang telah dirangkai membentuk umbul-umbul terlihat telah
dililitkan pada tiang perahu.
“Kami sedang
bersiap untuk memeriahkan upacara rokat
tase’,” tutur Haji Musa, seorang juragan perahu yang sedang menghias dan
menebalkan cat di lambung perahunya dibantu empat orang awaknya. Siang baru
saja menjelang, namun sengatan matahari bulan November begitu teduh, dan angin
yang berembus dari deretan pohon kelapa yang berderet di sepanjang tepi muara
Sungai Ambunten membawa kesejukan. Cuaca memang sedang baik akhir-akhir ini,
nelayan bisa pergi melaut dengan tenang, ikan-ikan seakan begitu mudah
didapatkan. Para nelayan menyebut musim yang seperti ini dengan sebutan mosem poco’ (musim puncak), yaitu musim
ketika cuaca sedang berpihak pada nelayan dan ikan tangkapan nelayan begitu
melimpah. Untuk mensyukuri nikmat atas penghasilan yang telah mereka dapatkan
itulah para nelayan mengadakan upacara rokat
tase’ (ruwat laut).
Ambunten merupakan
kecamatan yang secara geografis terletak di pesisir utara Kabupaten Sumenep.
Berjarak hanya 30 KM dari pusat kota kabupaten dan terletak di jalur pantai
utara Madura membuat Ambunten menjadi kota kecil yang terus berkembang. Pusat
pemerintahan dan kantor kecamatannya terletak di Desa Ambunten, kecamatan yang
mencakup 15 desa/ kelurahan. Desa Ambunten terletak di tepi laut yang dibelah
oleh seruas sungai yang berhulu jauh di selatan, Sungai Ambunten, yang menjadi tempat
berlabuhnya perahu-perahu nelayan jika sedang rehat melaut.
Raden Werdisastro,
seorang pujangga Keraton Sumenep yang hidup pada masa sebelum kemerdekaan,
menarasikan Ambunten sebagai salah satu pusat peradaban Madura Kuno. Dalam Babad Songennep (Babad Sumenep), ia
menceritakan bahwa dahulu kala, sebuah kerajaan pernah berdiri megah di
Ambunten, Kerajaan Mandaraja, berkuasa sekitar abad ke-13 M yang dipimpin oleh seorang
Ulama’ yang bergelar Pangeran Mandaraja. Keturunan-keturunan Pangeran Mandaraja
inilah yang kelak mendirikan Keraton Sumenep dan menguasai Madura. Maka bisa
dikatakan bahwa peradaban Ambunten merupakan sebuah peradaban tua. Di desa
inilah konon terletak perpustakaan pertama di Madura. Tapi tujuh abad setelah
masa keemasaannya itu, kejayaan Mandaraja seakan tak membekas di Ambunten.
Istananya telah runtuh, hanya tersisa rangka bangunan setinggi pondasi. Namun,
religiusitas yang diwariskan Sang Ulama’ seakan tak lekang oleh zaman.
Hamparan pasir
pantai mulai menghangat. Matahari telah naik sepenggalahan. Orang-orang yang sedang sibuk menghias perahu dan mengecat
beberapa bagian perahu terus melakukan pekerjaannya. Upacara rokat
tase’ masih akan dilangsungkan besok siang. Pak Hasan, ketua panitia rokat tase’ tahun ini, dating
ke tepi pantai Ambunten untuk mengecek persiapan terakhir, sekaligus dating untuk
mengundang para nelayan secara lisan untuk ikut
acara mamaca nanti malam. Mamaca merupakan tradisi membaca
kitab-kitab leluhur yang berbahasa Madura kuno, yang lumrah diadakan menjelang
dilaksanakannya upacara-upacara adat.
Dulu, rokat tase’ dilaksanakan secara rutin
setiap tahun. Namun sepuluh tahun belakangan, musim semakin sulit diterka,
siklus musim semakin kacau. Mosem poco’
tak mesti hadir setiap tahun. Anomali musim dan cuaca juga berdampak pada waktu
perhelatan upacara adat seperti rokat
tase’ yang pelaksanaannya memang sangat tergantung pada musim dan banyaknya
ikan tangkapan nelayan.
Rokat tase’ merupakan
salah satu tadisi yang berkembang di masyarakat pesisir Madura, khususnya
penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Di masyarakat pesisir
Madura, tradisi ruwatan laut itu disebut rokat
tase’. Tradisi rokat tase’ konon
telah dilangsungkan selama ratusan tahun oleh masyarakat pesisir Madura yang
merupakan warisan dari nenek moyang sebagai bentuk rasa syukur kepada Sé Kobasa Tase’ (Sang Penguasa Laut)
yang telah memberi mereka penghidupan. Menurut mitos yang berkembang dalam
masyarakat pesisir Madura, sosok Sé
Kobasa Tase’ dipercayai sebagai pengatur kehidupan di laut, termasuk juga
yang melimpahkan ikan-ikan tangkapan kepada para nelayan. Agar nelayan diberi
keselamatan ketika melaut dan diberi tangkapan yang melimpah, maka para nelayan
merasa harus berterima kasih dengan memberi persembahan kepada Penguasa Laut
tersebut.
Seiring dengan bergulirnya
waktu, mitos tentang sosok Penguasa Laut itu terus berkembang, terutama ketika
pengaruh Islam masuk dan masyarakat Madura mengenal Tuhan Yang Satu. Sosok yang
dulunya disebut Sé Kobasa Tase’ itu
kini lebih sering disebut Pangéran sé
Kobasa Tase’ (Tuhan yang Menguasai Lautan). Masyarakat Madura memang lebih
sering menyebut Tuhan dengan sebutan Pangéran.
“Bisa dikatakan, rokat tase’ merupakan sedekah nelayan
untuk Pangéran sé Kobasa Tase’,”
tutur Pak Mubarak, beliau adalah perpanjangan tangan seorang Kiai yang sangat
dihormati di Ambunten—Kiai, bagi orang-orang pesisir Madura yang sangat
religius, merupakan sosok sentral yang posisinya bukan sekadar sebagai pemberi
fatwa seputar masalah-masalah keagamaan, namun juga sering dimintai pendapatnya
mengenai masalah kehidupan sehari-hari.
Lebih jauh Pak Mubarak
menuturkan, bahwa seminggu sebelum
dilaksanakannya rokat tase’, warga
Ambunten khususnya yang berprofesi sebagai nelayan dimintai sedekah berupa uang
seikhlasnya. Uang yang terkumpul dari sedekah warga itulah yang nantinya akan
digunakan untuk menutupi kebutuhan pelaksanaan upacara rokat tase’.
“Meskipun
sebenarnya sedekah dari warga tidak akan cukup,” ucap Pak Mubarak. Mereka harus membeli dua ekor sapi untuk keperluan
upacara. Kepala dua ekor sapi itu nantinya akan diarak dan dilarungkan di
tengah laut. Belum lagi untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan lainnya yang merupakan
‘syarat wajib’ setiap perhelatan rokat
tase’ seperti mempersiapkan gunungan berisi aneka buah dan sayuran, membuat
miniatur perahu, dan hidangan-hidangan untuk dilarungkan ke tengah laut seperti
katopa’ panglobar (ketupat yang
dibuat khusus untuk ruwatan), jájján
genna’ (aneka jajanan lengkap), lémbur
(minuman dari kelapa dan gula aren), bubur beras lima warna (merah, putih,
kuning, hijau, dan hitam), telur ayam, dan ayam jantan dan betina yang masih
hidup. Panitia banyak dibantu oleh sumbangan Ulama’ dan tokoh-tokoh setempat
yang dikenal loyal, juga tentu saja kucuran dana dari pemerintah yang
berkepentingan untuk melestarikan budaya lokal.
Sebuah perahu
nelayan memasuki gerbang muara Sungai Ambunten. Seorang awak perahu yang baru
datang itu menceburkan tubuhnya ke air muara, menarik tali perahu di haluan dan
mengarahkan perahu itu menyusuri sungai. Setiap menjelang hari besar keagamaan
dan upacara adat, muara Sungai Ambunten akan terlihat sangat padat. Para
nelayan memutuskan rehat melaut untuk meramaikan hari besar keagamaan dan
upacara adat itu. Perahu-perahu nelayan dilabuhkan di sepanjang muara, diikat
kencang pada tiang kayu yang melintang di pohon-pohon kepala. Tiang kayu itu
berfungsi sebagai dermaga sekaligus titian para nelayan dari perahu menuju tepi
sungai. Masing-masing perahu nelayan memiliki dermaganya sendiri dengan menyewa
sebatang pohon kelapa di tepi sungai. Sang pemilik pohon kepala yang disewa
nelayan untuk dijadikan dermaga itu tidak dibayar dengan uang, melainkan dengan
beberapa ekor ikan setiap nelayan penyewa itu pulang melaut.
Sebagian besar
penduduk Ambunten bermatapencaharian sebagai nelayan. Sebagian lainnya bertani,
berdagang, dan bekerja di bidang pendidikan. Istri para nelayan umumnya
berdagang, menjualkan ikan hasil tangkapan suami mereka ke kota, dan sebagian
kecil dari mereka mendirikan pabrik-pabrik rumahan yang memproduksi terasi,
petis, dan kerupuk ikan. Terdapat puluhan pabrik rumahan yang mengolah hasil
laut, tidak sedikit dari pabrik rumahan itu yang mampu menembus pasar luar
negeri dan mengekspor produksi mereka sendiri. Di sisi lain, meski terletak di
tepi laut, sawah-sawah di Ambunten cukup subur. Aliran air dari Sungai Ambunten
seakan tak pernah mengering meskipun kemarau.
Keluarga nelayan
dan petani umumnya memasrahkan pendidikan anak-anak mereka pada seorang Kiai
atau guru mengaji. Di Desa Ambunten terdapat belasan pesantren dan surau yang
menampung santri tanpa membebani biaya pendidikan yang tinggi, bahkan gratis.
Anak-anak nelayan dan petani yang kurang mampu lebih banyak ‘dititipkan’ pada
seorang Kiai atau guru mengaji, hidup sederhana menuntut ilmu (bahkan ada yang
bermukim) di pesantren-pesantren yang bisa dijangkau dari rumah dengan berjalan
kaki. Tidak sedikit pula anak nelayan dan petani yang menempuh pendidikan
formal hingga perguruan tinggi. Sekolah-sekolah negeri banyak terdapat di
Ambunten, bahkan hampir semuanya berskala nasional. Semua kelompok masyarakat
hidup berbaur dengan damai, seakan tidak ada jarak antara anak nelayan, anak
petani, dan anak pegawai negeri. “Semua kelompok masyarakat di Ambunten hidup berbaur,
apalagi ketika ada acara keagamaan atau tradisi adat seperti ini,” tutur Pak
Hasan.
Penuturan Pak Hasan tentang masyarakat yang hidup berbaur
ini terbukti ketika dilangsungkan acara mamaca. Ratusan lelaki hadir memenuhi
rumah Kalebun (Kepala Desa) Ambunten
Timur, duduk di atas tikar yang digelar di beranda rumah dan halaman yang
diatapi terpal. Tak ada jurang pemisah antara nelayan, petani, pedagang,
pegawai negeri, guru mengaji, bahkan Kiai—semuanya duduk bersama. Dan ketika
acara telah dimulai dipimpin oleh Kiai, semua orang larut dalam kekhusyukan.
Bahkan ketika bait-bait dalam kitab kuno mulai dilagukan ketika mamaca, semua orang yang hadir nampak mengangguk-anggukkan
kepalanya mengikuti irama mamaca.
|
Sungai Ambunten, tempat para nelayan menambatkan perahu. |
* * *
Kepala dua ekor
sapi yang baru disembelih itu diikat pada sebatang galah yang melintang pada
dua buah tiang. Aroma anyir darah masih menguar di sekitar tanah lapang tempat
penyembelihan. Sepasang kepala sapi itu sebentar lagi akan diarak dalam upacara
rokat tase’. Sementara di sepanjang
Jalan Raya Ambunten, ratusan orang telah menyemut bersiap mengikuti arak-arakan
upacara rokat tase’. Belasan lelaki
memakai pakaian Sakera duduk di
sepanjang tepi jalan menunggu acara dimulai. Sakera sebenarnya merupakan nama
seorang tokoh perlawanan rakyat Madura, namun namanya diabadikan sebagai nama
pakaian adat. Pakaian adat sakera biasa
dipakai lelaki Madura dalam acara-acara adat. Pakaian sakera berupa kaos dalaman bercorak garis-garis horizontal dengan
warna merah putih yang bertumpuk-tumpuk, luarannya berupa rompi lengan panjang.
Baju bawahannya adalah celana gombrong berbahan kain sepanjang bawah lutut,
yang bagian perutnya dililiti sabuk berupa sarung. Di kepala para lelaki itu
tersemat udeng. Sementara belasan perempuan memakai jarik dan kebaya. Mereka
yang memakai pakaian adat tidak berarti merupakan orang-orang penting,
melainkan orang-orang yang sengaja memakai pakaian adat untuk memeriahkan
karnaval dan arak-arakan sesajian rokat
tase’. Sebagian besar lelaki lainnya memakai sarung dan baju koko, peci
hitam melekat di kepala mereka.
“Sebagian besar
masyarakat meyakini bahwa rokat tase’
bukan sekadar upacara adat, melainkan juga upacara keagamaan. Rokat tase’ merupakan bentuk rasa syukur
atas nikmat dan rizki yang diberikan Pangéran,”
tutur Pak Mubarak disela-sela kesibukannya mempersiapkan upacara bersama para
panitia. Jalan Raya Ambunten di sebelah timur jembatan yang menghubungkan
Sungai Ambunten semakin dipadati oleh ratusan orang yang hendak mengikuti
arak-arakan.
Iring-iringan
orang yang memanggul sepasang kepala sapi datang beberapa saat kemudian. Di
belakang iringan pemanggul kepala sapi itu menyusul rombongan orang yang
memanggul gunungan. Selain gunungan, terdapat juga barisan orang yang membawa
miniatur-miniatur perahu berisi biji-bijian, buah-buahan, dan umbi-umbian. Di
setiap miniatur perahu yang mereka bawa itu terdapat boneka manusia yang
terbuat dari tepung, sebagai simbol nelayan yang hendak berlayar mengarungi
lautan. Beberapa orang membawa ayam yang masih hidup, ayam yang masih hidup itu
nantinya juga akan dilarungkan di tengah lautan. Sesajian yang juga tak luput
daklam iring-iringan itu adalah nase’
rasol, nasi yang dibentuk menyerupai miniatur gunung atau kerucut disertai
lauk-pauk khusus yang diletakkan di piring atau talam. Selain nase’ rasol, terdapat juga kom-koman—sesaji yang berupa beberapa
macam bunga yang diletakkan di dalam suatu wadah besar dan direndam dengan air.
Juga ada kembháng telon terdiri dari
bunga mawar merah, melati, dan kenanga. Selain sesaji itu, ada juga jájján genna’ (jajanan lengkap) dan dámar ambang. Dámar ambang merupakan
pelita yang terbuat dari sekeping uang logam yang berlubang di tengah dan
kedalamnya dimasukkan sumbu. Sementara itu asap dupa membubung memenuhi udara.
Suara
tetabuhan mulai menggema, pertanda upacara akan segera dimulai. Tetabuhan itu
berasal dari kelompok musik saronen. Saronen merupakan gamelan khas Madura
untuk mengiringi kegiatan-kegiatan adat, terutama yang sifatnya arak-arakan.
Secara harfiah, saronen sebenarnya merupakan nama alat musik tiup khas Madura,
yang pada bagian pangkalnya berbentuk pipih yang ditempelkan pada bibir sang
peniup. Namun nama saronen ini kemudian digeneralisir, menjadi kesatuan
kelompok gamelan khas Madura dengan suara saronen sebagai pengisi suara paling
dominan. Ketika saronen ditiup dan gong mulai ditabuh, orang-orang yang
berbaris di sepanjang Jalan Raya Ambunten mulai berjalan dan seakan
menyesuaikan langkah kakinya dengan irama tabuhan.
Ratusan
orang yang ikut mengarak aneka sesajian untuk dilarungkan ke tengah laut itu
mulai bergerak meninggalkan Jalan Raya Ambunten, menuju Jalan Perikanan yang
merupakan jalan menuju laut utara. Di sepanjang jalan, suara tetabuhan tak
henti menggema, riuh tepuk tangan dan hentakan kaki ratusan orang yang berjalan
mengiringi dan sesekali menari semakin memeriahkan suasana.
Arak-arakan
pembawa aneka sesaji dan sepasang kepala sapi itu berhenti di tepi laut.
Sebelum aneka sesaji yang sudah dipersiapkan itu dibawa ke tengah laut dengan
menaiki perahu-perahu nelayan yang telah dihias dengan janur kelapa, terlebih
dahulu diadakan acara doa bersama. Ratusan orang yang ikut dalam upacara itu
kemudian duduk bersila beralaskan pasir pantai untuk mengikuti doa bersama.
“Di laut,
kehidupan nelayan memang abhental ombak
asapo’ angin,” ucap Kiai Junaid memulai sambutannya sebelum pembacaan doa,
“Namun di setiap hembus nafas hidup kita, harus abhental syahadat, asapo’ iman, apajung Allah,” lanjut Kiai Junaid.
Di laut, para nelayan memang berbantal ombak berselimut angin, sebuah
ungkapan yang menunjukkan betapa besar tantangan menjadi seorang nelayan dan
betapa berbahayanya rintangan yang menghadang. Namun dalam setiap hembus nafas
kehidupan, Kiai Junadi mengingatkan para hadirin agar ia selalu berserah diri kepada
Allah, hidup berbantalkan
syahadat, berselimutkan iman, berpayungkan Allah. Sebuah ungkapan yang
merupakan wujud kepasrahan dan tunduk kepada kuasa dan hukum Allah. Sambutan
Kiai Junaid menguatkan penuturan yang disampaikan Pak Mubarak tadi bahwa rokat tase’ bukan sekadar upacara adat, melainkan juga upacara
keagamaan, sebagai bentuk rasa syukur dan kepasrahan kepada Pangéran.
Ketika
pembacaan doa selesai, aneka sesaji dan sepasang kepala sapi kemudian dibawa ke
atas perahu nelayan yang telah dihias. Hanya orang-orang penting dan tertentu
saja yang menaiki perahu nelayan yang dihias itu untuk melarungkan aneka sesaji
di tengah lautan, seperti Kiai, tetua adat, perangkat desa, dan para panitia.
Sementara orang-orang lainnya yang ingin mengikuti proses larung sesaji itu
harus menaiki perahu-perahu nelayan yang juga dipersiapkan di tepi pantai.
Iring-iringan perahu nelayan itu kemudian berangkat ke tengah lautan,
disaksikan ratusan orang yang menunggu di tepi pantai.
Iring-iringan
perahu yang membawa aneka sesaji terus melaju ke tengah laut. Para
Peserta duduk di atas geladak salah satu
perahu yang ikut iring-iringan itu. Setiap perahu membawa belasan orang sehingga kami harus berdesak-desakan
duduk di atas geladak papan. Ketika perahu mulai sampai di tengah laut dengan
arus yang cukup tenang, iring-iringan perahu terhenti. Perahu-perahu berjejer,
orang-orang di atas bersiap melarungkan sesaji sebagai acara puncak upacara rokat tase’. Aneka sesajian dalam
miniatur-miniatur perahu, sepasang kepala sapi, dan gunungan berisi aneka buah
dan hasil bumi perlahan-lahan mulai dilepas ke laut dengan iringan gema selawat
dan doa-doa pengharapan.
Ketika
semua sesaji telah dilarung ke laut lepas, perahu-perahu nelayan satu-persatu
mulai kembali menuju pulau. Di atas perahu, para peserta upacara memperbincangkan tentang pengharapan-pengharapan mereka
untuk mendapatkan hasil laut yang melimpah dan kehidupan yang lebih membawa
berkah. Di atas perahu yang terus melaju menuju Ambunten, tidak
sedikit para peserta upacara yang menoleh ke
belakang, menatap sedekah para nelayan kepada Sang Penguasa Laut yang baru saja
dilarungkan, menatap miniatur-miniatur perahu berisi aneka sesajian yang
diombang-ambingkan ombak dan perlahan-lahan mulai tenggelam.
[]
Sumber Gambar:
- Perkampungan Nelayan di Pesisir Ambunten, http://www.mitchellkphotos.com/placesnature.html
- Sungai Ambunten, http://www.panoramio.com/user/5397737?with_photo_id=86043439
"Tulisan ini diikutsertakan dalam Gramedia Blogger Competition Februari 2016"