Oleh: Richa
Miskiyya*
Dipublikasikan di Koran Madura, Jumat, 17 Oktober 2014
Dipublikasikan di Koran Madura, Jumat, 17 Oktober 2014
Judul :
Kalompang
Penulis :
Badrul Munir Chair
Penerbit :
Grasindo, Jakarta
Tahun :
Agustus, 2014
Halaman : xi
+ 310 halaman
ISBN :
978-602-251-622-4
Harga :
Rp. 55.000
MENDENGAR nama Pulau
Madura, pasti yang teringat pertama kali adalah karapan sapi, sate madura,
garam, atau jembatan suramadu. Padahal selain hal-hal tersebut, Pulau Madura
juga memiliki nelayan-nelayan tangguh di sepanjang pesisir utara seperti yang
dikisahkan dalam novel Kalompang ini.
Novel ini
menyuguhkan potret kehidupan nelayan Madura, khususnya yang berada di pantai
Kalompang-Sumenep. Novel ini adalah Pemenang I Lomba Tulis Nusantara yang
diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Tahun 2013.
Novel dengan
tebal 310 halaman ini menceritakan tentang kehidupan Mattali, seorang nelayan
di pantai Kalompang. Seperti nelayan lainnya, Mattali dan keluarganya hidup
dari hasil menangkap ikan di lautan.
Di tengah
kerasnya kehidupan Mattali sebagai nelayan, ia selalu memegang teguh agamanya
karena bagi nelayan Pulau Madura, mereka memiliki sebuah prinsip. “Kalau di
laut, kita memang abhental ombak asapo’ angin. Tapi seluruh denyut nadi
kehidupan kita, harus abhental syahadat, asapo’ iman, apajung Allah.” Di laut,
nelayan berbantal ombak berselimut angin, dan dalam kehidupan manusia haruslah
berbantalkan syahadat, berselimutkan iman, berpayungkan Allah. (halaman 13).
Kerasnya
kehidupan Mattali tak hanya dialaminya ketika melaut, di daratpun ia dan
keluarganya pun ditimpa kemalangan. Adik iparnya menabrak mati anak seorang
penguasa daerah setempat, dan ini membuat Mattali dan keluarga didera ancaman.
Mattali harus membayar uang ganti rugi pada penguasa setempat yang jumlahnya
tidaklah sedikit (halaman 50)
Tragedi yang
menimpa adik ipar Mattali ini seperti menjadi pintu pembuka kemalangan Mattali
dan keluarganya. Hutang menjeratnya, dan rumahnya pun terancam penggusuran
untuk pembangunan tanggul pembatas pantai.
Rafiqah, istri
Mattali menginginkan agar perahu Mattali dijual saja untuk membayar hutang dan
modal membuka usaha kecil-kecilan, namun hal itu tidak disetujui oleh Mattali.
Baginya, perahu dan lautan sudah menjadi rumah kedua baginya (halaman 69).
Permintaan
Rafiqah pada Mattali untuk menjual perahu sebenarnya bukan hanya karena
keinginannya untuk melunasi hutang, tetapi juga karena ia kesepian dan khawatir
akan keselamatan suaminya ditengah lautan. Rafiqah selalu didera kecemasan
ketika mendengar kabar cuaca buruk, ataupun badai, ia tak ingin jika kematian
Bapaknya di tengah lautan terjadi pula pada suaminya (halaman 70).
Suatu hari
Rafiqah mendengar ada badai di lautan, banyak perahu dari pantai daerah lain
terseret ombak dan akhirnya berlabuh di pantai Kalompang. Mendengar kabar
tentang banyaknya perahu nelayan yang terseret membuat Rafiqah semakin cemas
akan keselamatan Mattali hingga akhirnya Mattali memberi kabar jika ia dan
perahunya berlabuh di pantai tetangga (halaman 113).
Kecemasan
Rafiqah tak juga hilang ketika Mattali kembali melaut, ia yang mengantar
suaminya hingga dermaga merasakan firasat tak baik. Kabar buruk dari laut pun
sampai ke telinganya, perahu Mattali diterjang ombak, satu awak perahu Mattali
terluka parah, sedang satu awak lainnya meninggal dunia, sedang Mattali hilang
tak ditemukan.
Kehidupan
nelayan digambarkan dengan rinci dalam novel ini, tak hanya penggambaran
keseharian mereka saat di laut dan tempat pelelangan ikan saja, akan tetapi
juga dikisahkan bagaimana nelayan Madura tak pernah lepas dari agama dan juga
tradisi yang tumbuh di masyarakat.
Agama dan
tradisi yang kuat ini tercermin dari sikap para nelayan Kalompang yang selalu
meminta pendapat Kyai terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu, seperti kapan
waktu yang tepat untuk membangun rumah atau merantau.
Meski novel ini
hanya menceritakan nelayan Kalompang, akan tetapi dari novel ini bisa menjadi
cerminan ketangguhan nelayan-nelayan Madura pada umumnya, tak hanya ketangguhan
di lautan, tetapi juga ketangguhan menjalani kehidupan.
Novel Kalompang
ini berhasil menarasikan religiusitas dan filosofi kehidupan nelayan Madura.
Penulisnya yang berasal dari Madura membuatnya mampu memberikan penggambaran
yang detil dalam novel ini sehingga tokoh-tokohnya tampak hidup dan nyata. (*)
*) Penikmat
novel, mahasiswa Magister Administrasi Publik Universitas Diponegoro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar