Selasa, 01 Oktober 2013

Lullaby: Instrumentasi Meditasi

Lullaby: Instrumentasi Meditasi


       Setelah menutup jendela dan menarik tirai, saya selalu memadamkan lampu kamar. Biasanya paling cepat jam sebelas malam, paling lambat saya tak tahu, kadang-kadang hingga adzan subuh berkumandang saya baru menutup jendela. Setelah itu, hanya sorot monitor komputer yang remang-remang menerangi kamar saya yang berukuran tak lebih dari 3x3 meter. Waktu-waktu seperti itu adalah saat yang tepat untuk bermeditasi, memutar lagu-lagu lullaby dengan volume pelan.
       Kebiasaan itu saya lakukan ketika sedang suntuk dan bosan dininabobokan suara pembaca berita tengah malam di televisi. Biasanya—saat saya tidak terlalu labil dan suntuk-- saya biarkan televisi terus menyala, setelah sebelumnya memencet tombol timer pada posisi 120 menit. Tak jarang berkali-kali saya terus menambah durasi timer ketika mata saya belum bisa terpejam. Suara berita dan kadang-kadang suara presenter olahraga tengah malam itu saya dengarkan dengan terpejam, seperti ketika mendengar suara radio. Monitor layar cembung itu terus berkerlap-kerlip seperti lampu disko seiring pergantian gambar dan cahaya yang dipantulkan, cahaya dari monitor itu menerangi kamar saya remang-remang.
      Namun ketika saya sedang suntuk, saya lebih senang menyalakan komputer, memutar lagu-lagu lullaby, lagu pengantar tidur. Saya memilih lagu-lagu instrumental seperti Granpa’s Violin-nya Yuki Kajiura, If I Could See You Again dan Kiss The Rain-nya Yiruma, Amare di Neovo (Adagio in C Minor)-nya Yanni, Con Te Partiro (Time to Say Goodbye), piano solo instrumens-nya Luna Sea, Recuerdos de la Alhambra-nya Tarrega (yang versi Eleni juga saya suka), hingga lagu-lagu dari Timur Tengah seperti Ayyuhan Na’imu-Riyadh Sunbati,  Maa ‘Alaina-nya Abu Baker Salem, dan lain-lain.
Kalau saya sedang tidak capek, saya mendengarkan lagu-lagu itu sambil googling lewat handphone, mencari segala macam informasi di internet sambil menunggu datang kantuk. Biasanya saya searching sejarah kota-kota dunia. Andalusia, Paris, Venezia, Sardinia, dan kota-kota indah lainnya yang bagi saya seumpama sebuah tempat di negeri dongeng. Kadang-kadang saya buka facebook dan twitter, diam-diam memperhatikan postingan orang-orang yang mungkin tak bisa tidur seperti saya. Namun saya lebih sering mendengarkannya sambil terpejam, sembari bermeditasi. Saya mencoba mengosongkan pikiran, bahkan seringkali membayangkan malaikat maut datang saat itu juga: ketika saya terbujur-menjulur tenang diiringi alunan musik surgawi. Sungguh prosesi kematian yang indah.
      Tetapi acapkali lagu-lagu itu membawa saya pergi mengembara meninggalkan dunia 3x3 yang sudah empat tahun saya tempati. Misalnya ketika Recuerdos de la Alhambra sedang mengalun, pikiran saya mengembara jauh ke masa silam, membayangkan seluk-beluk Andalusia dan Alhambra ketika masa kejayaannya di bawah penaklukan Thariq bin Ziyad. Saya membayangkan sedang berada di bangunan-bangunan istana tua, masjid-masjid yang kini beralih fungsi menjadi gereja. Granpa’s Violin membawa saya terbang ke masa depan, membayangkan hari tua saya, di sebuah desa kecil dekat pantai, menghabiskan sisa usia dengan menatap keluasan laut dan suara debur ombak, atau tinggal di sebuah desa kecil yang sejuk dengan suara kicau burung ditemani istri tercinta.
      Tak jarang pula lagu-lagu itu mengingatkan saya pada sebuah adegan dan peristiwa di masa silam, juga sebuah landscap dalam novel dan cerita fiksi. Ayyuhan Na’imu mengingatkan saya pada rumah, karena bapak saya seringkali memainkan lagu itu dengan gambusnya. Amare di Neovo mengingatkan pada lelaki kesepian atau patah hati yang baru ditinggal pergi kekasihnya, menjerit dalam kesunyian sebagaimana roman-roman picisan yang kerap saya baca. Mr. Curiosity-nya Jazon Mraz mengingatkan saya pada suatu masa yang ingin saya lupakan.
      Dari catatan durasi di winamp saya bisa mengira-kira seberapa lama saya merenung dan tak juga bisa terpejam. Jika dulu saya merasa tersiksa dengan insomnia, sekarang malah sebaliknya, jika tak bisa tidur adalah saat yang tepat untuk bermeditasi. Musik membuat jiwa saya lebih damai, bahkan saking damainya saya merasa siap jika saya mati saat itu juga. Dulu saya egois, teman-teman masa kecil dan remaja saya pasti merasakan hal itu. Sekarang saya merasa lebih bisa menahan dan belajar sabar, mungkin ya karena meditasi setiap tengah malam itu.
Saya semakin meyakini manfaat positif dari mendengarkan lagu-lagu yang telah saya sebutkan tadi itu setelah membaca buku-bukunya Masaru Emoto. Dari Masaru Emoto lah saya mengerti bahwa air bisa merespon setiap suara. Jika suara yang dikeluarkan adalah doa atau lagu-lagu yang indah, maka kristal-kristal dalam air itu merespon doa kita sehingga secara tak kasat mata kristal itu akan menjadi lebih berbinar, lebih indah. Saya berpikir, bukankah 70% bagian tubuh kita adalah air? Seperti katanya pak Sapardi: “dalam tubuhku mengalir sungai panjang, darah namanya.” Mungkin lagu-lagu lullaby itu membuat kristal-kristal dalam darah di tubuh saya menjadi lebih berbinar. (Serius!)
      Lagu-lagu itu terus mengalun menemani meditasi saya yang entah kapan selesainya. Jika lebih dari dua jam saya tak bisa tidur juga, biasanya saya akan mematikan monitor komputer dan membiarkan lagu-lagu itu terus mengalun menyapa telinga saya, masuk ke pori-pori saya, mengalir dalam darah saya, menelusup hingga daging dan tulang saya, hingga pagi tiba. [ ]

/bmc

Tidak ada komentar: