"Subjek" yang Berhasrat Pada
Perjalanan:
Sebuah Hasil Pembacaan Puisi Badrul Munir
Chair
Oleh: Galuh Febri Putra*
Pengantar : Subjektivitas
akan Ruang dan Keberangkatan
"Tunjukan Kami Jalan yang
Lurus"
(QS. Al-Fatihah: 6)
Kutipan ayat tersebut selain
menjadi dasar bagi sebuah percarian abadi akan (per)jalan(nan), ayat itu juga
mungkin mempunyai implikasi bahwa jalan lurus haruslah ditunjukan, tanpa ada
"penunjuk" maka jalan tersebut tidak dapat disebut sebagai jalan yang
lurus. Apakah jalan tersebut lurus ataupun berkelok semua tergantung pada siapa
yang melakukan atau menunjuk sebuah perjalanan. Kerelatifitas perjalanaan
bahkan juga ditunjukan oleh ilmu-ilmu positifistik yang punya kebenaran mutlak.
Jika menempatkan teorema Newton
yang menyatakan bahwa ruang itu bersifat objektif dan mutlak, maka akan
didapati sebuah paradoks. Jika sebuah tongkat dengan dimensi panjang 15 cm maka
tongkat tersebut akan menempati ruang 15 cm, kemudian tongkat tersebut
dilemparkan dan bergerak dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Setiap saat
dalam keadaan melayang tongkat tetap berukuran 15 cm berarti tongkat menempati
ruang sepanjang 15 cm. Kemudian pengamat mengatakan bahwa berukuran
sepanjang 15 cm berarti menempati ruang sepanjang 15 cm dan berhubung dengan
itu, maka setiap saat dalam keadaan melayang tongkat tersebut berada dalam
keadaan diam.
Dari paradoks di atas bisa
disimpulkan bahwa ruang bersifat relatif. Ruang tergantung pada pengamatnya.
Ruang merupakan semacam hubungan antara benda-benda yang diukur dengan
cara-cara tertentu. Dengan demikian apabila pengukurannya dilakukan dengan cara
yang berbeda, maka hasilnya pun akan berbeda
Pernyataan seperti di atas
nampaknya juga dibangun oleh seorang sastrawan muda bernama Badrul Munir Chair
melalui puisi-puisi yang ditulisnya. Dalam puisi-puisinya, Chair
menunjukan sebuah transformasi ruang yang mengambil bentuk perubahan kesadaran,
yang ditunjukkan dalam resistensi aktif terhadap perubahan material yang ada
di dalam ruang yang menjadi titik keberangkatan. Kekacauan ruang dalam puisi
tersebut dimulai dari api yang membakar rumah yang kemudian menjalar ke seluruh
pulau sehingga perjalanan keluar pulau menjadi sebuah keharusan.
Ikan di Sungai Kecil:
Subjek yang Berhasrat pada Perjalanan
“You
never look at me from the place at which I see you” (Lacan, 1999).
Jika Decrates menawarkan "saya
berfikir maka saya ada" dan Jacques Lacan menawarkan "saya berfikir
maka saya tidak ada" maka mungkin Chair menawarkan "Saya berhasrat
maka ruang ada" . Setidaknya hal itu yang bisa ditangkap dari puisinya
yang berjudul Aku Telah Jadi Ikan di Sungai Kecil Ini. Ikan kecil
dalam puisi seakan menjadi manifestasi subjek Chair yang berhasrat pada
perjalanan. Seperti apa yang dikonseptualkan oleh Zizek yang menempatkan subjek
pada garis ”antara”. Subjek dalam puisi ini tersublimasi berupa ikan
kecil mengafirmasi lackness – kekurangan/ketidakcukupan subjek akan
ruang yang statis, sehingga ikan kecil yang berada di aliran sungai paling
nurani muncul sebagai subjek yang ingin dibentuk melalui
transendensi penempatannya ke dalam ”ruang kosong”. (Kristiatmo: 2007)
Aku
telah jadi ikan di sungai kecil ini
mengawasi
pejalan kaki di jembatan tua
dari
dasar air paling nurani
dan
suara nyanyian nelayan di tepian
menyenandungkan
kesunyian purbawi
membawaku
terapung ke permukaan
lalu
mabuk dalam kefanaan
Dari dasar air yang serupa nurani ikan kecil seakan belajar untuk berhasrat
dari pejalan kaki yang melintas melewati jembatan tua. Pejalan kaki menggiring
ikan melakukan perjalan menuju permukaan dan meninggalkan tempat yang mungkin
merupakan tempat yang paling nyaman dimana si ikan kecil mendapatkan kepenuhan
dari air nurani yang berada di dasar sungai. Setelah sampai ke permukaan ikan
kemudian menjadi mabuk akan kefanaan. Candu yang diberikan oleh Chair yang
membuat si ikan kecil menjadi mabuk melalui manifestasi pejalan kaki yang
diamati oleh si ikan kecil. Tindakan melihat si ikan kecil merupakan
dorongan untuk melihat (scopic drive). Oleh karena itu,
pengawasan ikan kecil tidak lagi semata berada pada posisi si ikan kecil,
tatapan tersebut adalah tatapan yang lain. Dengan tatapan itu si ikan dapat
mendengar nyanyian nelayan, bahkan dengan tatapan tersebut si ikan kecil dapat
menyenandungkan kesunyian purbawi. Dapat disimpulkan bahwa pengawasan si ikan
kecil berbeda dengan pengawasan indrawi. Pengawasan yang dilakukan ikan kecil
menawarkan sebuah kekosongan bagi subjek, sehingga muncul usaha-usaha guna
meraih kekosongan dengan berbagai macam cara.
Kekosongan yang abadi oleh Chair dimanifestasikan melalui perjalanan dalam
puisi-puisinya. Dalam puisi yang berjudul Selat Madura, Chair
menawarkan antar ruang yang muncul diatara rumah dan bukan rumah. Puisi ini
lebih "bercerita" akan Selat Madura dan bukan Madura yang sejatinya
merupakan ruang. Jika yang lain lebih menitikberatkan bahwa selat yang hanyalah
menjadi semacam penghubung dimana tidak ada ruang yang dapat ditulis secara
naratif. Chair menawarkan bahwa ruang hanya muncul ketika seorang subjek
berhasrat. Hasrat Chair yang dibangun di dalam kekosongan bertransformasi aktif
bersama subjek sehingga memunculkan ruang yang bertansformasi subjektif.
Keberangkatan = Kekacauan Ruang
Ke
barat ia pergi, arah yang ditunjuk perantau abadi
di
pantai rumah telah terbakar, pulau dikepung api
laut
pasang memberi isyarat untuk segera menyeberang
angin
seperti lirih bisikan nenek moyang, memberi petuah
nasihat-nasihat
yang hidup ribuan abad, serupa gelombang:
“Rumah
sejati ada dalam diri, bukan sekadar tanah
dan
tempat singgah. Maka pergilah!”
Walaupun dimensi rumah dan pulau
dalam stanza pertama tidak digambarkan secara detail, namun secara indrawi
rumah di atas pulau dapat disimpulkan bahwa dimensi rumah tidak sama dengan
pulau dalam arti rumah tidak akan sebesar pulau. Dalam puisi kebakaran yang
terjadi pada rumah dan akhirnya dapat menyebabkan seluruh pulau ikut terbakar,
rumah juga digambarkan dalam puisi jika rumah berada di pantai yang notabene
merupakan sumber air yang dapat memadamkan api secara seketika. Stanza pertama
puisi Chair mentransformasikan rumah dan pulau menjadi sesuatu yang berbanding
lurus, jika rumah terbakar maka pulau terbakar, jika rumah bisa untuk bercinta
maka pulau juga bisa untuk bercinta. Padahal di bagian belakang pulau mungkin
masih ada tempat yang belum terbakar dan bisa untuk ditempati. Sebuah
subjektivitas akan ruang dalam puisi sepertinya menjadi sebuah titik tolak sebuah
keberangkatan abadi.
Perjalanan yang dilakukan di dalam
puisi melalui sebuah gerbang yang merupakan pengejawantahan yang berwujud dari
kabut. Gerbang sejatinya adalah bangunan yang menjadi pintu bagi
tembok pembatas yang mengelilinginya. Tembok membatasi tempat yang ada di luar
dan juga ruang yang ada di dalam. Gerbang merupakan penengah antara tempat di
dalam dan di luar ruang. Wujud gerbang yang hanya kabut transparan dan tidak
dapat memberikan batasan secara fisik terhadap ruang bisa dibilang gagal
sebagai penengah atara ruang luar dan ruang dalam. Hal ini jelas
akan memunculkan instabilitas bagi siapa saja yang ada di gerbang tersebut
karena terjadi penumpukan antara tempat yang di dalam dan ruang yang ada di
luar. Siapapun yang ada di sana pasti akan melihat dunia sebagai sebuah dunia
dengan ruang yang absolut dan kemudian membandingkannya dengan dengan segala
keterbatasan yang ada di dalam tempat di dalam tembok.
Perjalanan merupakan usaha untuk
melarikan diri dari batas-batas yang disematkan oleh tempat. Batas yang
disematkan dalam puisi ini adalah api yang membatasi rumah dan juga pulau,
sehingga laut yang pasang pun membisiki untuk melakukan perjalanan. Perjalanan
ini tidaklah sama dengan perjalanan untuk menemukan ruang absolut dimana dapat
melakukan fiksasi atas ruang tersebut hal ini dapat dilihat dari bisikan nenek
moyang yang menjelajah waktu dan muncul dalam puisi sebagai nasehat hidup yang
berbunyi "Rumah sejati ada dalam diri, bukan sekadar tanah dan tempat
singgah. Maka pergilah" . Perjalanan dalam puisi ini lebih pada usaha
untuk melampaui batas-batas dan pemetaan dan pencarian seuatu yang lebih
sesuatu yang jauh lebih cair. (Upstone, 2009)
Daftar Rujukan
Lacan, Jacques. 1999. The Four
Fundamental Concepts of Psycho-Analysis. New York: W.W. Norton and Company.
Kristiatmo, Thomas.2007. Redefinisi Subjek dalam Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra.
Upstone, Sara. 2009. Spatial
Politics in The Postcolonial Novel. England: Ashgate Publishing
Limited.
Galuh Febri Putra, Mahasiswa program pascasarjana jurusan Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, UGM.
Disampaikan dalam Diskusi Sastra PKKH "Lelaki yang Pergi Malam Hari. Selasa, 23 Desember 2014, di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar