YANG
PERGI DAN YANG TERHAPUS AIR
Oleh: Prof. Faruk HT.*
Lelaki yang Pergi Malam Hari
Ke
barat ia pergi, arah yang ditunjuk perantau abadi
di
pantai rumah telah terbakar, pulau dikepung api
laut
pasang memberi isyarat untuk segera menyeberang
angin
seperti lirih bisikan nenek moyang, memberi petuah
nasihat-nasihat
yang hidup ribuan abad, serupa gelombang:
“Rumah
sejati ada dalam diri, bukan sekadar tanah
dan
tempat singgah. Maka pergilah!”
Pergilah
ia di malam hari, agar jejaknya di pasir lekas-
terhapus
air. Tanpa dayung dan mesin pemutar baling-baling
perahu
berangkat ke negeri jauh. Tak ada isyarat dan pesan
kepergian—juga
prosesi pemberkatan. Pandang tiada berpaling
tertinggallah
segala yang dikenalinya sebagai masa lalu
usia
remaja yang kelewat naif dan lugu, menjadi luka waktu
Badai
membangun siasat seperti mata pancing dan tombak
tajam
dan runcing. Hanya hening, hati sebening telaga
menuntunnya
menerka lekuk laut dan gelap semesta
lalu
hamparan kabut membuka diri serupa gerbang
menyambut
kedatangan pelayar baru, gemetar dan ragu
tapi
perahu telah jauh berangkat, tak ada alasan kembali
sebab
di pantai rumah telah terbakar: pulau direnggut api.
2013
Puisi ini merupakan kisah
perjalanan. Meskipun baru sampai pada dua tahap, yaitu ketika berangkat dan di
tengah perjalanan. Seperti kisah-kisah perjalanan kolonial di masa lalu,
perjalanan merupakan sebuah tahap pengujian dan penemuan diri, pembangunan
subjek dan posisinya di dalam lingkungan sekitar. Karena itu, perjalanan
itu bukan hanya sebuah gerakan dari sebuah lokasi geografis yang satu ke lokasi
geografis yang lain, melainkan juga peralihan dari usia remaja ke,
tentunya, usia dewasa. Lebih jauh, perjalanan itu juga menjadi peralihan
dari satu kepribadian ke kepribadian yang lain, satu kecenderungan mental ke
kecenderungan mental yang berbeda, yaitu dari kelewat naif dan lugu ke “luka
waktu”.
Karena perjalanan itu sekaligus
merupakan perjalanan untuk penemuan diri, mental ataupun psikologis, tidak
menjadi begitu penting gambaran mengenai lokasi (-lokasi) yang dikunjungi. Yang
penting adalah penemuan diri subjek itu sendiri. Dan, tampaknya diri itu bahkan
sudah ditemukan sebelum perjalanan itu sampai ke tujuan, yang di dalam puisi
ini disebut sebagai “barat”. Diri itu tidak lain dari apa yang disebut sebagai
“luka waktu” di atas.
Tapi, diri yang seperti apa,
sebenarnya, yang disebut sebagai “luka waktu” itu? Yang sudah bisa dipastikan
adalah diri yang sudah meninggalkan masa kanak-kanak yang “naif dan lugu”.
Kenapa, diri yang seperti itu disebut sebagai “luka waktu”? mungkin kita perlu
memahami luka sebagai sebuah kerusakan atau kebocoran pada yang semula utuh,
seperti “luka perawan”. Dalam pengertian yang demikian, keluguan bisa diartikan
sebagai sebuah keutuhan. Keutuhan yang bagaimana? Tentu saja, ketika manusia
berada dalam ketidaktahuan, lugu.
Jadi, bila dilihat dari
pertentangannya dengan keluguan, luka waktu bisa diartikan sebagai diri yang
berpengetahuan. Tapi, kenapa berpengetahuan dinamakan sebagai luka, sebagai
sesuatu yang tidak utuh? Untuk menjawab hal ini kita mungkin perlu melihat hal
lain yang bisa dianalogikan dengan keluguan di atas karena hal itu juga
merupakan sesuatu yang ditinggalkan, yaitu pulau dan rumah. Keluguan menjadi
analog dengan keterikatan diri subjek pada lokasi tertentu, pada lingkungan
yang akrab. Diri yang lugu adalah diri yang masih menjadi satu dengan pulau dan
rumah itu, belum menjadi subjek yang berdiri sendiri, masih bergantung pada
lingkungan. Luka, dengan demikian, terjadi sebagai akibat dari ditariknya diri
dari lingkungannya itu, dilepaskannya diri, anggaplah, dari akarnya.
Dengan demikian, berpengetahuan
hanya berlaku bagi diri yang sudah terlepas dari lingkungannya, dari pulau dan
rumahnya. Selama diri masih terikat pada sesuatu yang ada di luar dirinya
tersebut, dia tidak dapat disebut berpengetahuan. Bila kemampuan lepas dari
lingkungan dapat diartikan sebagai kemampuan diri untuk menjadi subjek yang
berdiri sendiri, berpengetahuan menjadi identik dengan subjektivitas dan
subjektivitas identik dengan luka. Hanya orang yang terluka, mengalami rasa
sakit, yang berpengetahuan dan sekaligus menjadi subjek.
Karena luka menjadi bagian dari
subjektivitas itu, perjalanan diri sudah sampai ke tujuannya justru pada saat
ia baru berangkat dan dalam perjalanan, justru ketika ia belum sampai pada
tujuan, pada pulau ataupun rumah yang lain. Lebih jauh, karena alasan yang
sama, keadaan di dalam perjalanan itu sendiri tidak boleh menjadi perjalanan
yang nyaman, yang tidak menyakitkan. Keadaan di dalam perjalanan itu juga harus
menimbulkan rasa sakit, luka. Badai “seperti mata pancing dan tombak tajam dan
runcing”.
Bila luka adalah tujuan itu
sendiri, yaitu ditemukannya diri yang berpengetahuan, diri yang luka, tentunya
perjalanan menjadi tujuan itu sendiri, badai yang seperti mata pancing dan
tombak tajam dan runcing itu bukan lagi hanya keadaan transisi menuju keadaan
yang lain. Tapi, puisi ini tidak menganggapnya demikian. Ia masih berusaha
menemukan rumah baru. Rumah itu adalah: “rumah sejati ada dalam diri...”.
dengan demikian, perjalanan itu bergerak bukan hanya dari satu tempat ke tempat
yang lain, dari satu keadaan ke keadaan yang lain, dari satu mentalitas ke
mentalitas yang lain, melainkan dari lingkungan yang ada di luar ke yang ada di
dalam diri.
Badai membangun siasat seperti mata
pancing dan tombak
tajam dan runcing. Hanya hening, hati
sebening telaga
menuntunnya menerka lekuk laut dan gelap
semesta
Dalam hal ini bisa diartikan bahwa
bagi puisi ini lingkungan yang ada di luar, dengan segala ancaman dan
tantangannya, tak lebih dari sebuah batu uji bagi diri. Diri yang hening,
sebening telaga. Apakah diri ini sama dengan diri yang luka waktu? Bila luka
sama dengan ombak yang setajam mata pancing dan tombak, diri yang luka itu pun
menjadi hanya sebuah masa transisi, keadaan di perjalanan untuk menuju tempat
yang lain. Tapi, tetap ada masalah di sini.
Di dalam kutipan puisi di atas,
keheningan dan kebeningan hati merupakan sebuah kekuatan untuk bisa mengatasi
ombak, membuat kabut membuka pintu. Dengan kata lain, keheningan dan kebeningan
ada sebelum ombak, ada sebelum luka. Tapi, darimana datangnya? Mungkin dari apa
yang disebutkan di baris-baris terakhir bait pertama.
laut pasang memberi isyarat untuk segera
menyeberang
angin seperti lirih bisikan nenek moyang,
memberi petuah
nasihat-nasihat yang hidup ribuan abad,
serupa gelombang:
“Rumah sejati ada dalam diri, bukan sekadar
tanah
dan tempat singgah. Maka pergilah!”
Tampak bahwa diri yang dicoba
dicari dalam perjalanan itu, dengan meninggalkan rumah, pulau, dan masa lalu
itu, sudah ditentukan oleh nasihat-nasihat angin, laut pasang, nenek moyang,
yang menyerupai gelombang. Sesuatu yang melampaui ruang dan melampaui waktu,
yang tentunya membuat diri tidak bisa beralih dari ruang yang satu ke ruang
yang lain, dari waktu yang satu ke waktu yang lain, yang membuat diri pergi dan
melakukan perjalanan dalam kerangka tanpa ruang dan tanpa waktu. Perjalanan ke
manakah itu, peralihan dari mana ke mana? Bila rumah ada dalam diri, ke manakah
ia pergi? Apa yang ia tinggalkan, ke mana ia menuju?
Sekilas, puisi ini merupakan sebuah
cerita perjalanan menuju diri cartesian yang mandiri, yang hanya akan menjadi
diri bila ia terluka dan melepaskan diri dari segala ikatan dengan dunia yang
ada di luarnya. Tapi, ternyata tidak. Bila puisi ini bicara mengenai kebeningan
telaga, kebeningan itu bukanlah kebeningan berpikir tanpa bias, lepas dari
ikatan tahyul dan mitos dan pikiran orang-orang sebelumnya, melainkan
keheningan ketika diri melebur dalam ruang dan waktu, kebeningan ketika diri
tiada, dan pintu terbuka dengan sendirinya.
Diri pergi bukan karena maunya
sendiri, tapi ada kekuatan luar yang membuatnya pergi. Mungkin angin, mungkin
laut pasang, mungkin rumah yang terbakar dan pulau direnggut api, hingga ia, mau
tak mau, harus tetap berangkat dan tak bisa kembali. Ia tak bisa lagi menjadi
ragu kecuali menyerahkan diri pada kehendak kekuatan itu. Ia adalah orang-orang
Madura yang selalu hidup bersama dalam perantauan, ia adalah orang-orang Madura
yang selalu kembali setiap hari raya haji. Dan ia, batal ke barat karena sudah
menemukan rumah di dalam hati, rumah pemberian si nenek moyang yang abadi. Ia
berkelana di tanah tuhan yang tidak tanpa batas.
Ia yang pergi malam hari agar
segala jejaknya terhapus air. Begitukah... []
Catatan pembanding dalam Diskusi Sastra PKKH "Lelaki yang Pergi Malam Hari", puisi-puisi Badrul Munir Chair. Selasa, 23 Desember 2014, di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar