Rumah-rumah
menghadap laut seakan membukakan pintu-pintunya kepada maut. Ia selalu duduk
menerawang dari balik jendela kayu, memperhatikan perahu-perahu yang datang dan
berlalu, menatap air laut yang tak henti menghempas dan beradu. Diperhatikannya
ombak menggapai tumpukan karung berisi pasir, penanda batas antara laut dan
perkampungan, hamparan pasir pantai yang ia sebut halaman. Sesekali terdengar
deru mesin perahu yang dipanaskan, penanda keberangkatan, seperti isyarat
ucapan selamat tinggal bagi segenap penghuni perkampungan. Terkadang ia begitu
sangsi, mencemaskan cuaca, angin pancaroba, kabar buruk dari laut,
perahu-perahu datang membawa berita tentang tenggelamnya sebuah kapal. Meski ia
tahu, kini ia tak lagi memiliki seseorang pun yang harus dicemaskan karena
sedang berada di tengah lautan. Tak ada lagi nama lelaki yang ia gumamkan
ketika angin kencang menghempas pintu rumahnya di tepi pantai. Tak ada lagi
mimpi buruk, firasat-firasat ganjil yang kerap mengusik pikirannya ketika
lelaki itu sedang berlayar. Lelaki itu sudah lama tiada, berkubur di kedalaman
samudera.
Tapi
ia masih saja mencemaskan lautan, cuaca dan pertanda yang seringkali masih mengusik
pikiran. Ia akan bergumam sendirian, seakan melontarkan pertanyaan-pertanyaan
ke arah lautan, atau mengutuk lautan yang telah menenggelamkan perahu suaminya
hingga tak pernah muncul lagi ke permukaan. Terkadang suaranya menyerupai
ratapan, atau bahkan seperti lirih tangisan. Dan ia yang kini telah
ditinggalkan, hanya bisa meratapi kesepian.
* * *
Ia
yang kuceritakan di sini adalah Martini. Usianya belum genap dua puluh tahun
ketika ia ditinggal mati suaminya, enam bulan yang lalu. Semenjak kepingan
perahu suaminya ditemukan terdampar di bagian lain pulau ini, tak didapatinya
lagi kabar mengenai keberadaan sang suami. Orang-orang kampung mengatakan
suaminya tak akan pernah kembali, meski hanya sekadar jasad. Mulanya ia masih
merasa punya harapan, tak lantas pasrah dan terus memupuk asa pada kemungkinan keajaiban.
Namun setelah berlalu hitungan bulan, suaminya tak kunjung datang, ia tak lagi
memupuk harapan, menenggelamkannya dalam-dalam. Sejak itulah raut wajahnya yang
ayu lebih sering terlihat sayu, di bawah matanya terdapat cekungan kulit yang
menghitam, seakan menandakan kesedihan yang begitu kelam.
Sepanjang
waktu ia akan duduk di balik jendela itu, jendela rumahnya yang menghadap laut.
Sesekali angin utara menghempas keras ke daun jendela, menyadarkannya yang sedang
larut dalam lamunan. Sesekali ombak besar mampu menyeberangi tumpukan karung
berisi pasir yang menjadi tanggul antara perkampungan dengan batas lautan. Jika
cuaca sedang buruk, ia akan menjauh dari jendela dan menutup semua daun pintu
dan jendela rumahnya yang menghadap utara, menghadap laut lepas. Lalu ia akan
bergumam seperti mengutuk, mengapa rumah ini begitu dekat dengan lautan, begitu
dekatnya dengan kematian.
Barangkali
ia tidak terlalu berlebihan jika menganggap orang-orang yang hidup di tepi laut
menjadi lebih akrab dengan kematian. Kakeknya dulu, merenggang nyawa di atas
perahunya sendiri setelah mulutnya tiba-tiba memuntahkan darah yang mengental.
Awak-awak perahu kakeknya membawanya pulang ke daratan dalam keadaan sudah tak
bernyawa. Kejadian serupa hampir dialami juga oleh ayahnya. Namun nasib ayahnya
sedikit lebih beruntung daripada sang kakek, ayahnya masih sempat dibawa pulang
ke daratan, menghembuskan nafas terakhirnya di rumahnya sendiri disaksikan sang
anak dan istri. Meski ayahnya tak mati di laut, tapi Martini berprasangka lautlah
yang menyebabkan kematian ayahnya. Sedang ibunya memilih menyeberangi lautan
untuk bekerja di negeri tetangga beberapa bulan setelah kematian sang suami,
hendak menyangkal semua nasib buruk yang dialaminya di kampung tepi laut ini.
Dengan dalih untuk menghidupi keluarga, ibunya pergi dan meninggalkan Martini
di rumah itu seorang diri.
Maka
sejak ibunya memutuskan pergi, Martini termenung sepanjang waktu di jendela itu.
Meratapi kesendirian. Menatap lautan lepas yang terhampar di depan rumahnya,
menyaksikan perahu-perahu berseliweran, orang-orang kampung yang berlalu-lalang
di tepi pantai—dengan wajah kehampaan. Jika suasana hatinya sedang baik, ia
akan keluar rumah, mendatangi pabrik terasi milik tetangganya untuk membantu sebagai
pekerja lepas dengan upah yang pas-pasan. Tapi memang bukan uang yang ia cari,
ibunya rutin mengirimkan uang kepadanya untuk biaya hidup setiap bulan, tapi
Martini hanya ingin berbagi, sedikit mengurangi rasa kesepian dengan
mendengarkan cerita-cerita para tetangganya yang bekerja di pabrik terasi itu
sembari menumbuk udang. Mungkin Martini masih terlalu muda untuk menerima
kehilangan demi kehilangan yang ia alami dalam waktu yang berdekatan. Setelah
kakeknya meninggal, ayahnya menyusul mangkat, lalu ibunya memutuskan pergi
mengadu nasib ke negeri seberang.
Kesepian
Martini seakan terobati ketika Marzuki, pemuda kampung yang baru pulang dari
merantau mampu menarik hari Martini. Kehadiran Marzuki benar-benar mampu
menghibur hati Martini yang sedang dilanda sedih dan sepi. Jika hari-hari
sebelum kedatangan Marzuki ia betah berlama-lama termenung di balik jendela,
kini ia lebih suka berbaur dengan orang-orang kampung jika pagi tiba, mendekati
kerumunan orang-orang yang menunggu perahu datang, membantu mengangkut ikan
tangkapan tetangganya yang baru datang ke tempat penampungan ikan yang tak jauh
dari pantai—ia akan mendapatkan beberapa ekor ikan sebagai upah membantu. Tapi
sebenarnya bukan upahlah yang ia cari. Martini diam-diam mencari sosok Marzuki
di antara puluhan orang yang lalu-lalang di pantai, lalu menyapa lelaki itu ketika
mereka berpapasan, dan mereka akan saling melempar senyuman dan saling memberi
isyarat lewat kedipan. Wajag Martini yang semula murung-mendung selama setahun
belakangan mulai tampak berseri.
Wajah
Martini semakin berseri-seri ketika Marzuki datang melamar. Paman Martini
mewakili keluarga menerima lamaran Marzuki, sedangkan ibunya yang semenjak
merantau tak pernah sekalipun pulang hanya memberi restu lewat telepon, bahkan
ibunya tak hadir pada waktu pernikahan Martini. Kata ibunya, majikannya tak
mengizinkan. Meski kebahagiaannya tak lengkap tanpa kehadiran sang ibu, tapi
Martini tak mampu menyembunyikan pancaran kebahagiaan dari wajahnya ketika hari
pernikahan.
Semenjak
menikah, tak terlihat lagi Martini yang murung mencemaskan lautan. Ia tak lagi
suka termenung di balik jendela, melainkan kini lebih sering menyibukkan diri
di dapur belakang, mengasapi ikan-ikan tangkapan sang suami agar bisa bertahan
tidak membusuk selama beberapa hari, membuat kerupuk ikan untuk bekal sang
suami ketika berangkat melaut. Jika tiba hari suaminya akan pulang—biasanya
lima hari berselang sejak hari keberangkatan—Martini akan menunggu di tepi
pantai sebelum matahari terbit, memperhatikan perahu demi perahu yang mendekat
ke pulau. Dan ketika langit mulai terlihat sementara perahu suaminya belum
datang, ia akan cemas, bertanya pada nelayan-nelayan yang baru datang apakah
mereka berpapasan dengan perahu suaminya di tengah lautan. Dan kecemasannya itu
seketika akan berubah menjadi kebahagiaan ketika dilihatnya perahu sang suami
mulai menepi, tak peduli walaupun suaminya membawa pulang sedikit ikan
tangkapan.
* * *
Tapi
untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Belum genap setahun usia
pernikahan mereka, belum lama Martini menuai kebahagiaan dari bibit-bibit
kesedihan yang telah ia alami, Martini harus kembali menerima kabar buruk yang
datangnya dari lautan, badai semalam telah membuat belasan perahu terdampar.
Maka pagi-pagi sekali ia menunggu di tepi pantai bersama ratusan orang yang
juga menunggu kabar, mencemaskan nasib kerabat mereka. Satu demi satu kabar
mereka dapatkan dari perahu nelayan yang berhasil kembali. Terdengar kabar
perihal perahu yang terdampar ke pulau-pulau kecil di sebelah timur pulau ini,
tak sedikit pula nelayan yang membawa kabar tentang karamnya sebuah perahu.
Tapi kabar-kabar buruk itu belum pasti, siapa yang selamat dan siapa yang
bernasib buruk. Mereka hanya bisa menunggu, sambil berdoa mengharapkan
keajaiban.
Sehari
berlalu semenjak datangnya badai, tak ada kabar tentang keberadaan suaminya,
tak ada tanda-tanda suaminya akan kembali. orang-orang kampung cemas menunggu,
Martini jauh lebih cemas lagi. Semenjak kemarin ia tak henti tersedu. Kecemasan
itu semakin memuncak ketika menjelang sore, segerombolan nelayan datang memikul
pecahan perahu Marzuki yang terdampar di bagian lain pulau ini. Bagian lambung
perahu yang sudah tak berbentuk, namun tulisan nama pada papan bagian lambung
perahu itu masih jelas bisa dibaca, nama yang menandakan bahwa pecahan lambung
itu benar-benar adalah perahu Marzuki. Maka jeritan Martini tidak bisa dibendung
lagi, menggema ke seluruh penjuru kampung tepi laut itu.
Setelah
itu, hari-hari hampa Martini kembali dimulai. Selama enam bulan terakhir, ia kembali duduk
menerawang dari balik jendela kayu, memperhatikan perahu-perahu yang datang dan
berlalu dengan tatapan mata hampa, menatap air laut yang tak henti menghempas
dan beradu. Sebagai istri seorang nelayan, ia mengerti, suatu saat nanti akan
datang sebuah kabar buruk dari laut, sesuatu pasti akan terjadi pada suaminya.
Namun ia tak menyangka kabar buruk itu akan datang secepat ini, ketika usia
pernikahan emreka belum genap satu tahun. Ia juga tak pernah membayangkan jika
nasib suaminya jauh lebih buruk daripada yang menimpa kekek dan ayahnya.
Suaminya meninggal dengan cara yang lebih mengenaskan, mati digulung badai.
Suaminya mati tak berkubur, jasadnya tak pernah ditemukan.
Seringkali
Martini membayangkan ia menabur bunga di
makam suaminya, berdoa
di samping pusaranya,
berziarah mengunjungi makam suaminya itu sebagaimana lumrahnya keluarga yang
ditinggalkan. Nyekar setiap
menjelang lebaran—membersihkan makam suaminya dari tumbuhan dan rumput liar di
sekitar makam, atau mengecat ulang batu nisannya ketika warnanya mulai memudar.
Semua itu tidak bisa Martini lakukan, sebab ia tak pernah tahu di mana jasad
suaminya kini berada. Jasad suaminya mungkin tak akan pernah ditemukan. Ia
harus membuang jauh keinginannya untuk ziarah ke makam suaminya jika
sewaktu-waktu
ketika ia sedang rindu, ketika ia sedang ingin mengadu tentang buruk nasibnya.
Maka
sepanjang hari, sepanjang waktu, ia meratap di balik jendela, sembari menyesali
hidupnya yang begitu akrab dengan lautan, rumahnya yang tak berjarak dengan
lautan—ah, begitu dekat dengan kematian. Jika ia mendengar mesin perahu
dinyalakan, yang baginya terdengar seperti isyarat ucapan selamat tinggal bagi
segenap penghuni perkampungan, ia menjadi begitu sangsi, begitu bimbang.
Firasatnya selalu mengatakan, akan ada lagi seseorang yang akan dipanggil oleh
lautan. Jika kecemasannya sudah semakin menjadi, maka ia akan mengambil bunga
yang telah ia persiapkan, melarungkannya ke lautan lepas, lautan yang menjadi
kuburan suaminya, lautan yang menjadi sumber dan muara sedih nasibnya. Ia
lepaskan bunga-bunga ke permukaan air, dan ombak akan membawanya, seakan-akan
menabur bunga ke sekujur pusara suaminya.
Suatu
senja, ketika ia sedang melarungkan bunga-bunga ke air laut, meratapi nasib
buruknya sembari membisikkan doa demi doa lewat tangkai-tangkai bunga, ia tak
menyadari air laut telah menggenangi kakinya, menggenangi pinggangnya, lalu
tiba-tiba ombak datang semakin tinggi, semakin tinggi, menenggelamkan tubuhnya.
[ ]
Yogyakarta, 2013.Lukisan oleh: Henri Fantin Latour, Bathers by The Sea.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar