Selasa, 12 Oktober 2010

Lelaki Penunggu Candi

Cerpen Badrul Munir Chair (Padang Ekspress, 10 Oktober 2010 dan Radar Surabaya, 20 November 2011)




Purnama, bulat selaksa bola menggantung di atas langit desa. Bias cahayanya menelusup, menyorot daun-daun, reranting berduri. Di kebun salak milik Peno, pucuk-pucuk daun bergerak diayun angin. Suara anjing mengonggong, auman serigala dari balik bukit, kirik jangkrik, derik ular yang melilit di atas dahan.

Jam setengah delapan malam, suara karawitan anak-anak kecil yang berlatih di balai desa terdengar samar-samar, dibawa angin menerobos rimbun daun-daun kebun salak, menyapa telinga lelaki yang sedang menyendiri, duduk di atas sebuah batu kecil di lahan kosong tengah kebun, menunggu. Lelaki itu tampak tak tenang, menoleh kiri-kanan, bukan karena usikan nyamuk, tetapi gelisah lantaran teringat mimpinya tadi malam, mimpi yang sudah terulang hingga tujuh kali, mimpi yang sama, tentang sebuah petunjuk, bahwa di dalam tanah di bawah kebun salak milik keluarganya, terdapat sebuah candi. Ia tak sepenuhnya percaya, ingin segera membuktikannya.

Lelaki itu mendongakkan kepala, mengarahkan pandangannya ke atas langit, cahaya purnama sebulat bola itu kian menggila, bergerak diarak angin, bergeser dari atas kebun salak warisan nenek moyangnya, purnama yang gelisah, bergerak semakin ke utara. Seperti kegundahan hati Peno, memegang cangkul, hendak menggali tanah yang sedang diinjaknya, ia terlihat gugup, gemetar, merasakan hawa yang berbeda, hawa yang mengusik. Ia semakin tak tenang ketika teringat mimpinya, bahwa di dalam tanah yang sedang diinjaknya kini, terdapat sebuah candi. Aroma mistis pun membaluri sekujur tubuhnya. Candi selalu penuh misteri, yang sangat mungkin dihuni makhluk-makhluk dunia lain. Peno merinding, ia berusaha tenang, namun kegelisahannya yang berlebih memaksa ia mengurungkan niatnya, bergegas meninggalkan kebun salak itu menuju rumahnya.

Cangkul diletakkan begitu saja di dapur belakang rumahnya, dapur gedek tempat segala perkakas, sekaligus tempat istrinya memasak, tungku berderet tak rapi, wajan dan panci digantung pada sebilah bambu di langit-langit. Ah, sudah lama ia tak mencium aroma masakan istrinya, semenjak peristiwa seminggu lalu, hari yang membuat hidupnya kacau berantakan.

Peno sungguh tak habis pikir, bagaimana mungkin Surti, istri yang telah memberikannya satu orang anak, memilih meninggalkannya hanya karena masalah tanah. Peno menguap, mengusap kedua matanya yang nanar, tiba-tiba ia teringat istrinya, namun ia tak ingin mengingat peristiwa menyakitkan itu, ia segera meninggalkan dapur.
Ya, seminggu lalu, sore hari, ketika itu Peno baru saja pulang dari rumah Lastri, adik perempuannya yang tinggal bersama suaminya di desa seberang. Sengaja, waktu itu ia tidak langsung menuju rumahnya, mampir sejenak di warung tegalan Mak Sareh, hendak memesan kopi, hingga tak sengaja ia mendengar percakapan yang membuat panas telinganya.

“Kabarnya, kebun salak milik kang Peno akan dijual murah.”

“Wah, yang bener, kang?.”

“Iya, kabarnya begitu, untuk biaya pencalonan mertuanya menjadi Lurah.”

Peno memperhatikan percakapan itu, ia mengendap, ingin tahu, suara dari bilik warung belakang. Peno mengintip dari ruas-ruas bambu, ia lihat dua orang yang sedang bercakap, ternyata suara itu berasal dari mulut kang Rahmat dan Rojali, kuli angkut di desanya. Peno langsung pulang, mengurungkan niatnya untuk memesan kopi.
Ia dapati Surti tidak ada di rumah, Ia tunggui Surti, mungkin pergi ke rumah tetangganya. Namun sampai matahari tenggelam, Surti yang ditunggunya tak kunjung datang, ia terus menunggu hingga malam. Ia berpikir, mungkin Surti berada di rumah ibunya dan akan menginap di sana, tapi tak seperti biasanya, Surti tidak berpamitan sebelumnya. Akhirnya Peno maklum, ia bergegas tidur, sendiri. Dalam tidurnya ia bermimpi, tentang adanya candi di bawah kebun salaknya. Mimpi yang akan terulang hingga tujuh malam berikutnya.

Seorang lelaki mengenakan topi tekes menghampirinya, topi mirip blangkon Jawa, tapi tanpa tonjolan di belakang kepala. Badan bagian atas lelaki itu tidak mengenakan pakaian, bertelanjang dada, sedangkan bagian bawahnya memakai kain yang dilipat-lipat hingga menutupi paha, membawa keris yang diselipkan di bagian belakang pinggang. Lelaki itu memperkenalkan dirinya, Raden Inu Kertapati, memberinya petunjuk tentang adanya sebuah candi di bawah kebun salaknya.

“Di bawah kebun salakmu ada candi, candi yang kubuat untuk meminang Dewi Sekartaji, jagalah candi itu jika kau tak ingin kehilangan istrimu.”

Peno terjaga dari tidurnya, ia teringat akan mimpinya, pertemuan dengan Raden Inu Kertapati, nama yang tak asing baginya, kakeknya dahulu pernah bercerita, tentang kepahlawanan seorang lelaki bernama Raden Inu Kertapati atau lebih dikenal dengan Panji Asmara Bangun, juga cerita tentang cintanya kepada Dewi Sekartaji atau Galuh Candra Kirana. Peno berpikir, apakah kisah kedua tokoh itu adalah kisah nyata? Legenda yang tak hanya sekedar dongeng pengantar tidur, tak sekedar cerita yang dikarang orang-orang tua di desanya.

Peno juga teringat akan kata-kata Raden Inu Kertapati dalam mimpinya tadi, “jagalah candi itu jika kau tak ingin kehilangan istrimu.” Ia benar-benar tak paham, kemudian ia teringat dengan istrinya, yang pergi tanpa berpamitan dan sampai saat ini belum pulang. Peno jadi gelisah, khawatir akan terjadi sesuatu buruk menimpa istrinya. Peno bergegas mandi, kemudian menuju rumah mertuanya.
“Surti ada di dalam.”

Peno disambut dengan nada sinis ibu mertuanya, sejak dulu bapak-ibu Surti memang tidak merestui hubungan mereka. Namun ia lega, karena berarti Surti baik-baik saja.

“Maaf kang, Surti tidak pamit semalam, Surti sebenarnya ingin pulang, tapi dilarang sama bapak.” Surti berkata sambil menunduk, segan menatap wajah suaminya.

“Surti akan tetap di sini, tak boleh pulang sampai pemilihan Lurah selesai,” bapak mertua Peno memotong dangan nada agak tinggi, “Oiya, bagaimana dengan kebun salakmu itu, apakah sudah laku?.”

Peno sungguh kaget mendengar pertanyaan mertuanya, ia teringat percakapan kang Rahmat dan Rojali di warung Mak Sareh kemarin. Gosip tentang penjualan tanah, gosip tentang kebun salaknya yang akan dijual murah.

“Kebun salak saya tidak akan dijual, pak, itu hanya isu, lagipula itu warisan dari Almarhum bapak saya, kebun itu juga hak milik adik saya Lastri.”

“Lho, apa Surti tidak bilang sama kamu?, saya butuh biaya untuk pencalonan Lurah, jalan satu-satunya, ya, dengan menjual kebun salakmu itu.”

“Tapi pak…”

“Tidak ada tapi-tapian, jual kebun salakmu, atau istrimu tidak akan pulang ke rumahmu, selamanya.”

”Bagaimana mungkin, pak. Cobalah Bapak sedikit berpikir. Pernikahan saya dengan Surti, tak ada hubungannya dengan perihal penjualan tanah warisan, apalagi dengan pencalonan Bapak jadi ketua Lurah. Hubungan kami berdua tak bisa begitu saja bapak campuri. Kami tak ada masalah. Kok, tiba-tiba...”

”Kamu telah gagal menjadi suami Surti.”

Peno terkejut mendengar ucapan mertuanya, ucapan spontan yang keluar karena amarah. Ia perhatikan wajah mertuanya, mimik yang sama persis dengan tiga tahun lalu, ketika ia datang melamar Surti, mimik yang penuh dengan rasa benci. Ia dengar suara tangisan anaknya, dalam dekapan ibu mertuanya. Ia lihat istrinya, hanya diam, menunduk.

Peno pulang dari rumah mertuanya dengan perasaan emosi yang membuncah. Ia sungguh tak menyangka dengan sikap mertuanya, sangat menyayangkan peristiwa yang baru saja menimpanya, musibah yang datang tiba-tiba. Dibenaknya terus terngiang perkataan yang diucapkan mertuanya. Ia benar-benar tak habis pikir. Nasib memang tak bisa ditimbang, jodoh pun tak bisa ditebak kapan datang dan pulang. Ia juga tak habis pikir dengan sikap istrinya, mengapa perempuan Jawa selalu manut, selalu nurut?.

***

Matahari, bulat selaksa bola dengan warna jingga, hendak menenggelamkan diri di barat-daya langit desa. Bias cahayanya menelusup, menyorot daun-daun, reranting berduri. Senja yang sempurna. Di kebun salak miliknya, Peno sedang menimbang, memikirkan jalan keluar dari segala masalah yang menghinggapinya kini.

Peno duduk menyendiri, di atas sebuah batu kecil di lahan kosong antara pohon ke pohon, merenung. Ia tampak gelisah, mendongak ke langit, dilihatnya arak-arakan awan terus bergerak, matahari yang terus meredup dan menepi di ufuk barat, mengantarkannya pada ingatan yang menyakitkan. Pada Surti, istrinya yang telah raib. Pada mertuanya, yang belum lama ini telah memisahkan dirinya dengan anak istrinya. Pada bapak-ibunya, yang mewariskan kebun salak itu kepadanya dan kepada Lastri, adik perempuannya.

Kebun salak itu, kebun yang sangat bersejarah baginya dan bagi keluarganya, tumpuan hidup satu-satunya. Selain itu, keluarganya tak punya apa-apa. Dahulu, Mbah kakung menabung dari hasil menarik delman di kota, hingga akhirnya si Mbah menjual delmannya karena sudah tua, uangnya digunakan untuk membeli kebun salak itu, tentu saja ditambah dengan uang tabungannya selama bertahun-tahun –begitulah bapaknya sering bercerita-. Lalu, kebun salak itu diwariskan kepada bapaknya ketika si Mbah meninggal, dan diwariskan kepadanya dan adik perempuannya ketika bapaknya meninggal empat tahun lalu.

Beberapa hari ini, beberapa orang menawar kebun salaknya, dengan harga yang sangat menggiurkan. Wajar saja, rata-rata kebun salak di desanya sudah berbunga, tak lama lagi musim panen, begitupun kebun salaknya, mungkin hanya menunggu empat hingga lima minggu lagi akan berbuah.

Andai saja ia tidak ingat dengan mimpi aneh itu, tentu ia sudah menjualnya, dengan harga berapapun, demi istrinya Surti, bunga desa yang dahulu dengan susah-payah ia dapatkan, ia perebutkan dengan pemuda-pemuda desa lainnya. Ia berniat akan meminta maaf kepada Lastri, akan meminta maaf di pusara bapak-ibunya karena telah gagal mempertahankan tanah warisan si Mbah. Tetapi, mimpi itu…

Ah, Mengapa mimpinya begitu paradoks?, bukankah mertuanya mengancam, jika ia tidak menjual kebun salaknya, ia akan kehilangan istrinya?, tetapi, dengan menjualnya, berarti ia telah gagal menjaga candi yang tertimbun di bawah kebun salaknya, atau dengan kata lain, ia juga akan tetap kehilangan istrinya –seperti ancaman Raden Inu Kertapati yang ia temui dalam mimpi-. Ah, peno sungguh bingung, gelisah. Jalan mana yang akan ditempuhnya? Menjual tanah, atau menjaga candi, resikonya sama: ia akan kehilangan Surti, istri yang sangat ia cintai dengan sepenuh hati.

Tetapi masalahnya, ancaman siapakah yang akan lebih ia takuti, ancaman mertuanya atau ancaman Raden Inu Kertapati?. Ingin sekali Peno memungkiri kebenaran mimpi itu, ingin sekali ia tak percaya. Tetapi, mimpi itu datang berulang-ulang, hingga tujuh malam, yang berarti sebuah petunjuk, sebuah ilham, mimpi yang datang lebih dari dua kali adalah petunjuk yang datang dari Tuhan –begitu kata guru mengajinya dulu-. Dan ancaman Raden Inu Kertapati, bukan tidak mungkin akan menjadi kenyataan. Peno sungguh takut, gelisah, bingung.

Setelah berpikir beberapa lama, Peno meneguhkan hati, ia tak akan pernah menjual kebun salak itu, kepada siapapun, dengan harga berapapun. Keyakinannya akan mimpi yang terus berulang hingga tujuh kali, semakin membulatkan niatnya. Ia berbisik dalam hati;

Demi cinta Raden Inu Kertapati kepada Dewi Sekartaji, demi cintaku kepada Surti, demi Almarhum Mbah kakung dan bapak-ibu, demi Lastri, aku tak akan menjual kebun salak ini, aku akan menjaga candi ini, dengan segenap cintaku, dengan segenap nyawaku.

(Sumenep, Juni 2010)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Gayaaaa. . .
punya bLog Dwe

tuan rumah mengatakan...

gak gaya gak rame cooooyyyyy........