Minggu, 17 November 2013

Pelabuhan, Bertahun-tahun Kemudian


Akhirnya aku kembali ke titik pijakan yang dulu pernah mengantarkanku ke rimba pengembaraan: pelabuhan! Ya, pelabuhan. Pintu gerbang bagi perjalanan panjang yang kelak kunamai perantauan, perantauan yang hingga hari ini tak pernah bisa kutamatkan—bahkan mungkin tak akan pernah tamat, sebab aku telah mengemban kutukan sebagai orang urban: pantang pulang sebelum hayat lepas dari badan, dan baru benar-benar kembali ke tanah kelahiran untuk menetap selamanya—setelah usai dikuburkan.
Pelabuhan yang kuceritakan di sini adalah Pelabuhan Kamal (Bangkalan-Madura), dan satu pelabuhan lagi yang tak bisa dilepaskan dari Pelabuhan Kamal, yaitu Pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya). Setiap kalian menyebut kata “pelabuhan”, maka bayanganku tidak akan jauh dari bayangan akan dua pelabuhan itu, pelabuhan yang bagi orang-orang Madura adalah pintu gerbang pertama menuju rimba pengembaraan, menuju kota-kota rantauan.
Setelah kedua kaki mulai memasuki kapal penyeberangan, setelah klakson kapal meraung-raung dan kapal mulai diberangkatkan, maka tibalah saatnya untuk mengucapkan selamat tinggal pada tanah kelahiran. Lalu di depan, terhampar sebuah kota dengan gedung-gedung tinggi menjulang—samar-samar terlihat dari atas kapal, sebuah gambaran yang bertolak belakang jika kita menoleh ke belakang: lekukan garis pulau dengan pohonan rimbun di sepanjang tepiannya, itulah Pulau Madura. Sedangkan yang terhampar di hadapan, gedung-gedung tinggi menjulang, lampu-lampu yang berkerlipan dan terang nyalanya ketika hari mulai petang, adalah Surabaya, adalah Pulau Jawa.
Maka selamat tinggal, tanah kelahiran! Selamat datang: kota rantauan!
* * *
Pertama kali aku merasakan suasana bising (dan asing) pelabuhan, adalah ketika aku baru tegak berjalan. Tapi pengalaman pertama itu begitu lekat dalam ingatan. Suatu hari, keluarga kami harus mengantar nenekku untuk berobat ke sebuah rumah sakit di Kabupaten Malang, yang berarti harus menyeberang pulau. Ketika hampir sampai di pelabuhan, sekitar empat jam perjalanan dari rumah kami yang terletak di ujung timur pulau, aku dibangunkan bapak, beliau memberi tahu bahwa pelabuhan sudah dekat. Mobil-mobil, truk, bus, dan puluhan bahkan mungkin ratusan kendaraan lainnya terlihat berdesakan memasuki gerbang pelabuhan. Mobil kami harus antri selama berjam-jam untuk memasuki dermaga. Dari kejauhan, dari dalam mobil yang sesak oleh keluarga kami yang akan mengantar nenek berobat, aku menatap kapal-kapal di pelabuhan dengan penuh ketakjuban, kapal-kapal yang jauh berbeda dengan perahu-perahu nelayan yang sering kulihat di sungai dekat rumah ketika sedang dilabuhkan, perbedaan yang sangat jauh baik dari segi bentuk maupun ukuran.
Akhirnya, berjam-jam setelah antri, mobil kami mulai berjalan pelan memasuki kapal penyeberangan. Ketika mobil mulai memasuki kapal, aku mendapatkan kebahagiaan tak terkira. Akhirnya terkabulkan juga impianku untuk menaiki kapal besar. “Nanti kita turun dari mobil, naik ke lantai atas kapal biar bisa melihat kapal berjalan dengan jelas,” ucap paman. Saat itu, akulah satu-satunya anak kecil yang ikut dalam mobil itu. dan keluarga besarku yang ikut dalam mobil itu seakan-akan berlomba-lomba ingin mengenalkan hal-hal baru kepadaku.
Namun ketika mobil kami benar-benar telah masuk ke dalam kapal, ketika mesin mobil sudah dimatikan. Kami didera gerah luar biasa, kami benar-benar merasa kepanasan. Aku tak pernah merasakan hawa panas semacam ini sebelumnya. Aku mulai merengek-rengek karena kepanasan. Kapal sudah tampak penuh, kendaraan-kendaraan lain berhimpitan di depan-belakang-kiri-kanan mobil kami. Dan sialnya, jarak antar kendaraan yang sangat dekat membuat kami tak bisa membuka pintu mobil. Niatan awal untuk naik ke lantai atas kapal sepertinya harus diurungkan. Selama beberapa waktu kami benar-benar merasa seperti terpanggang di dalam mobil. Beruntung, paman mempunyai ide brilian: kami membuka jendela mobil dan akan keluar dari situ. Paman keluar terlebih dahulu, entah bagaimana cara beliau menciutkan badan sehingga bisa keluar dari celas jendela, kemudian, barulah aku keluar disambut gendongan paman yang duduk di atas kap mobil orang.
Di lantai atas kapal, setelah lepas dari hawa panas yang sangat menggerahkan, akhirnya aku bisa melihat kapal ini berjalan dari dekat dek. Aku harus memegang erat-erat tangan paman karena takut jatuh keluar pagar. Pamanku menunjuk ke arah patung yang terlihat samar-samar di pulau seberang. Patung seorang jenderal yang menunjuk ke arah laut.  Itulah patung yang kelak kuketahui namanya “Jalesveva Jayamahe”, terletak di tepi Pelabuhan Tanjung Perak, sekitar 30-60 menit perjalanan kapal dari Pelabuhan Kamal-Madura.
Pengalaman pertama ke pelabuhan, lalu naik kapal penyeberangan, bagiku adalah pengalaman menyedihkan sekaligus pengalaman menggembirakan.
* * *
Tapi ada pengalaman di pelabuhan yang lebih menyedihkan lagi dibandingkan pengalaman masa kecil itu. Kejadiannya sekitar tahun 2006. Ketika itu bulan ramadhan, dan lebaran rasanya kurang dari lima hari lagi. Aku terpaksa mudik agak terlambat karena harus mengikuti kegiatan di pesantren yang tidak memperbolehkan santrinya pulang sebelum khatam. Singkat cerita, akhirnya aku pun bisa mudik di hari-hari terakhir menjelang lebaran.
Dari Jombang berangkat pagi, tiba di kawasan Pelabuhan Tanjung Perak siang hari ketika matahari sedang terik-teriknya. Di sana, aku mendapatkan kabar buruk bahwa jalan masuk ke pelabuhan sangat macet, antrian kendaraan hingga lima kilometer jauhnya. Sialnya, bus yang kutumpangi berada di deretan kendaraan yang antri di bagian belakang, atau lima kilometer dari gerbang pelabuhan. Alamak! Aku langsung berinisiatif turun dari bus, bukan untuk pindah ke bus lain, tapi mencari wartel untuk mengabarkan ke orang-orang rumah bahwa antrian di pelabuhan sepanjang lima kilometer! Entah kapan bus yang kutumpangi akan memasuki kapal penyeberangan. Yang jelas, aku harus pasrah menunggu karena ongkos sudah kubayar lunas, dan tak mungkin aku pindah ke bus lain yang antri di bagian depan karena uang di dompet sudah sangat menipis.
Mungkin kalian mengira bus yang kutumpangi mulai masuk kapal pada malam hari atau dini har,i atau paling apes besok paginya. Tidak, kawan, tidak! Busku masuk ke kapal penyeberangan baru keesokan sorenya, yang berarti sekitar 28 jam aku duduk menunggu di atas bus itu dengan segenap penderitaan: bingung apa yang harus kulakukan, dalam keadaan sedang berpuasa ramadhan, berbuka puasa hanya buah pepaya karena pedagang yang lewat adanya cuma itu, makan lagi sekitar jam sepuluh malam itupun dirapel dengan makan sahur, dingin yang menyayat tulang di malam hari dan panas yang terasa di ubun-ubun ketika siang hari, badan yang terasa pegal karena duduk terus-terusan. Sepanjang waktu aku merenungi nasib: betapa sunyinya hidup sebagai seorang perantauan. Betapa malang, ibu, alangkah menyedihkan!
* * *
Namun betapapun banyak pengalaman tidak enak yang kualami di pelabuhan, seringkali aku merasa rindu pada pelabuhan. Setelah Jembatan Suramadu dibangun dan mulai dioperasikan (kalau tidak salah ingat) tahun 2009, aku jadi jarang pulang lewat pelabuhan naik kapal penyeberangan.
Terkadang, aku rindu saat-saat menikmati secangkir kopi yang dijajakan pedagang asongan di atas kapal pada dini hari, menikmati dinginnya udara di atas kapal sambil melihat deretan lampu-lampu kota sekitar pelabuhan dengan menyandarkan tangan ke dek kapal, membiarkan angin selat menghembus tubuhku perlahan-lahan. Seringkali aku mendapatkan teman bicara yang juga bersandar pada dek kapal, saling berkenalan lalu membicarakan apa saja di bawah langit malam, di atas kapal yang sedang melaju. Tapi lebih sering aku berdiri sendirian, merangkai ingatan pada kota-kota yang sudah dan akan kujelang, dan kota-kota yang telah kutinggalkan.
Rasa kerinduan akan pelabuhan itu benar-benar terbayar lunas ketika tahun 2011 lalu aku harus kembali pulang lewat pelabuhan, setelah dua tahun alpa dan lebih memilih lewat Jembatan Suramadu. Ketika itu salah seorang pamanku menawarkan tumpangan dari Kamal ke Sumenep, sehingga aku harus pulang lewat pelabuhan, karena Jembatan Suramadu cukup jauh dari Kamal. Akhirnya jadilah aku pulang lewat pelabuhan lagi, naik kapal penyeberangan lagi. Dan kali ini, bukan hanya sekali jalan Tanjung Perak-Kamal, namun tiga kali pemberangkatan, Tanjung Perak-Kamal-Tanjung Perak-Kamal! Ceritanya begini:
Ketika aku sedang berada di atas kapal, paman mengirim pesan bahwa mobilnya masih terjebak macet di Pasuruan, dan kemungkinan akan tiba di pelabuhan sekitar empat jaman lagi. Karena bingung harus menunggu di mana sesampai di Kamal nanti, aku memilih tidak turun dari kapal. Ketika orang-orang mulai meninggalkan kapal, aku tak ikut serta, tetap tinggal di kapal hingga kapal kembali penuh dan berangkat ke Tanjung Perak lagi. setibanya di Tanjung Perak pun begitu, ketika orang-orang berduyun turun, aku tetap tinggal di atas kapal menunggu pemberangkatan selanjutnya ke Kamal lagi. Begitulah, akhirnya kerinduanku akan pelabuhan dan naik kapal penyeberangan benar-benar kutuntaskan, bahkan kubayar lebih!
Selama sekitar empat jam di atas kapal, aku lebih banyak melamun dan merenung. Jika sedang dalam perjalanan, aku memanglah pengelamun yang akut. Yang paling menyita pikiranku saat itu adalah keadaan pelabuhan dan kapal penyeberangan yang jauh berubah setelah adanya Jembatan Suramadu. Kapal jauh lebih sepi, pedagang asongan jauh lebih sepi, antrian tak sepanjang tahun-tahun sebelumnya. Entah berapa pedagang asongan yang memilih merantau ke luar negeri karena pembeli semakin sepi, duh. Di saat-saat merenung seperti itulah lahir bait puisi ini:
Selepas siang. Air tenang menyunggi kapal-kapal/ merapat ke pintu gerbang pulau kenangan;/ pulau yang diapungkan tumbal-tumbal/ jembatan penyeberangan .... *
* * *
Bertahun-tahun kemudian, setelah bayangan tentang pelabuhan perlahan-lahan mulai hilang dari ingatan, aku kembali lagi ke titik pijakan yang dulu pernah mengantarkanku ke rimba pengembaraan: pelabuhan! Ya, pelabuhan. Aku kembali ke pelabuhan ini semata karena inseden kecelakaan.
Bulan juli (2013) lalu aku berniat mudik ke kampung halaman. Perjalanan mulanya berjalan normal. Aku tak membayangkan akan lewat pelabuhan karena bus yang kutumpangi biasanya selalu lewat Jembatan Suramadu. Namun setiba di daerah Surabaya Timur, bus yang kutumpangi pecah ban, dan terjadi kerusakan di mesinnya. Ketika itu adzan subuh baru berkumandang. Kondektur bus berusaha menanggulangi insiden itu, namun berjam-jam kemudian, hingga matahari mulai terbit, bus tak juga berhasil diberangkatkan. Akhirnya kondektur memutuskan para penumpang dioper ke bus lain, dan bus baru yang kutumpangi itu harus lewat di pelabuhan karena pada jam kantor (jam 6 pagi sampai jam 6 sore) Jembatan Suramadu harus steril dari kendaraan umum.
Begitulah, akhirnya aku kembali ke pelabuhan, dan harus mendapati sejumlah kegetiran: tak ada lagi antrian kendaraan yang dulu berkilo-kilo meter jauhnya, pedagang asongan yang biasanya melompat ke dalam bus menyambut di pintu gerbang pelabuhan hanya tinggal beberapa orang. Sesampai di dekat dermaga kulihat hanya ada dua truk dan satu mobil yang berada dalam antrian, juga tentu saja bus yang kutumpangi di antrian paling belakang, pada barisan keempat. Dan yang lebih membuatku merasa takjub bukan kepalang: ketika aku turun dari bus untuk membeli pulsa di kios yang berderet di dalam area pelabuhan, aku mendapati busku sudah masuk ke dalam kapal. Alamak! Tak sampai lima menit aku keluar untuk membeli pulsa, bus sudah masuk ke dalam kapal. Jika dibandingkan dengan pengalamanku antri selama sekitar 28 jam, maka betapa ajaibnya kejadian ini. Aku sampai harus berlari menyusul ke dalam kapal.
Di antara deretan kendaraan yang kian lengang di dalam kapal, dan segelintir pedagang asongan yang lesu menyadari betapa sedikitnya dagangan yang terjual. Entah kenapa aku merasa kehilangan, akan sesuatu yang tak benar-benar kuketahui.
Ah, pelabuhan dimana-mana sama/ menawarkan kehilangan dan rasa hampa .... ** []
/Yogyakarta, November 2013

* Dari puisi Badrul Munir Chair, “Selat Madura”. Dalam “Narasi Tembuni; Kumpulan Puisi Terbaik KSI Award 2012”, (Jakarta: Komunitas Sastra Indonesia & Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, 2012). Hlm. 16-17.
** Dari puisi Raudal Tanjung Banua, “Pelabuhan Dumai”. Majalah Sastra Horison, Edisi IX 2007. Hlm. 16.

Tidak ada komentar: