Selasa, 18 November 2014

Perempuan-perempuan dari Balik Bukit

Cerpen Badrul Munir Chair (Media Indonesia, 12 Januari 2014)



Perempuan-perempuan dari balik bukit itu selalu berjalan jauh menelusuri jalan setapak dan semak-semak perbukitan sebelum waktu subuh. Tanpa alas kaki langkah mereka terus melaju memburu waktu, menerobos rimbun hutan dan persawahan yang masih gelap, menyunggi kerinjing dan karung penuh sayuran dan buah-buahan yang mereka petik dari perkebunan.
Mereka harus sampai di jalan raya sebelum pagi tiba. Dengan beban berat di kepala, mereka sesekali terseok meraba jalan yang lembab oleh embun dengan telapak kakinya. Patahan ranting pohonan yang tumbang di sepanjang jalan tak jarang membuat mereka tersandung.
Tiba di jalan raya yang masih sepi oleh manusia, perempuan-perempuan dari balik bukit itu mulai mengeluarkan bermacam-macam buah dan sayuran dari dalam kerinjing dan karung, merebahkannya depan emperan toko yang berderet di sepanjang jalan. Mereka mulai membentuk barisan dan menata barang-barang dagangan mereka sebegitu rupa di tepi jalan raya. Di depan emperen deretan toko sepanjang tepi ruas jalan raya kecamatan itulah mereka biasa berjualan.
Ketika pagi menjelang dan hari mulai terang, jalan raya yang dijadikan pasar dadakan itu mulai ramai. Pedagang-pedagang ikan mulai berdatangan, mengambil tempat di seberang jalan, berbagi petak dengan penjual sayuran dan buah-buahan yang datang dari balik bukit.
Hingga siang, mereka masih berjualan di tepi jalan. Menjelang sore mereka akan beranjak pulang, dengan sisa-sisa dagangan yang tak terjual. Atau jika dagangan mereka terjual habis, mereka tetap pulang dengan membawa berat beban, kerinjing dan karung yang semula berisi buah dan sayuran mereka isi dengan kebutuhan pokok—seperti gula, mie instan, dan ikan laut—untuk mereka bawa pulang.
Dulu, perempuan-perempuan dari balik bukit itu berjualan di pasar yang terletak di dekat pantai, sekitar dua kilometer lagi ke arah utara jalan raya. Namun beberapa tahun belakangan, ketika pedagang-pedagang ikan mulai membawa ikan-ikan mereka ke tepi jalan raya untuk menunggu tengkulak yang akan mengangkut ikan-ikan mereka ke kota, perempuan-perempuan dari balik bukit itu ikut singgah menunggu tengkulak di tepi jalan raya, berharap dagangan-dagangan mereka juga diborong untuk dijual ke kota. Jika mobil-mobil para tengkulak itu telah beranjak meninggalkan ruas jalan kecamatan menuju kota, mereka pun ikut berlalu, beranjak ke pasar dekat pantai.
Mulanya perempuan-perempuan dari balik bukit itu hanya singgah untuk menawarkan sayuran dan buah-buahan kepada tengkulak ikan meski hasil penjualan mereka tak seberapa, sebab tengkulak itu selalu meminta potongan harga. Tapi ketika bertambah tahun semakin banyak tengkulak yang membeli sayuran pada mereka, mereka tak lagi melanjutkan berjualan di pasar dekat pantai, mereka lebih memilih berjualan di tepi jalan raya.
Maka lambat laun jalan raya ini tak sekedar menjadi tempat singgah, melainkan menjadi pasar dadakan tempat mereka berjualan. Penduduk tepi pantai pun akhirnya mengalah, terpaksa harus ke tepi jalan raya jika ingin membeli sayuran dan buah-buahan segar untuk bahan masakan.
* * *
Perempuan-perempuan penjual sayuran dan buah-buahan dari balik bukit itu jumlahnya puluhan. Konon mereka tinggal di kampung yang berdekatan. Jika musim panen tiba, terutama jika musim panen tembakau, mereka membawa serta anak-anak dan suami mereka untuk membantu mengangkut hasil bumi yang melimpah dari balik bukit ke jalan raya. Mereka beriringan menempuh perjalanan jauh. Maka jadilah rombongan orang-orang dari balik bukit itu seperti kafilah yang hijrah ke kota, menyunggi kerinjing dan karung-karung goni penuh isi.
Barangkali musim panen adalah berkah sekaligus waktu rehat bagi mereka. Melimpahnya uang penjualan hasil panen mereka gunakan untuk berbelanja. Mereka akan membanjiri toko-toko yang berderet di tepi jalan itu untuk membeli apa saja yang bisa mereka beli, memborong kebutuhan-kebutuhan pokok sehari-hari. Mereka juga mendatangi toko meubel untuk membeli kursi atau lemari, memborong baju di toko-toko pakaian, tak lupa pula mereka membeli perhiasan dan emas sebagai tabungan.
Maka musim panen tak hanya menjadi berkah bagi orang-orang dari balik bukit itu. Kami, penduduk desa ini juga mendapatkan berkah dari mereka. Tak hanya karena mereka memborong berbagai macam kebutuhan di toko-toko kami, ketika musim panen mereka juga begitu baik hati. Harga sayuran dan buah-buahan sengaja mereka turunkan, bahkan tak jarang mereka membagi-bagikan hasil panen pada kami secara cuma-cuma. Mereka memberi kami buah mangga, sarikaya, sirsak, dan jagung yang tidak bisa dikatakan sedikit jumlahnya. “Kami sudah untung besar dari menjual tembakau,” begitulah kata mereka.
Tetapi ketika kemarau panjang dan hasil bumi tak begitu melimpah, perempuan-perempuan dari balik bukit itu datang dengan wajah lesu. Kerinjing dan karung yang mereka bawa tak sebanyak biasanya. Tak jarang tingkah mereka tak lagi ramah kepada pembeli, menaikkan harga sayur-mayur dan buah-buahan sesuka hati.
“Ladang dan kebun kami kekeringan.”
“Banyak sayur dan buah yang gagal panen.”
“Cari air sekarang sulit, sungai-sungai mulai kering.”
Begitulah alasan-alasan mereka ketika hendak menaikkan harga. Meski alasan mereka cukup masuk akal, tetapi tetap saja kami tidak bisa menerimanya. Kami terus berusaha menawar hingga harga yang paling rendah.
“Tolong jangan ditawar lagi, Bu. Kalau jadi beli silahkan ambil, kami tak mungkin lagi mengurangi harganya.”
Jika harga sayuran dan buah-buahan yang mereka tawarkan sudah demikian tinggi, orang-orang desa kami harus pandai memutar akal. Yang berprofesi sebagai nelayan dan penjual ikan juga akan menaikkan harga hasil lautnya untuk mengimbangi kenaikan harga sayuran dan buah-buahan. Sedangkan yang mempunyai toko juga akan menaikkan harga dengan alasan yang sebenarnya dipaksakan. Hal itu kami lakukan sebagai bentuk balas dendam. Mau tak mau, perempuan-perempuan dari balik bukit itu harus rela menerima kenaikan harga yang telah kami tentukan.
* * *
Seiring berjalannya waktu, persaingan antara pedagang sayuran yang datang dari balik bukit dengan pedagang yang merupakan penduduk asli desa kami mulai tidak sehat. Kami—penduduk asli desa ini, terutama yang pedagang, mulai iri melihat keuntungan besar yang didapat perempuan-perempuan dari balik bukit itu, terutama jika musim panen tembakau. Kami tahu, hasil menjual tembakau mereka dalam sekali panen keuntungannya sama besar dengan keuntungan kami bekerja selama satu setengah tahun. Selain itu, semakin hari semakin banyak pemborong yang membeli hasil bumi mereka. Konon, buah-buahan dan sayuran yang mereka jual masih segar dan bebas dari cairan pengawet yang berbahaya.
Perempuan-perempuan dari balik bukit itu semakin hari semakin hemat berbelanja. Mereka tak lagi menghambur-hamburkan uang untuk berbelanja di toko-toko kami ketika musim panen tiba. Kami yang semula mengandalkan mereka untuk memborong dagangan kami, seakan-akan kehilangan pelanggan. Toko kami selalu sepi, sedangkan dagangan yang dibawa perempuan-perempuan dari balik bukit itu sepertinya selalu habis terjual.
Setiap melihat perempuan-perempuan dari balik bukit itu pulang dengan kerinjing dan karung yang kosong karena dagangannya habis terjual, kami jadi iri. Keuntungan yang mereka dapatkan bertolak belakang dengan penghasilan toko-toko kami yang seakan-akan dilanda kemarau panjang.
Kami kembali memutar akal. Kami terpaksa menggunakan cara-cara yang tidak sehat untuk tetap bertahan. Para pemilik toko yang emperan tokonya dipakai untuk menjual sayuran dan buah-buahan mulai memungut biaya sewa tempat, meski sebenarnya perempuan-perempuan dari balik bukit itu tidak menggelar dagangannya tepat di emperen, melainkan di tepi jalan.
“Seharusnya kami tak perlu membayar sewa tempat. Toh kami berjualan di tepi jalan, bukan di emperan toko kalian,” protes perempuan-perempuan dari balik bukit itu ketika kami mintai bayaran.
“Tapi dagangan kalian menghalangi jalan ke toko kami.”
“Tolong kalian jangan cari-cari alasan. Kita sama-sama berdagang.”
“Sudah belasan tahun kami berjualan, baru kali ini dipungut bayaran.”
“Tapi kalian datang dari desa seberang, kami tuan rumah di sini. Kalau kami mau, orang-orang desa ini bisa mengusir kalian!”
Perempuan-perempuan dari balik bukit itu terdiam. Tak ada lagi kalimat bantahan. Mereka sadar, mereka adalah pendatang yang menumpang mencari nafkah di desa orang.
Semenjak itu, perempuan-perempuan dari balik bukit yang datang berjualan di desa kami semakin berkurang. Mereka yang masih bertahan berjualan di desa kami mungkin tak punya lain pilihan, meski harus membayar pungutan sewa emperan dan menanggung malu setiap mendengar gunjingan pedagang-pedagang yang masih iri karena kalah saingan.
Hingga suatu hari, tak ada seorang pun perempuan-perempuan dari balik bukit yang datang untuk berjualan. Sepanjang tepi jalan desa kami benar-benar lengang. Tak ada lagi yang berjualan buah dan sayuran di tepi jalan depan emperan. Hanya bau amis ikan yang tercium karena tak ada lagi aroma buah-buahan yang biasanya menyerbakkan aroma matang.
Beberapa hari kemudian, kami mendengar kabar bahwa perkampungan di balik bukit tertimbun longsor. Ratusan orang tewas tertimbun. Kami tersentak. Seketika kami teringat rombongan perempuan-perempuan yang selalu datang menjual sayuran. Mereka yang harus berjalan jauh menerobos rimbun hutan dan persawahan, mereka yang akhir-akhir ini selalu kami maki dengan cacian dan gunjingan yang menyakitkan.
Hati kecil kami diam-diam mengharapkan kehadiran perempuan-perempuan dari balik bukit itu. Meski kami mengerti, mereka tak akan pernah datang lagi. [ ]
/Yogyakarta, Oktober 2013

Ilustrasi cerpen oleh: Agata Areadi '13 (Media Indonesia) 

Tidak ada komentar: