Sabtu, 29 November 2014

Kalompang, Sebuah Cermin Besar



Oleh: Dalasari Pera (Sastrawati, Pendiri Komunitas Lego-lego)
Dipublikasikan di Harian Fajar, Minggu, 9 November 2014

KALOMPANG adalah novel pemenang pertama Kompetisi Tulis Nusantara 2013 yang diadakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Kompetisi ini selalu diadakan setiap tahunnya, terdiri atas empat kategori: puisi, cerpen fiksi, cerpen non-fiksi, dan novel. Tahun 2014, novel ini kemudian diterbitkan oleh Grasindo.
Melalui novel ini, Badrul Munir Chair mengaku mengenang masa kecilnya di Kalompang. Itulah sebabnya ia meminjam nama kampung itu untuk menyebut wilayah pesisir barat Desa Ambunten Timur secara keseluruhan, yang terdiri dari beberapa kampung yang saling berdekatan. Dengan khusyuk, Badrul menuliskan sejarah Kalompang, mitoplogi yang mengelilinginya, dan hikayat nelayannya.
Novel ini diawali dengan penggambaran tentang kampung nelayan di kalompang. Nampak dengan jelas bagaimana Badrul begitu kuat memberikan deskripsi. Tokoh Mattali dan tokoh lainnya pun berhasil digambarkan dengan seksama, baik watak maupun karakter kesehariannya. Mattali adalah sosok nelayan yang bertanggung jawab dan sangat menjunjung tinggi ajaran agama dan nilai-nilai yang tumbuh-kembang dalam masyarakat. Begitupun dengan istirnya, Rofiqah, sosok yang patuh dan sangat tekun.
Dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga tunggal, Badrul berupaya menenggelamkan pembaca ke dalam novelnya itu. Pada setiap bagian, pembaca menemukan kekuatan, baik dari deskripsi. Akur, maupun penokohan-penokohannya. Meski demikian, pembaca tentu saja tidak merasa sedang menonton sebuah sinetron. Yang dituliskan oleh Badrul adalah sebuah cermin besar tentang kehidupan nelayan secara umum, nelayan Kalompang secara khusus.
Tokoh Mattali sebagai sosok yang kuat beragama dan menjunjung tinggi adat-budaya masyarakat Kalompang, dapat pula ditemukan pada nelayan lainnya. Semenjak kecil mereka sudah diajarkan tentang nilai-nilai agama dan budaya. Untruk perkara keseharian mereka, Kiai Karnawi menjadi tempat pertama untuk dimintai pendapat dan bimbingannya. Setelahnya, mereka hanya berdoa dan berserah. Mereka memercayai bahwa Sang Pencipta adalah di atas segala-galanya. Kehidupan semacam ini pun bisa ditemukan bukan hanya di kampung nelayan, tetapi di pelosok-pelosok kampung petani pun masih turun-temurun dilaksanakan. Setiap permasalahan senantiasa dirembukkan dengan orang yang dituakan dan juga kepala desa.
Selain itu, Kalompang dipenuhi dengan cerita tentang keseharian masyarakat pesisir yang hidupnya bagai kulit dan tulang, sebuah kesatuan yang tak dapat terpisahkan. Ikatan batin antara satu nelayan dengan nelayan lainnya begitu kuat. Salah satu gambarannya adalah pada acara tahlilan tokoh Mattali.
“Meskipun mereka tidak pernah diundang untuk datang, meskipun mereka bukan teman almarhum dan sebagian besar tidak mengenal almarhum, mereka tetap datang untuk mendoakan.”
Para nelayan itu juga diajarkan bagaimana hidup berdampingan dengan alam sehingga mereka bisa berjalan beriringan tanpa saling merusak. Dari hal itulah, kemudian muncul mitologi yang dipercayai turun-temurun. Salah satunya adalah upacara persembahan untuk laut. Di Kalompang, upacara tersebut dikenal dengan sebutan rokat tase’, sebagai upaya untuk memohon kepada Se Kobasa Tase’—Sang Penguasa Laut—agar memberi berkah keselamatan bagi para nelayan yang akan melaut, juga agar harapan-harapannya dalam mencari nafkah di lautan dapat terkabul dan dicukupi. Dalam tradisi Jawa, upacara ini dikenal dengan nama ruwat atau petik laut, sedangkan tradisi Bugis menyebutnya Maccera Tasi’.
Dalam hal lain, ada pula upacara untuk perahu baru yang akan turun ke laur. Ritual adat ini sungguh tak jauh berbeda dengan yang diadakan oleh berbagai suku di Indonesia. Kalompang hanya menyuguhkan cermin yang memantulkan isi Kalompang itu sendiri.
Konflik-konflik yang disuguhkan dalam Kalompang sepertinya tak bisa dianggap remeh. Kekuatan konflik dalam novel ini mampu menguras emosi. Dimulai dari keselakaan yang dialami oleh Adnan—adik ipar Mattali, sampai pada tenggelamnya perahu satu-satunya Mattali. pada setiap konflik, lagi-lagi cermin besar tersebut memerankan fungsinya. Saat Adnan mengalami kecelakaan, warga Kalompang tidak tinggal diam. Kalebun—kepala desa—menjadi jembatan keluarga Mattali dan keluarga korban. Sedangkan warga lainnya turut membantu dalam menyelesaikan upaya damai dengan jalan namoy. Namoy ini tak sekadar datang bertamu ke keluarga korban. Tetapi, harus menyunggi talam berisi besar, gula, dan palotan atau ketan di atas kepala mereka, juga menenteng 99 biji telur. Tradisi bertamu semacam ini banyak dijumpai dalam masyarakat. Meski dengan nama yang berbeda-beda.
Di bagian lain, Badrul menghisap penuh kedukaan pembaca saat tokoh Mattali harus kehilangan perahunya di tengah laut saat ia berusaha melunasi utang namoy. Betapa kemalangan itu sedemikian berlapis-lapis. Seperti kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Nasib itulah yang harus ditanggungkan oleh Mattali sekeluarga.
Pada sejumlah cerita fiksi, penulis senang membumbui ceritanya dengan romantisme yang menggigit pembaca. Kalompang sepertinya enggan mengurai romantisme itu dengan berlebihan. Jika tidak ingin disebut datar saja. Tidak ada konflik cinta dalam novel ini, selain menunjukkan betapa besarnya hadiah yang senantiasa disediakan oleh Sang Maha Cinta bagi orang-orang yang mengedepankan dan menjunjung tinggi cinta, tanggung jawab, dan kesetiaan.
Barangkali saja, Badrul—yang meski dikenal sebagai penyair humoris—sedang tak ingin menonjolkan romantisme itu. melainkan khusyuk mengenang kampung halamannya sendiri lalu memantulkannya pada cermin sebesar Kalompang.
Sebagaimana sebuah cermin di kamar atau bahkan sebuah etalase, ia tak selalu mampu mencapai semua orang dan berharap orang-orang segera bercermin. Kalompang pun tak bisa mencapai semua pembaca di seluruh penjuru tanah air meski tubuhnya adalah sebuah cermin besar masyarakat pesisir. Tetapi, sebagai cermin, Kalompang telah menampung banyak cerita dan filosofi kehidupan. (*)


Tidak ada komentar: