Oleh: Dalasari Pera (Sastrawati, Pendiri
Komunitas Lego-lego)
Dipublikasikan di Harian Fajar, Minggu, 9 November 2014
KALOMPANG adalah novel pemenang pertama Kompetisi Tulis Nusantara 2013 yang
diadakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Kompetisi ini selalu
diadakan setiap tahunnya, terdiri atas empat kategori: puisi, cerpen fiksi,
cerpen non-fiksi, dan novel. Tahun 2014, novel ini kemudian diterbitkan oleh
Grasindo.
Melalui novel
ini, Badrul Munir Chair mengaku mengenang masa kecilnya di Kalompang. Itulah
sebabnya ia meminjam nama kampung itu untuk menyebut wilayah pesisir barat Desa
Ambunten Timur secara keseluruhan, yang terdiri dari beberapa kampung yang
saling berdekatan. Dengan khusyuk, Badrul menuliskan sejarah Kalompang,
mitoplogi yang mengelilinginya, dan hikayat nelayannya.
Novel ini
diawali dengan penggambaran tentang kampung nelayan di kalompang. Nampak dengan
jelas bagaimana Badrul begitu kuat memberikan deskripsi. Tokoh Mattali dan
tokoh lainnya pun berhasil digambarkan dengan seksama, baik watak maupun
karakter kesehariannya. Mattali adalah sosok nelayan yang bertanggung jawab dan
sangat menjunjung tinggi ajaran agama dan nilai-nilai yang tumbuh-kembang dalam
masyarakat. Begitupun dengan istirnya, Rofiqah, sosok yang patuh dan sangat
tekun.
Dengan
menggunakan sudut pandang orang ketiga tunggal, Badrul berupaya menenggelamkan
pembaca ke dalam novelnya itu. Pada setiap bagian, pembaca menemukan kekuatan,
baik dari deskripsi. Akur, maupun penokohan-penokohannya. Meski demikian,
pembaca tentu saja tidak merasa sedang menonton sebuah sinetron. Yang
dituliskan oleh Badrul adalah sebuah cermin besar tentang kehidupan nelayan
secara umum, nelayan Kalompang secara khusus.
Tokoh Mattali
sebagai sosok yang kuat beragama dan menjunjung tinggi adat-budaya masyarakat
Kalompang, dapat pula ditemukan pada nelayan lainnya. Semenjak kecil mereka
sudah diajarkan tentang nilai-nilai agama dan budaya. Untruk perkara keseharian
mereka, Kiai Karnawi menjadi tempat pertama untuk dimintai pendapat dan
bimbingannya. Setelahnya, mereka hanya berdoa dan berserah. Mereka memercayai
bahwa Sang Pencipta adalah di atas segala-galanya. Kehidupan semacam ini pun
bisa ditemukan bukan hanya di kampung nelayan, tetapi di pelosok-pelosok
kampung petani pun masih turun-temurun dilaksanakan. Setiap permasalahan
senantiasa dirembukkan dengan orang yang dituakan dan juga kepala desa.
Selain itu,
Kalompang dipenuhi dengan cerita tentang keseharian masyarakat pesisir yang
hidupnya bagai kulit dan tulang, sebuah kesatuan yang tak dapat terpisahkan.
Ikatan batin antara satu nelayan dengan nelayan lainnya begitu kuat. Salah satu
gambarannya adalah pada acara tahlilan tokoh Mattali.
“Meskipun
mereka tidak pernah diundang untuk datang, meskipun mereka bukan teman almarhum
dan sebagian besar tidak mengenal almarhum, mereka tetap datang untuk
mendoakan.”
Para nelayan
itu juga diajarkan bagaimana hidup berdampingan dengan alam sehingga mereka
bisa berjalan beriringan tanpa saling merusak. Dari hal itulah, kemudian muncul
mitologi yang dipercayai turun-temurun. Salah satunya adalah upacara
persembahan untuk laut. Di Kalompang, upacara tersebut dikenal dengan sebutan rokat
tase’, sebagai upaya untuk memohon kepada Se Kobasa Tase’—Sang Penguasa
Laut—agar memberi berkah keselamatan bagi para nelayan yang akan melaut, juga
agar harapan-harapannya dalam mencari nafkah di lautan dapat terkabul dan
dicukupi. Dalam tradisi Jawa, upacara ini dikenal dengan nama ruwat atau
petik laut, sedangkan tradisi Bugis menyebutnya Maccera Tasi’.
Dalam hal lain,
ada pula upacara untuk perahu baru yang akan turun ke laur. Ritual adat ini
sungguh tak jauh berbeda dengan yang diadakan oleh berbagai suku di Indonesia.
Kalompang hanya menyuguhkan cermin yang memantulkan isi Kalompang itu sendiri.
Konflik-konflik
yang disuguhkan dalam Kalompang sepertinya tak bisa dianggap remeh. Kekuatan
konflik dalam novel ini mampu menguras emosi. Dimulai dari keselakaan yang
dialami oleh Adnan—adik ipar Mattali, sampai pada tenggelamnya perahu
satu-satunya Mattali. pada setiap konflik, lagi-lagi cermin besar tersebut
memerankan fungsinya. Saat Adnan mengalami kecelakaan, warga Kalompang tidak
tinggal diam. Kalebun—kepala desa—menjadi jembatan keluarga Mattali dan
keluarga korban. Sedangkan warga lainnya turut membantu dalam menyelesaikan
upaya damai dengan jalan namoy. Namoy ini tak sekadar datang
bertamu ke keluarga korban. Tetapi, harus menyunggi talam berisi besar, gula,
dan palotan atau ketan di atas kepala mereka, juga menenteng 99 biji
telur. Tradisi bertamu semacam ini banyak dijumpai dalam masyarakat. Meski
dengan nama yang berbeda-beda.
Di bagian lain,
Badrul menghisap penuh kedukaan pembaca saat tokoh Mattali harus kehilangan
perahunya di tengah laut saat ia berusaha melunasi utang namoy. Betapa
kemalangan itu sedemikian berlapis-lapis. Seperti kata pepatah, sudah jatuh
tertimpa tangga pula. Nasib itulah yang harus ditanggungkan oleh Mattali
sekeluarga.
Pada sejumlah
cerita fiksi, penulis senang membumbui ceritanya dengan romantisme yang
menggigit pembaca. Kalompang sepertinya enggan mengurai romantisme itu dengan
berlebihan. Jika tidak ingin disebut datar saja. Tidak ada konflik cinta dalam
novel ini, selain menunjukkan betapa besarnya hadiah yang senantiasa disediakan
oleh Sang Maha Cinta bagi orang-orang yang mengedepankan dan menjunjung tinggi
cinta, tanggung jawab, dan kesetiaan.
Barangkali
saja, Badrul—yang meski dikenal sebagai penyair humoris—sedang tak ingin
menonjolkan romantisme itu. melainkan khusyuk mengenang kampung halamannya
sendiri lalu memantulkannya pada cermin sebesar Kalompang.
Sebagaimana
sebuah cermin di kamar atau bahkan sebuah etalase, ia tak selalu mampu mencapai
semua orang dan berharap orang-orang segera bercermin. Kalompang pun tak bisa
mencapai semua pembaca di seluruh penjuru tanah air meski tubuhnya adalah
sebuah cermin besar masyarakat pesisir. Tetapi, sebagai cermin, Kalompang telah
menampung banyak cerita dan filosofi kehidupan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar