Perempuan-perempuan dari balik bukit itu selalu berjalan
jauh menelusuri jalan setapak dan semak-semak perbukitan sebelum waktu subuh. Tanpa
alas kaki langkah mereka terus melaju memburu waktu, menerobos rimbun hutan dan
persawahan yang masih gelap, menyunggi kerinjing dan karung penuh sayuran dan
buah-buahan yang mereka petik dari perkebunan.
Mereka harus sampai di jalan raya sebelum pagi tiba.
Dengan beban berat di kepala, mereka sesekali terseok meraba jalan yang lembab
oleh embun dengan telapak kakinya. Patahan ranting pohonan yang tumbang di
sepanjang jalan tak jarang membuat mereka tersandung.
Tiba di jalan raya yang masih sepi oleh manusia, perempuan-perempuan
dari balik bukit itu mulai mengeluarkan bermacam-macam buah dan sayuran dari
dalam kerinjing dan karung, merebahkannya depan emperan toko yang berderet di sepanjang
jalan. Mereka mulai membentuk barisan dan menata barang-barang dagangan mereka
sebegitu rupa di tepi jalan raya. Di depan emperen deretan toko sepanjang tepi
ruas jalan raya kecamatan itulah mereka biasa berjualan.
Ketika pagi menjelang dan hari mulai terang, jalan raya
yang dijadikan pasar dadakan itu mulai ramai. Pedagang-pedagang ikan mulai
berdatangan, mengambil tempat di seberang jalan, berbagi petak dengan penjual
sayuran dan buah-buahan yang datang dari balik bukit.
Hingga siang, mereka masih berjualan di tepi jalan.
Menjelang sore mereka akan beranjak pulang, dengan sisa-sisa dagangan yang tak
terjual. Atau jika dagangan mereka terjual habis, mereka tetap pulang dengan
membawa berat beban, kerinjing dan karung yang semula berisi buah dan sayuran
mereka isi dengan kebutuhan pokok—seperti gula, mie instan, dan ikan laut—untuk
mereka bawa pulang.
Dulu, perempuan-perempuan dari balik bukit itu berjualan
di pasar yang terletak di dekat pantai, sekitar dua kilometer lagi ke arah
utara jalan raya. Namun beberapa tahun belakangan, ketika pedagang-pedagang
ikan mulai membawa ikan-ikan mereka ke tepi jalan raya untuk menunggu tengkulak
yang akan mengangkut ikan-ikan mereka ke kota, perempuan-perempuan dari balik
bukit itu ikut singgah menunggu tengkulak di tepi jalan raya, berharap
dagangan-dagangan mereka juga diborong untuk dijual ke kota. Jika mobil-mobil
para tengkulak itu telah beranjak meninggalkan ruas jalan kecamatan menuju
kota, mereka pun ikut berlalu, beranjak ke pasar dekat pantai.
Mulanya perempuan-perempuan dari balik bukit itu hanya
singgah untuk menawarkan sayuran dan buah-buahan kepada tengkulak ikan meski
hasil penjualan mereka tak seberapa, sebab tengkulak itu selalu meminta
potongan harga. Tapi ketika bertambah tahun semakin banyak tengkulak yang
membeli sayuran pada mereka, mereka tak lagi melanjutkan berjualan di pasar
dekat pantai, mereka lebih memilih berjualan di tepi jalan raya.
Maka lambat laun jalan raya ini tak sekedar menjadi tempat
singgah, melainkan menjadi pasar dadakan tempat mereka berjualan. Penduduk tepi
pantai pun akhirnya mengalah, terpaksa harus ke tepi jalan raya jika ingin
membeli sayuran dan buah-buahan segar untuk bahan masakan.
* * *
Perempuan-perempuan penjual sayuran dan buah-buahan dari
balik bukit itu jumlahnya puluhan. Konon mereka tinggal di kampung yang
berdekatan. Jika musim panen tiba, terutama jika musim panen tembakau, mereka membawa
serta anak-anak dan suami mereka untuk membantu mengangkut hasil bumi yang
melimpah dari balik bukit ke jalan raya. Mereka beriringan menempuh perjalanan
jauh. Maka jadilah rombongan orang-orang dari balik bukit itu seperti kafilah
yang hijrah ke kota, menyunggi kerinjing dan karung-karung goni penuh isi.
Barangkali musim panen adalah berkah sekaligus waktu rehat
bagi mereka. Melimpahnya uang penjualan hasil panen mereka gunakan untuk
berbelanja. Mereka akan membanjiri toko-toko yang berderet di tepi jalan itu
untuk membeli apa saja yang bisa mereka beli, memborong kebutuhan-kebutuhan
pokok sehari-hari. Mereka juga mendatangi toko meubel untuk membeli kursi atau
lemari, memborong baju di toko-toko pakaian, tak lupa pula mereka membeli
perhiasan dan emas sebagai tabungan.
Maka musim panen tak hanya menjadi berkah bagi orang-orang
dari balik bukit itu. Kami, penduduk desa ini juga mendapatkan berkah dari
mereka. Tak hanya karena mereka memborong berbagai macam kebutuhan di toko-toko
kami, ketika musim panen mereka juga begitu baik hati. Harga sayuran dan
buah-buahan sengaja mereka turunkan, bahkan tak jarang mereka membagi-bagikan hasil
panen pada kami secara cuma-cuma. Mereka memberi kami buah mangga, sarikaya,
sirsak, dan jagung yang tidak bisa dikatakan sedikit jumlahnya. “Kami sudah
untung besar dari menjual tembakau,” begitulah kata mereka.
Tetapi ketika kemarau panjang dan hasil bumi tak begitu
melimpah, perempuan-perempuan dari balik bukit itu datang dengan wajah lesu. Kerinjing
dan karung yang mereka bawa tak sebanyak biasanya. Tak jarang tingkah mereka
tak lagi ramah kepada pembeli, menaikkan harga sayur-mayur dan buah-buahan
sesuka hati.
“Ladang dan kebun kami kekeringan.”
“Banyak sayur dan buah yang gagal panen.”
“Cari air sekarang sulit, sungai-sungai mulai kering.”
Begitulah alasan-alasan mereka ketika hendak menaikkan
harga. Meski alasan mereka cukup masuk akal, tetapi tetap saja kami tidak bisa
menerimanya. Kami terus berusaha menawar hingga harga yang paling rendah.
“Tolong jangan ditawar lagi, Bu. Kalau jadi beli silahkan
ambil, kami tak mungkin lagi mengurangi harganya.”
Jika harga sayuran dan buah-buahan yang mereka tawarkan sudah
demikian tinggi, orang-orang desa kami harus pandai memutar akal. Yang berprofesi
sebagai nelayan dan penjual ikan juga akan menaikkan harga hasil lautnya untuk
mengimbangi kenaikan harga sayuran dan buah-buahan. Sedangkan yang mempunyai
toko juga akan menaikkan harga dengan alasan yang sebenarnya dipaksakan. Hal
itu kami lakukan sebagai bentuk balas dendam. Mau tak mau, perempuan-perempuan
dari balik bukit itu harus rela menerima kenaikan harga yang telah kami
tentukan.
* * *
Seiring berjalannya waktu, persaingan antara pedagang
sayuran yang datang dari balik bukit dengan pedagang yang merupakan penduduk
asli desa kami mulai tidak sehat. Kami—penduduk asli desa ini, terutama yang
pedagang, mulai iri melihat keuntungan besar yang didapat perempuan-perempuan
dari balik bukit itu, terutama jika musim panen tembakau. Kami tahu, hasil
menjual tembakau mereka dalam sekali panen keuntungannya sama besar dengan
keuntungan kami bekerja selama satu setengah tahun. Selain itu, semakin hari
semakin banyak pemborong yang membeli hasil bumi mereka. Konon, buah-buahan dan
sayuran yang mereka jual masih segar dan bebas dari cairan pengawet yang
berbahaya.
Perempuan-perempuan dari balik bukit itu semakin hari
semakin hemat berbelanja. Mereka tak lagi menghambur-hamburkan uang untuk
berbelanja di toko-toko kami ketika musim panen tiba. Kami yang semula
mengandalkan mereka untuk memborong dagangan kami, seakan-akan kehilangan pelanggan.
Toko kami selalu sepi, sedangkan dagangan yang dibawa perempuan-perempuan dari
balik bukit itu sepertinya selalu habis terjual.
Setiap melihat perempuan-perempuan dari balik bukit itu
pulang dengan kerinjing dan karung yang kosong karena dagangannya habis terjual,
kami jadi iri. Keuntungan yang mereka dapatkan bertolak belakang dengan
penghasilan toko-toko kami yang seakan-akan dilanda kemarau panjang.
Kami kembali memutar akal. Kami terpaksa menggunakan
cara-cara yang tidak sehat untuk tetap bertahan. Para pemilik toko yang emperan
tokonya dipakai untuk menjual sayuran dan buah-buahan mulai memungut biaya sewa
tempat, meski sebenarnya perempuan-perempuan dari balik bukit itu tidak
menggelar dagangannya tepat di emperen, melainkan di tepi jalan.
“Seharusnya kami tak perlu membayar sewa tempat. Toh kami
berjualan di tepi jalan, bukan di emperan toko kalian,” protes
perempuan-perempuan dari balik bukit itu ketika kami mintai bayaran.
“Tapi dagangan kalian menghalangi jalan ke toko kami.”
“Tolong kalian jangan cari-cari alasan. Kita sama-sama
berdagang.”
“Sudah belasan tahun kami berjualan, baru kali ini
dipungut bayaran.”
“Tapi kalian datang dari desa seberang, kami tuan rumah di
sini. Kalau kami mau, orang-orang desa ini bisa mengusir kalian!”
Perempuan-perempuan dari balik bukit itu terdiam. Tak ada
lagi kalimat bantahan. Mereka sadar, mereka adalah pendatang yang menumpang
mencari nafkah di desa orang.
Semenjak itu, perempuan-perempuan dari balik bukit yang
datang berjualan di desa kami semakin berkurang. Mereka yang masih bertahan
berjualan di desa kami mungkin tak punya lain pilihan, meski harus membayar
pungutan sewa emperan dan menanggung malu setiap mendengar gunjingan
pedagang-pedagang yang masih iri karena kalah saingan.
Hingga suatu hari, tak ada seorang pun perempuan-perempuan
dari balik bukit yang datang untuk berjualan. Sepanjang tepi jalan desa kami
benar-benar lengang. Tak ada lagi yang berjualan buah dan sayuran di tepi jalan
depan emperan. Hanya bau amis ikan yang tercium karena tak ada lagi aroma
buah-buahan yang biasanya menyerbakkan aroma matang.
Beberapa hari kemudian, kami mendengar kabar bahwa
perkampungan di balik bukit tertimbun longsor. Ratusan orang tewas tertimbun.
Kami tersentak. Seketika kami teringat rombongan perempuan-perempuan yang selalu
datang menjual sayuran. Mereka yang harus berjalan jauh menerobos rimbun hutan
dan persawahan, mereka yang akhir-akhir ini selalu kami maki dengan cacian dan
gunjingan yang menyakitkan.
Hati kecil kami diam-diam mengharapkan kehadiran
perempuan-perempuan dari balik bukit itu. Meski kami mengerti, mereka tak akan
pernah datang lagi. [ ]
/Yogyakarta,
Oktober 2013Ilustrasi cerpen oleh: Agata Areadi '13 (Media Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar