Sabtu, 29 November 2014

Potret Kehidupan Nelayan Madura


Oleh: Richa Miskiyya*
Dipublikasikan di Koran Madura, Jumat, 17 Oktober 2014

Judul               : Kalompang
Penulis             : Badrul Munir Chair
Penerbit           : Grasindo, Jakarta
Tahun              : Agustus, 2014
Halaman          : xi + 310 halaman
ISBN               : 978-602-251-622-4

Harga              : Rp. 55.000

MENDENGAR nama Pulau Madura, pasti yang teringat pertama kali adalah karapan sapi, sate madura, garam, atau jembatan suramadu. Padahal selain hal-hal tersebut, Pulau Madura juga memiliki nelayan-nelayan tangguh di sepanjang pesisir utara seperti yang dikisahkan dalam novel Kalompang ini.
Novel ini menyuguhkan potret kehidupan nelayan Madura, khususnya yang berada di pantai Kalompang-Sumenep. Novel ini adalah Pemenang I Lomba Tulis Nusantara yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Tahun 2013.
Novel dengan tebal 310 halaman ini menceritakan tentang kehidupan Mattali, seorang nelayan di pantai Kalompang. Seperti nelayan lainnya, Mattali dan keluarganya hidup dari hasil menangkap ikan di lautan.
Di tengah kerasnya kehidupan Mattali sebagai nelayan, ia selalu memegang teguh agamanya karena bagi nelayan Pulau Madura, mereka memiliki sebuah prinsip. “Kalau di laut, kita memang abhental ombak asapo’ angin. Tapi seluruh denyut nadi kehidupan kita, harus abhental syahadat, asapo’ iman, apajung Allah.” Di laut, nelayan berbantal ombak berselimut angin, dan dalam kehidupan manusia haruslah berbantalkan syahadat, berselimutkan iman, berpayungkan Allah. (halaman 13).
Kerasnya kehidupan Mattali tak hanya dialaminya ketika melaut, di daratpun ia dan keluarganya pun ditimpa kemalangan. Adik iparnya menabrak mati anak seorang penguasa daerah setempat, dan ini membuat Mattali dan keluarga didera ancaman. Mattali harus membayar uang ganti rugi pada penguasa setempat yang jumlahnya tidaklah sedikit (halaman 50)
Tragedi yang menimpa adik ipar Mattali ini seperti menjadi pintu pembuka kemalangan Mattali dan keluarganya. Hutang menjeratnya, dan rumahnya pun terancam penggusuran untuk pembangunan tanggul pembatas pantai.
Rafiqah, istri Mattali menginginkan agar perahu Mattali dijual saja untuk membayar hutang dan modal membuka usaha kecil-kecilan, namun hal itu tidak disetujui oleh Mattali. Baginya, perahu dan lautan sudah menjadi rumah kedua baginya (halaman 69).
Permintaan Rafiqah pada Mattali untuk menjual perahu sebenarnya bukan hanya karena keinginannya untuk melunasi hutang, tetapi juga karena ia kesepian dan khawatir akan keselamatan suaminya ditengah lautan. Rafiqah selalu didera kecemasan ketika mendengar kabar cuaca buruk, ataupun badai, ia tak ingin jika kematian Bapaknya di tengah lautan terjadi pula pada suaminya (halaman 70).
Suatu hari Rafiqah mendengar ada badai di lautan, banyak perahu dari pantai daerah lain terseret ombak dan akhirnya berlabuh di pantai Kalompang. Mendengar kabar tentang banyaknya perahu nelayan yang terseret membuat Rafiqah semakin cemas akan keselamatan Mattali hingga akhirnya Mattali memberi kabar jika ia dan perahunya berlabuh di pantai tetangga (halaman 113).
Kecemasan Rafiqah tak juga hilang ketika Mattali kembali melaut, ia yang mengantar suaminya hingga dermaga merasakan firasat tak baik. Kabar buruk dari laut pun sampai ke telinganya, perahu Mattali diterjang ombak, satu awak perahu Mattali terluka parah, sedang satu awak lainnya meninggal dunia, sedang Mattali hilang tak ditemukan.
Kehidupan nelayan digambarkan dengan rinci dalam novel ini, tak hanya penggambaran keseharian mereka saat di laut dan tempat pelelangan ikan saja, akan tetapi juga dikisahkan bagaimana nelayan Madura tak pernah lepas dari agama dan juga tradisi yang tumbuh di masyarakat.
Agama dan tradisi yang kuat ini tercermin dari sikap para nelayan Kalompang yang selalu meminta pendapat Kyai terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu, seperti kapan waktu yang tepat untuk membangun rumah atau merantau.
Meski novel ini hanya menceritakan nelayan Kalompang, akan tetapi dari novel ini bisa menjadi cerminan ketangguhan nelayan-nelayan Madura pada umumnya, tak hanya ketangguhan di lautan, tetapi juga ketangguhan menjalani kehidupan.
Novel Kalompang ini berhasil menarasikan religiusitas dan filosofi kehidupan nelayan Madura. Penulisnya yang berasal dari Madura membuatnya mampu memberikan penggambaran yang detil dalam novel ini sehingga tokoh-tokohnya tampak hidup dan nyata. (*)
*) Penikmat novel, mahasiswa Magister Administrasi Publik Universitas Diponegoro

Tidak ada komentar: