Rabu, 17 September 2014

Orang-orang Bersisik

Cerpen Badrul Munir Chair (Tribun Jabar, 14 September 2014)


Wabah sisik ikan menjangkit Kampung Pesisir seperti tebaran malaria ketika musim pancaroba, melahirkan malapetaka. Wabah itu telah menyebar ke seluruh penjuru kampung, menyerang siapapun yang dihendakinya, tak peduli nelayan ataupun para pendatang dari gunung. Wabah itu kini seakan berenang-renang bebas mengancam setiap orang, seperti ikan buas yang baru lepas dari penangkaran.

Di pantai, puluhan orang merendam tubuhnya di perairan dangkal. Hanya kepala mereka yang terlihat di atas permukaan air, bibir mereka terus bergerak-gerak melafalkan doa. Seorang pemuka agama yang sebenarnya tak terjangkit wabah sisik ikan ikut berendam di perairan dangkal itu untuk memimpin doa. Mereka telah berendam sejak sebelum matahari terbit. Dan kini, ketika cahaya matahari mulai memantul di permukaan air laut, tak ada tanda-tanda mereka akan mengakhiri prosesi merendam tubuh itu, untuk membuang jauh penyakit yang telah menjangkit dan semacam upacara penolak bala.

Orang-orang yang terjangkit wabah sisik ikan memiliki sisik-sisik tipis berwarna bening keputihan, sisik-sisik selebar kuku ibu jari itu menyebar di sekujur tubuh, yang ketika mengelupas akan meninggalkan luka. Aroma tubuh mereka amis layaknya ikan yang baru dientas dari samudera.

Puluhan orang lainnya, yang tak terjangkit (atau belum terjangkit) wabah sisik ikan itu, berdiri bersembunyi di balik rimbun pohon kelapa dan lontara menatap orang-orang yang berendam itu dari kejauhan, mencemaskan wabah itu juga akan menyerang mereka sewaktu-waktu, sementara orang-orang yang bebal dan tak punya rasa belas kasihan di antara mereka diam-diam menggunjingkan korban wabah itu sebagai orang yang terkena kutukan.

“Merekalah orang-orang durhaka yang dikutuk nenek moyang,” ucap seseorang, seakan-akan ia bisa selamat dari wabah yang entah sejak kapan mulai menjangkit orang-orang itu. Dan dengarlah bagaimana mereka mengolok-olok para perempuan, “Seperti putri duyung yang buruk rupa”.

Sebagian dari orang-orang yang selamat, yang di hati mereka tersimpan rasa belas kasihan, sibuk memikirkan cara melenyapkan wabah sisik ikan itu dari perkampungan.

“Tak ada tempat bersembunyi dari wabah ini. Kita hanya menunggu giliran.”

“Sudah hampir sepuluh tahun kita tak melarungkan sesembahan ke laut, mungkin ini peringatan.”

“Melarungkan sesaji ke laut adalah perbuatan bidah dan hanya akan membuat Penguasa Laut bertambah marah!”

“Dulu, ada juga kaum saleh yang diuji Tuhan dengan penyakit kulit. Mungkin wabah ini adalah peringatan bagi kaum yang berpikir.”

“Kita hanya bisa berdoa dan pasrah.”

Pembicaraan mereka terhenti ketika pemuka agama yang memimpin orang-orang yang terkena wabah sisik ikan berdoa di perairan dangkal itu mulai beranjak meninggalkan perairan. Langkahnya diikuti puluhan orang yang sudah terjangkit wabah itu, mengentas dari asin laut kemudian mengeringkan tubuh mereka dengan bergulung-gulung di atas pasir pantai yang mulai menghangat. Entah mengapa setiap usai merendam tubuh mereka di air laut, konon rasa perih dan nyeri di sekujur tubuh mereka terasa sedikit lebih ringan.

Gusara, pemuka agama yang baru usai memimpin doa itu berjalan mendekati orang-orang yang belum terjangkit wabah yang berdiri di balik rimbun pohonan, menyapa mereka dan mengangkat kedua tangannya ke langit seperti hendak mendoakan mereka.

“Kapan kalian terakhir kali makan ikan?” tanya Gusara.

“Kami orang pesisir dan tak bisa terpisah dari ikan. Setiap hari kami makan ikan. Mungkin darah kami beraroma amis karena terlalu banyak makan ikan.”

“Wabah ini berasal dari ikan yang kalian makan. Maka bersiaplah, banyak-banyaklah berdoa.”

“Doa tak akan menghentikan kutukan ini!” teriak seseorang dari kejauhan.

“Semoga kau selamat,” ucap Gusara.

“Kalaupun aku selamat, itu bukan karena doamu.”

Suara kentongan yang dipukul tanpa jeda dari kejauhan menghentikan percakapan mereka. Ada lagi korban yang mati, bisik Gusara. Selain berdoa, ia tak bisa berbuat apa-apa.
* * *
Delapan orang yang gugur karena wabah itu diarak menuju tepi pantai. Kentongan terus dibunyikan oleh para pengiring yang mengikuti jenazah-jenazah itu di belakang tandu. Kemarin, jasad belasan orang yang mati telah dilarungkan, dan entah berapa orang yang telah berpulang dalam seminggu belakangan. Wabah itu benar-benar telah menelan banyak korban.

Siapa yang bisa selamat dari wabah yang menyebar melalui ikan? Semua orang pesisir makan ikan. Makanan yang mereka konsumsi sehari-hari terbuat dari ikan. Kerupuk ikan, terasi ikan, petis ikan, minyak ikan. O, betapa mudahnya wabah ini mengirim kutukan. Bahkan orang-orang gunung, yang hanya sekali sepekan datang ke Kampung Pesisir ini untuk menjual hasil bumi mereka, tak sedikit pula yang terjangkit wabah sisik ikan. Mereka datang ke sini dengan segenap kejujuran untuk menjual aneka buah dan sayuran yang bebas dari bahan kimia dan zat berbahaya, tapi pulang membawa ikan-ikan yang menyimpan bibit penyakit dan kutukan. Alangkah malang!

Mereka telah mencari tahu dari mana wabah itu bermula. Awalnya, ketika wabah ini belum menyebar sedemikian barbar, orang-orang mengira bahwa penyakit yang menjangkit kulit sebagian penduduk kampung adalah kusta. Namun ketika lambat laun mulai muncul sisik secara merata di sekujur tubuh mereka, mulai muncullah kecurigaan bahwa penyakit itu disebarkan oleh ikan. Prasangka-prasangka lain pun ikut bermunculan. Sebagian orang (terutama mereka yang telah renta) meyakini bahwa orang-orang yang terjangkit wabah sisik ikan adalah mereka yang khilaf memakan ikan yang dikeramatkan nenek moyang. Muncul pula kecurigaan bahwa wabah itu disebabkan oleh limbah pabrik pengolahan ikan yang dialirkan ke bawah laut sehingga meracuni ikan-ikan tangkapan nelayan, dan ketika orang-orang memakan ikan tangkapan beracun itu, terjangkitlah tubuh mereka oleh racun limbah pembuangan. Namun kemungkinan terakhir ini serta-merta dibantah oleh orang-orang yang memiliki wewenang, “Limbah pabrik mustahil membuat orang-orang memiliki sisik. Kecurigaan kalian terlalu berlebihan. Wabah ini adalah kutukan. Ya, kutukan! Seperti yang orang tua kita bilang, ada yang telah melanggar pantangan nenek moyang.”

Prasangka dan kecurigaan akan musabab munculnya wabah sisik ikan itu tak akan pernah bisa mengurangi beban orang-orang yang telah terjangkit, juga tidak bisa menghapus kecemasan orang-orang yang seakan sedang menunggu giliran memasuki gerbang kematian. Setiap waktu selalu muncul korban-korban baru, kehidupan hanya berkutat dengan upacara dan prosesi pelarungan jenazah ke tengah lautan.

Delapan jenazah itu dijejerkan di atas hamparan pasir tepi pantai, dikerumuni oleh puluhan pengiring yang hendak pengantarkan ke tempat peristirahatan terakhir. Belasan perahu telah menunggu di perairan dangkal untuk membawa jenazah-jenazah dan para pengiringnya itu ke tengah laut. Sementara puluhan orang yang telah terjangkit wabah itu hanya menatap nanar ke arah iringan pembawa jenazah dari kejauhan, seakan mengukur jarak dari kematian. Mereka masih bergulung-gulung di hamparan pasir pantai yang mulai hangat oleh sengatan matahari ambang siang, untuk mengurangi nyeri dan rasa gatal.

Orang-orang memikul keranda jenazah itu dan membawanya ke atas perahu. Belasan perahu yang berhias bendera hitam tanda perkabungan itu mulai berjalan beriringan seperti ketika upacara larung sesaji untuk sedekah laut. Namun kali ini, yang mereka larungkan bukan sesaji, melainkan jasad orang-orang yang mati kerena terjangkit wabah sisik ikan. Sepanjang perjalanan, mereka terus membunyikan kentongan seakan hendak menyebarkan berita duka kepada semesta.

Orang-orang yang naik dalam satu perahu dengan jasad itu sesekali menutup hidung mereka karena tak tahan dengan aroma amis yang berasal dari jasad korban wabah yang penuh sisik dan luka menganga. Berbotol-botol parfum dan aneka bunga yang ditaburkan di atas jasad-jasad itu seakan kehilangan aroma.

Gusara memberi aba-aba untuk menghentikan iringan perahu pembawa jenazah itu ketika mereka telah sampai di tengah laut. Dari atas sebuah perahu, Gusara memimpin doa dan memberi penghormatan terakhir kepada mereka yang telah gugur, “O, junjungan kami Penguasa Samudera. Terpujilah kebesaranMu, teranglah kuasaMu. Ampunilah kami atas kesalahan kami. Bimbinglah kami dalam perjalanan kembali kepadaMu. Berikanlah mujizatMu kepada segenap hambaMu yang penuh dosa. Amin.”

Maka dilepaskanlah jasad-jasad itu ke samudera, diiringi isak tangis dan doa-doa. Jasad orang-orang yang gugur karena terjangkit wabah ikan itu pun perlahan tenggelam. Setelah tak ada lagi satupun jasad yang terlihat di permukaan, satu-persatu perahu-perahu pengiring itu mulai berlalu. Sepanjang perjalanan pulang, tak dibunyikan lagi kentongan. Para pengiring itu sibuk berkutat dengan kecemasannya masing-masing, kecemasan akan kemungkinan terjangkit wabah sisik ikan dan kematian.

Ketika perahu mereka telah mendekat ke tepi pantai, ketika mesin perahu mulai dimatikan, lamat-lamat terdengar suara kentongan ditabuh di kejauhan.

“O, junjungan kami penguasa samudera, berapa banyak lagi korban yang harus mati?” bisik Gusara dalam hati. Ketika turun dari atas perahu yang menepi dan mendekat ke kerumunan orang-orang di tepi pantai, Gusara menyaksikan puluhan orang-orang bersisik tengah memukul kentongan dan menunggui jasad-jasad yang dijejerkan di atas hamparan pasir tepi pantai—seperti deretan ikan pindang yang siap dipanggang di atas tungku pembakaran. []
                                                                    (Yogyakarta, Mei 2014)


Tidak ada komentar: