Seorang pujangga pernah berkata, hidup adalah perjalanan dari tawa ke tawa,
dari lelucon satu ke lelucon lainnya. Begitulah, selalu ada hal-hal lucu di
sekitar kita, dan selalu hadir orang-orang yang kisah hidupnya bisa dijadikan
bahan tertawaan yang tak habis dijadikan bahan cerita. Dalam hal ini, saya
memiliki seorang kawan yang semacam itu, yang setiap jengkal hidupnya bisa
dijadikan bahan tertawaan (bukan sebagai korban ejekan!) yang drama hidupnya
penuh komedi bahkan satir. Kawan saya itu bernama Ahmad Subala. Saya kisahkan biografi
tawa Ahmad Subala kepada kalian, sebagai pelipur bagi kalian yang sedang sedih
dan kesepian.
Saya mengenal Ahmad Subala ketika kami sama-sama mendaftar sebagai takmir
masjid kampus. Ketika itu, ia merupakan peserta test dengan pakaian paling
mencolok di antara para peserta lainnya: memakai jubah putih dengan sorban
melilit di kepalanya, sehingga penampilannya mirip Syekh, sementara aroma
minyak za’faran yang dipakainya
begitu semerbak hingga menguar ke seluruh penjuru ruangan.
“Ikut test juga?” saya bertanya, ia
menjawabnya dengan anggukan. Saat itulah kami mulai berkenalan.
“Jurusan apa?” kembali saya yang memulai percakapan, sebab kesan saya, ia
adalah tipe orang lugu dan pendiam.
Ia terdiam selama beberapa saat, sebelum kemudian menjawab dengan mantap, “Kemarin
dari Sampang naik pikep ke pelabuhan, lalu cari bus jurusan ke Surabaya, pas
naik bus jurusan ke Jogja.” Ia memberi tekanan setiap mengucap kata jurusan,
dengan dialek Maduranya yang masih kental.
Dalam hati, saya tertawa mendengar jawaban Subala. Saya tahan tawa saya
sekuat tenaga agar tidak menyinggung perasaannya.
“Maksudku, kuliah jurusan apa?”
Ia hanya menggeleng. Saya mengambil kesimpulan, ia tidak kuliah.
Kami pun sama-sama diterima sebagai takmir masjid kampus. Dan hari-hari
penuh tawa saya bersama Subala dimulailah.
Suatu hari, tepatnya hari jumat, seperti biasa menjelang jumatan kami
membersihkan masjid, menggelar sajadah,
mempersiapkan kotak amal, dan mempersiapkan teks khutbah untuk khatib di
mimbar. Teks khutbah di masjid kampus kami memang dipersiapkan pihak masjid
untuk menghindari teks khutbah yang berpotensi menyindir aliran agama tertentu,
sebab mahasiswa dan dosen di kampus sangat heterogen. Ketika khatib sudah naik
ke atas mimbar dan membacakan khutbahnya, kulihat Subala yang duduk di
sampingku seperti kebingungan. Ia seakan gelisah dan duduknya tak tenang.
Beberapa saat kemudian, aku terkejut ketika Subala mengacungkan tangan ke arah
khatib seakan ingin melontarkan sebuah pertanyaan. Namun sang khatib masih
meneruskan pembacaaan khutbahnya. Mungkin karena acungan tangannya diabaikan,
Subala kemudian berdiri dan mengucapkan kalimat interupsi dengan suara keras:
“Maaf, Pak Khatib, itu teks khutbah jumat kemarin. Sepertinya tadi saya
salah ambil.”
Para hadirin jamaah shalat jumat pun tak bisa menahan tawa.
Insiden yang menimpa Subala ketika menjadi takmir masjid tak hanya sampai
di situ. Sebagai takmir, kami biasa membuat jadwal siapa yang harus adzan subuh
selama seminggu ke depan, dan minggu itu adalah giliran Subala. Adzan subuh
merupakan tugas terberat bagi kami yang merupakan takmir baru karena kami harus
bangun jam tiga pagi untuk adzan subuh pertama, dan harus terus terjaga sampai
waktu subuh tiba untuk mengumandangkan adzan subuh kedua.
Selama tiga hari menjalankan tugas adzan subuh, saya perhatian Subala
nampak segar dan tidak mengantuk bahkan hingga selesai shalat subuh. Bandingkan
dengan kami, misalnya, yang harus menahan kantuk ketika mengikuti jamaah subuh.
Kerena penasaran, saya berusaha mencari tahu rahasia mengapa Subala bisa menjalankan
tugas adzan subuh yang sangat berat itu. Setelah saya telusuri, ternyata Subala
tidak berdiri ketika mengumandangkan adzan, melainkan sambil duduk bersembunyi
di belakang mimbar sambil bersandar. Ia begitu lantang ketika mengumandangkan
dua kalimat takbir, namun kemudian adzannya terhenti, yang terdengar hanyalah
keresak suara seperti microphone
rusak. Suara itu terus terdengar hingga sekitar lima belas menit, sampai kemudian
terdengar suara “Laa ilaaha illa Allah...” yang sangat serak dari mulut Subala.
Kejadian itu pun terulang pada waktu adzan subuh kedua. Subala mengumandangkan
kalimat takbir dengan lantang, kemudian adzannya terhenti dan yang terdengar
hanya suara keresak microphone rusak,
beberapa lama kemudian terdengar suara pungkasan adzan yang sangat serak. Usut
punya usut, ternyata Subala sengaja mencopot kabel mic agar seolah-olah audio sedang rusak, dengan begitu, ia bisa
tertidur selama beberapa saat, dan ketika terjaga, ia kembali mencolokkan kabel
mic untuk mengumandangkan kalimat
terakhir adzan. Sebuah cara yang cukup cerdik untuk mencuri waktu tidur bahkan
ketika sedang mengumandangkan adzan.
Namun sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya akan jatuh juga. Subala
mendapatkan balasan yang setimpal dari kebiasaan buruknya tidur bersembunyi di
belakang mimbar ketika mengumandangkan adzan. Suatu hari, Subala tidur terlalu
lelap ketika sedang adzan, sehingga ia tidak sadar bahwa hari sudah pagi dan
matahari sudah terbit sejak tadi. Karena kebiasaannya melanjutkan kalimat
terakhir adzan setelah sempat tertidur, ia langsung mengambil microphone ketika terjaga dan langsung
mengumandangkan kalimat “Laa ilaaha illa Allah.” dengan sangat merdunya. Tak
ayal, warga di sekitar kampus dan para mahasiswa yang sedang kuliah pagi pun
bertanya-tanya, kira-kita adzan apa yang dikumandangkan pada jam delapan pagi? Beberapa
orang warga dan mahasiswa pun sampai mendatangi masjid untuk mencari tahu
sebab-musababnya. Mendengar suara gaduh dari luar masjid, Subala pun keluar dan
mendapati belasan orang yang menatapnya dengan curiga. Ketika menyadari bahwa
hari sudah terang, Subala yang belum sepenuhnya sadar dari mimpinya pun perlahan-lahan
menyadari kekonyolannya.
Kejadian itu membuat Subala diberhentikan secara tidak terhormat sebagai
takmir masjid kampus. Beruntung, seorang penasihat masjid dan sekaligus dosen
di kampus kami mau berbaik hati menampung Subala di asramanya sebagai penjaga, tak
hanya itu, Subala juga didaftarkan kuliah dan akhirnya diterima di jurusan
Sejarah Kebudayaan Islam.
Sebagai mahasiswa baru yang datang dari kampung pelosok, semangat Subala
menjadi mahasiswa sangat berapi-api. Ia tak hanya rajin datang ke kampus,
melainkan juga rajin ikut demonstrasi. Dan Subala merupakan sosok seorang
demonstran yang sangat heroik. Suatu ketika, ia melakukan aksi mogok makan
seorang diri di bawah tiang bendera depan kantor rektorat, entah apa isu yang
hendak diperjuangkannya, ia hanya membawa poster dengan tulisan “Aksi Mogok
Makan”. Tak ayal, aksinya pun menjadi tontonan para mahasiswa yang melintas di
depan gedung rektorat. Hingga keesokan harinya, Subala tetap duduk di bawah
tiang bendera, kali ini keadaannya sangat lemas dan menyedihkan karena sejak
kemarin ia tidak minum apalagi makan.
Kami yang kasihan melihat kondisi
Subala pun mendekatinya dan menanyakan untuk apa ia melakukan aksi mogok makan
ini? Dengan suara lemas dan mimik yang melas, Subala menjawab, “Kemarin saya
lapar. Saya kira dengan melakukan aksi mogok makan, akan ada orang yang datang
membawa makanan dan memaksa saya makan. Ternyata tidak ada...” Kami yang
mendengar jawaban Subala pun terharu sekaligus diam-diam menahan tawa.
Hari-hari terakhir Subala sebagai mahasiswa datanglah, setelah melalui
tahun-tahun yang berat dan penuh insiden konyol selama masa kuliah. Subala
dalam beberapa bulan terakhir seakan dipaksa untuk segera menyerahkan proposal
skripsi karena masa kuliahnya sudah memasuki tahun keenam. Ketika itu saya baru
saja lulus dan merasa kasihan melihat nasib Subala. Saya dan teman-teman yang
lain menawarkan jasa membantu Subala untuk mencarikan tema buat bakal
skripsinya. Tapi Subala dengan halus menolak tawaran kami.
“Saya sudah ada judul,” ucap Subala ketika menolak tawaran kami.
“Sudah ada judul tetapi kenapa tidak dikerjakan?”
“Pendahuluan sudah selesai, tapi buku untuk referensinya sulit dicari.”
“Memangnya meneliti tentang apa?”
Tiba-tiba Subala menyodorkan draft bakal proposal skripsinya kepada kami. Judulnya:
“Peran Unta dalam Penyebaran Agama Islam pada Masa Nabi Muhammad Saw.”, judul
yang memang berkaitan erat dengan jurusan Sejarah Kebudayaan Islam. Namun entah
kenapa, kami merasa ada yang ganjil dengan judul itu dan membuat kami seketika
tertawa sekencang-kencangnya.
Kini, setelah lulus kuliah dan bekerja, entah kenapa saya sangat merindukan
sosok Ahmad Subala, merindukan keluguannya dan kekonyolan yang selalu
mengundang tawa. Meski di lingkungan saya bekerja juga ada orang-orang konyol yang
mampu mengundang tawa, tapi saya selalu merasa sosok Ahmad Subala tak bisa
luntur dalam ingatan saya. Biografi hidup Ahmad Subala yang penuh tawa selalu
terngiang dalam ingatan saya dan mungkin akan saya kenang sepanjang masa. []
/Yogyakarta,
April 2014.Lukisan: Laugh 1, by Cheryl Moore.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar