Selasa, 28 April 2015

Ikan yang Dikeramatkan

Cerpen Badrul Munir Chair (Padang Ekspres, 12 April 2015).  



Ketika kabar tentang kemunculan ikan keramat itu mulai tersiar dan sampai ke telinga kami, seketika kakek menyuruh kami berkemas, mempersiapkan diri untuk setiap kemungkinan buruk yang akan menimpa. Raut wajah kakek menyiratkan kecemasan yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Tingkahnya selalu gelisah, dan sepasang bibirnya tak henti bergerak melafalkan doa. Sebab ikan keramat itu, kata kakek, selalu membawa pertanda akan datangnya kabar buruk dan marabahaya.
Ikan keramat yang dimaksud kakekku adalah ikan monteang, ikan bersungut panjang dan sirip-siripnya tajam dengan warna keemasan. Dulu, setiap aku akan pergi memancing, kakek selalu mengingatkan tentang adanya ikan keramat itu di sungai tempat aku biasa memancing, mewanti-wantiku agar kembali melepas ikan keramat jika ikan itu tak sengaja terjerat mata pancingku. “Dan jangan sekali-kali kamu tergoda untuk memakan ikan keramat itu, sebab sekujur tubuhmu akan terkena gatal-gatal, kulitmu akan bersisik dan mengelupas. Jika nasibmu nahas, kau akan ditimpa bala tak tertanggungkan: mendapat kutukan karena telah melanggar pantangan  nenek moyang.”
Kisah tentang keberadaan ikan keramat itu konon diawali dengan kemunculan seorang Wali di tanah ini. Alkisah, ketika kampung di tepi Sungai Parabuan ini masih menjadi kampung rampok—tempat para perampok beranak-pinak dan tinggal—datanglah seorang lelaki bernama Khudori untuk berdakwah menyeru ke jalan kebenaran. Namun karena para perampok yang dulu tinggal di tepi sungai ini sudah buta hatinya, mereka tak pernah mengindahkan seruan Khudori. Setiap kali Khudori memberi nasihat untuk bertaubat, mereka mengacungkan parang dan celurit. Mulanya mereka hanya mengancungkan parang untuk membuat Khudori gentar, namun karena nyali Khudori tak pernah ciut dan terus saja datang untuk memberi ceramah, lama-kelamaan para perampok itu jengah juga. Seorang ketua rampok mengacungkan parangnya untuk menebas lengan Khudori. Sekali tebas, tangan kanan Khudori terluka parah dan hampir terlepas dari tubuhnya. Ketika melihat ketua rampok itu semakin beringas, sambil menahan rasa sakit karena lengannya tertebas terus mengalirkan darah, Khudori berlari ke sungai menghindari kejaran ketua rampok dan orang-orang yang berniat membunuhnya.
“Ketika dikejar itulah Wali Khudori menceburkan tubuhnya ke dalam sungai. Para perampok yang mengejarnya tak bisa menemukan jejaknya. Wali Khudori seakan lenyap tertelan pusaran,” kisah kakek.
“Lalu, bagaimana cerita tentang adanya pertapaan Wali Khudori di dasar sungai dan hubungannya dengan ikan keramat itu?” tanyaku semakin penasaran.
Kemudian kakekku melanjutkan ceritanya. Sekitar setahun kemudian setelah peristiwa lenyapnya Khudori di sungai, tiba-tiba suatu sore, Khudori muncul dari dalam air, mengejutkan para perampok yang hendak menyeberang untuk melakukan kejahatan di kampung seberang. Para perampok itu terheran-heran melihat kemunculan Khudori, sebab mereka tak pernah melupakan seseorang yang dulu pernah mereka kejar hingga melompat ke dalam sungai, namun jasadnya tidak pernah mereka temukan. Kini Khudori yang dulu mereka cari itu muncul dari dalam sungai, setelah sempat mereka anggap mati tertelan pusaran.
Wali Khudori muncul dari dalam sungai dan berjalan di atas air, tersenyum kepada para perampok yang terkejut melihat kemunculannya,” ujar kakek.
“Dulu, ada juga orang suci yang bisa berjalan di atas air,” ucapku.
“Namun menurut cerita beberapa orang yang pernah kudengar, sebenarnya Wali Khudori tidak berdiri di atas air, melainkan berdiri di atas tubuh puluhan ikan monteang yang berbaris membentuk sebuah rakit,” kata pamanku menimpali.
Kakek mengangguk mendengar penuturan paman, kemudian kembali melanjutkan ceritanya. Para perampok yang masih terpana melihat kemunculan Khudori seketika gugup dan gentar. Bagaimana mungkin lelaki yang telah melompat ke dalam sungai dan tak pernah muncul kembali ke permukaan itu bisa datang tiba-tiba muncul secara ajaib dari dalam air? Melihat keterkejutan para penjahat yang dulu pernah memburunya itu, Khudori hanya melempar senyum wibawa, kemudian menunduk hendak menghentak permukaan air sungai di telapak kakinya. Ketika kakinya menerjang permukaan air sungai, serta-merta arus air menderas bergerak ke tepian seakan hendak memburu para perampok yang masih berdiri terpana itu. Ketika arus air sungai semakin mendekat, para perampok itu langsung bertekuk lutut meminta ampun kepada Khudori. Para perampok itu konon selalu tunduk dengan orang yang memiliki ilmu kanuragan tinggi. Mereka mengira bahwa Khudori yang pernah mereka buru itu kini telah menjadi sakti.
Khudori yang melihat para perampok itu terpana seakan tak percaya dengan kehadirannya memanfaatkan kesempatan itu untuk menyeru dan mengajak mereka ke jalan kebenaran, “Tak usahlah kalian takut pada arus, bukankah kalian adalah para penjahat dan perampok yang dikenal kebal dan bisa menangkis berbagai macam jurus?” Khudori tersenyum, sementara para penjahat dan perampok yang separuh tubuhnya tergenang air yang menepi karena hentakan kaki Khudori itu tetap berdiri gemetar.
Melihat raut wajah ketakutan para perampok itu, Khudori hanya tersenyum, kemudian berucap lembut, “Mintalah ampun kepada Allah atas kekejian yang pernah kalian lakukan. Jika tidak, kalian dan seisi kampung tepi sungai ini tak lama lagi akan ditenggelamkan banjir bandang,” suara Khudori membuat setiap orang yang mendengar menjadi gemetar.
Para perampok itu kemudian mengucap kalimat taubat di hadapan Khudori. Ketika itulah, air sungai yang tadinya menderas memburu tepian tempat mereka berdiri itu tiba-tiba surut hanya dalam waktu sekejap. Para perampok itu bersujud di hadapan Khudori. Ketika bersujud, mereka melihat segerombolan ikan-ikan bersungut panjang berwarna keemasan dengan sirip-sirip yang tajam bergerak tenang di permukaan sungai membentuk sebuah rakit yang menjadi pijakan kedua kaki Khudori di permukaan air.
Sejak saat itu, para penjahat dan perampok yang sudah bertaubat itu menganggap Khodori sebagai Wali yang sangat mereka segani. Kampung tepi sungai yang semula dikenal sebagai sarang perampok itu perlahan-lahan mulai berbenah. Kampung itu bukan lagi kampung terlarang yang dulu selalu dihindari orang-orang karena khawatir akan menjadi korban kejahatan. Sebaliknya, kampung itu mulai didatangi orang-orang yang hendak berguru pada Wali Khudori. Sang Wali kemudian mendirikan padepokan untuk menampung orang-orang yang hendak berguru padanya, mengajari orang-orang yang datang itu ilmu agama. Dalam waktu yang cukup singkat, Wali Khudori telah berhasil membimbing para penduduk tepi sungai dan kampung-kampung sekitar untuk kembali ke jalan yang benar.
Hingga suatu ketika, terjadi sebuah peristiwa yang menggemparkan. Salah seorang murid Wali Khudori tubuhnya kejang dan sekujur kulitnya melepuh seperti habis terbakar setelah menyantap seekor ikan yang dipancingnya di sungai. Wali Khudori yang melihat muridnya sedang sekarat itu langsung beristighfar, kemudian mengingatkan pada segenap orang yang berada di padepokannya untuk tidak mengganggu dan menangkap ikan monteang, “Ikan monteang adalah ikan yang (atas Karomah Allah) telah menyelamatkanku dari kejaran kalian bertahun-tahun silam. Ketika aku melompat ke dalam sungai, segerombolan ikan itu menggiringku ke dalam goa. Ketika aku masuk ke dalam goa itu, segerombolan ikan monteang yang menggiringku itu dengan ajaib menyumbat pintu goa dengan tubuh mereka agar air sungai tidak masuk memenuhi goa. Setelah satu tahun aku bertapa, segerombolan ikan itu pulalah yang mengantarku kembali ke permukaan sungai dan menjadi pijakanku sehingga membuat kalian takjub dan tercengang. Maka janganlah sekali-kali kalian menyakiti ikan itu, apalagi sampai memakannya. Sebab ikan-ikan itu dikirimkan Allah sebagai petunjuk dan pertanda.”
Sejak saat itulah, kata kakek, ikan monteang menjadi ikan keramat bagi penghuni kampung tepi sungai ini.
* * *
Ratusan tahun sepeninggalan Wali Khudori, ikan keramat itu sempat beberapa kali muncul di Sungai Parabuan—penamaan Sungai Parabuan sendiri menurut cerita kakek merujuk pada peristiwa kemunculan Wali Khudori setelah bertapa selama setahun di goa dasar sungai, ‘Parabuan’ berarti tempat kedatangan. Seingat kakek, semenjak beliau menghuni kampung tepi sungai ini, ada dua peristiwa besar yang menimpa kampung kami beberapa waktu setelah kemunculan ikan keramat itu. Peristiwa pertama terjadi 40-an tahun yang lalu, ketika itu Kyai Suhaili, putra sulung Kyai Kholili—Kyai kharismatik yang sangat disegani karena kedalaman ilmu dan amalannya—melihat ikan monteang muncul di permukaan Sungai Parabuan. “Menurut penuturan Kyai Suhaili, ketika beliau disapa seekor ikan monteang di tepi sungai, ikan itu menitikkan air mata berwarna keemasan.”
“Dulu, memang pernah ada Nabi yang bisa berbicara dengan ikan,” ucapku menyela.
“Bisa jadi memang demikian. Bukankah ulama adalah pewaris para Nabi?”
Aku mengangguk. Kemudian kakekku kembali melanjutkan.“Beberapa hari setelah kemunculan ikan keramat itu, Kyai Kholili, yang masih merupakan keturunan Wali Khudori, berpulang. Kami benar-benar kehilangan sosok panutan yang mampu mengayomi umat, bahkan disegani Alim-Ulama di seantero negeri. Menurut tafsir para Alim-Ulama, ikan keramat yang muncul di Sungai Parabuan dan dilihat Kyai Suhaili itu menitikkan air mata sebagai isyarat duka atas berpulangnya Kyai Kholili. Wallahu A’lam,” kakekku mengenang, kulihat mata kakek sembab, mungkin mengenang sosok Kyai Kholili yang merupakan guru beliau.
Peristiwa kedua yang menimpa kampung kami berkenaan dengan ikan keramat itu, adalah banjir besar yang menenggelamkan seluruh kampung. “Waktu itu umurmu baru dua bulan ketika seorang nelayan melihat ikan keramat itu muncul ke permukaan. Nelayan itu memberi tahu Kyai Suhaili tentang apa yang baru dilihatnya. Mendengar kabar itu, Kyai mewanti-wanti kami agar waspada. Dan benar saja, tak sampai seminggu kemudian, kampung ini dilanda banjir besar, rumah-rumah tenggelam setinggi atap, banyak kerabat kita yang terhanyut dan meninggal. Ikan keramat itu mungkin memang dikirim Allah untuk selalu mengingatkan kita, sebagaimana Wali Khudori yang dikirim Allah untuk memberi petunjuk pada para perampok penghuni tepi sungai ini ratusan tahun silam,” kenang kakek. Aku hanya bisa membayangkan banjir besar sebagaimana yang digambarkan kakekku itu.
Maka ketika kabar tentang kemunculan ikan keramat itu mulai tersiar dan tersebar ke seluruh penjuru kampung, seketika kami berkemas, mempersiapkan diri untuk setiap kemungkinan buruk. Orang-orang nampak bergegas berlari ke tanah lapang. Gemuruh langkah kaki mereka membuat tanah yang kupijak seperti bergetar. Dalam sekejap, kulihat rumah-rumah runtuh, bumi yang kupijak terasa terus bergerak, dan kudengar suara gemuruh. Dalam keadaan panik dan ketakutan, di antara gemuruh dan teriakan orang-orang, aku mencari-cari kakek. []
                                                                                                /Yogyakarta, 2014-2015
Gambar: Sue Findley - Nine Feng Shui Fish, Acrylic on canvas 60x80.

Tidak ada komentar: