Ketika kabar tentang kemunculan ikan
keramat itu mulai tersiar dan sampai ke telinga kami, seketika kakek menyuruh
kami berkemas, mempersiapkan diri untuk setiap kemungkinan buruk yang akan
menimpa. Raut wajah kakek menyiratkan kecemasan yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
Tingkahnya selalu gelisah, dan sepasang bibirnya tak henti bergerak melafalkan
doa. Sebab ikan keramat itu, kata kakek, selalu membawa pertanda akan datangnya
kabar buruk dan marabahaya.
Ikan keramat yang dimaksud kakekku
adalah ikan monteang, ikan bersungut panjang dan sirip-siripnya tajam dengan
warna keemasan. Dulu, setiap aku akan pergi memancing, kakek selalu
mengingatkan tentang adanya ikan keramat itu di sungai tempat aku biasa
memancing, mewanti-wantiku agar kembali melepas ikan keramat jika ikan itu tak
sengaja terjerat mata pancingku. “Dan jangan sekali-kali kamu tergoda untuk
memakan ikan keramat itu, sebab sekujur tubuhmu akan terkena gatal-gatal, kulitmu
akan bersisik dan mengelupas. Jika nasibmu nahas, kau akan ditimpa bala tak tertanggungkan:
mendapat kutukan karena telah melanggar pantangan nenek moyang.”
Kisah tentang keberadaan ikan keramat
itu konon diawali dengan kemunculan seorang Wali di tanah ini. Alkisah, ketika
kampung di tepi Sungai Parabuan ini masih menjadi kampung rampok—tempat para perampok
beranak-pinak dan tinggal—datanglah seorang lelaki bernama Khudori untuk
berdakwah menyeru ke jalan kebenaran. Namun karena para perampok yang dulu
tinggal di tepi sungai ini sudah buta hatinya, mereka tak pernah mengindahkan
seruan Khudori. Setiap kali Khudori memberi nasihat untuk bertaubat, mereka
mengacungkan parang dan celurit. Mulanya mereka hanya mengancungkan parang
untuk membuat Khudori gentar, namun karena nyali Khudori tak pernah ciut dan
terus saja datang untuk memberi ceramah, lama-kelamaan para perampok itu jengah
juga. Seorang ketua rampok mengacungkan parangnya untuk menebas lengan Khudori.
Sekali tebas, tangan kanan Khudori terluka parah dan hampir terlepas dari
tubuhnya. Ketika melihat ketua rampok itu semakin beringas, sambil menahan rasa
sakit karena lengannya tertebas terus mengalirkan darah, Khudori berlari ke
sungai menghindari kejaran ketua rampok dan orang-orang yang berniat
membunuhnya.
“Ketika dikejar itulah Wali Khudori menceburkan tubuhnya ke dalam
sungai. Para perampok yang mengejarnya tak bisa menemukan jejaknya. Wali Khudori
seakan lenyap tertelan pusaran,” kisah kakek.
“Lalu, bagaimana cerita tentang adanya pertapaan
Wali Khudori di dasar sungai dan hubungannya
dengan ikan keramat itu?” tanyaku semakin penasaran.
Kemudian kakekku melanjutkan ceritanya.
Sekitar setahun kemudian setelah peristiwa lenyapnya Khudori di sungai,
tiba-tiba suatu sore, Khudori muncul dari dalam air, mengejutkan para perampok
yang hendak menyeberang untuk melakukan kejahatan di kampung seberang. Para
perampok itu terheran-heran melihat kemunculan Khudori, sebab mereka tak pernah
melupakan seseorang yang dulu pernah mereka kejar hingga melompat ke dalam sungai,
namun jasadnya tidak pernah mereka temukan. Kini Khudori yang dulu mereka cari itu
muncul dari dalam sungai, setelah sempat mereka anggap mati tertelan pusaran.
“Wali
Khudori muncul dari dalam sungai dan berjalan di atas air, tersenyum kepada
para perampok yang terkejut melihat kemunculannya,” ujar kakek.
“Dulu, ada juga orang suci yang bisa
berjalan di atas air,” ucapku.
“Namun menurut cerita beberapa orang
yang pernah kudengar, sebenarnya Wali Khudori
tidak berdiri di atas air, melainkan berdiri di atas tubuh puluhan ikan monteang
yang berbaris membentuk sebuah rakit,” kata pamanku menimpali.
Kakek mengangguk mendengar penuturan
paman, kemudian kembali melanjutkan ceritanya. Para perampok yang masih terpana
melihat kemunculan Khudori seketika gugup dan gentar. Bagaimana mungkin lelaki
yang telah melompat ke dalam sungai dan tak pernah muncul kembali ke permukaan
itu bisa datang tiba-tiba muncul secara ajaib dari dalam air? Melihat
keterkejutan para penjahat yang dulu pernah memburunya itu, Khudori hanya
melempar senyum wibawa, kemudian menunduk hendak menghentak permukaan air
sungai di telapak kakinya. Ketika kakinya menerjang permukaan air sungai,
serta-merta arus air menderas bergerak ke tepian seakan hendak memburu para
perampok yang masih berdiri terpana itu. Ketika arus air sungai semakin
mendekat, para perampok itu langsung bertekuk lutut meminta ampun kepada
Khudori. Para perampok itu konon selalu tunduk dengan orang yang memiliki ilmu
kanuragan tinggi. Mereka mengira bahwa Khudori yang pernah mereka buru itu kini
telah menjadi sakti.
Khudori yang melihat para perampok itu
terpana seakan tak percaya dengan kehadirannya memanfaatkan kesempatan itu
untuk menyeru dan mengajak mereka ke jalan kebenaran, “Tak usahlah kalian takut
pada arus, bukankah kalian adalah para penjahat dan perampok yang dikenal kebal
dan bisa menangkis berbagai macam jurus?” Khudori tersenyum, sementara para
penjahat dan perampok yang separuh tubuhnya tergenang air yang menepi karena
hentakan kaki Khudori itu tetap berdiri gemetar.
Melihat raut wajah ketakutan para perampok
itu, Khudori hanya tersenyum, kemudian berucap lembut, “Mintalah ampun kepada
Allah atas kekejian yang pernah kalian lakukan. Jika tidak, kalian dan seisi
kampung tepi sungai ini tak lama lagi akan ditenggelamkan banjir bandang,”
suara Khudori membuat setiap orang yang mendengar menjadi gemetar.
Para perampok itu kemudian mengucap
kalimat taubat di hadapan Khudori. Ketika itulah, air sungai yang tadinya
menderas memburu tepian tempat mereka berdiri itu tiba-tiba surut hanya dalam
waktu sekejap. Para perampok itu bersujud di hadapan Khudori. Ketika bersujud,
mereka melihat segerombolan ikan-ikan bersungut panjang berwarna keemasan dengan
sirip-sirip yang tajam bergerak tenang di permukaan sungai membentuk sebuah
rakit yang menjadi pijakan kedua kaki Khudori di permukaan air.
Sejak saat itu, para penjahat dan
perampok yang sudah bertaubat itu menganggap Khodori sebagai Wali yang sangat mereka segani. Kampung tepi
sungai yang semula dikenal sebagai sarang perampok itu perlahan-lahan mulai
berbenah. Kampung itu bukan lagi kampung terlarang yang dulu selalu dihindari
orang-orang karena khawatir akan menjadi korban kejahatan. Sebaliknya, kampung
itu mulai didatangi orang-orang yang hendak berguru pada Wali Khudori. Sang
Wali kemudian mendirikan padepokan untuk menampung orang-orang yang hendak
berguru padanya, mengajari orang-orang yang datang itu ilmu agama. Dalam waktu yang
cukup singkat, Wali Khudori telah berhasil membimbing para penduduk tepi sungai
dan kampung-kampung sekitar untuk kembali ke jalan yang benar.
Hingga suatu ketika, terjadi sebuah
peristiwa yang menggemparkan. Salah seorang murid Wali Khudori tubuhnya kejang
dan sekujur kulitnya melepuh seperti habis terbakar setelah menyantap seekor
ikan yang dipancingnya di sungai. Wali Khudori
yang melihat muridnya sedang sekarat itu langsung beristighfar, kemudian
mengingatkan pada segenap orang yang berada di padepokannya untuk tidak
mengganggu dan menangkap ikan monteang, “Ikan monteang adalah ikan yang (atas Karomah Allah) telah menyelamatkanku
dari kejaran kalian bertahun-tahun silam. Ketika aku melompat ke dalam sungai,
segerombolan ikan itu menggiringku ke dalam goa. Ketika aku masuk ke dalam goa
itu, segerombolan ikan monteang yang menggiringku itu dengan ajaib menyumbat
pintu goa dengan tubuh mereka agar air sungai tidak masuk memenuhi goa. Setelah
satu tahun aku bertapa, segerombolan ikan itu pulalah yang mengantarku kembali
ke permukaan sungai dan menjadi pijakanku sehingga membuat kalian takjub dan
tercengang. Maka janganlah sekali-kali kalian menyakiti ikan itu, apalagi
sampai memakannya. Sebab ikan-ikan itu dikirimkan Allah sebagai petunjuk dan
pertanda.”
Sejak saat itulah, kata kakek, ikan monteang
menjadi ikan keramat bagi penghuni kampung tepi sungai ini.
* * *
Ratusan tahun sepeninggalan Wali Khudori,
ikan keramat itu sempat beberapa kali muncul di Sungai Parabuan—penamaan Sungai
Parabuan sendiri menurut cerita kakek merujuk pada peristiwa kemunculan Wali Khudori
setelah bertapa selama setahun di goa dasar sungai, ‘Parabuan’ berarti tempat
kedatangan. Seingat kakek, semenjak beliau menghuni kampung tepi sungai ini,
ada dua peristiwa besar yang menimpa kampung kami beberapa waktu setelah
kemunculan ikan keramat itu. Peristiwa pertama terjadi 40-an tahun yang lalu,
ketika itu Kyai Suhaili, putra sulung Kyai Kholili—Kyai kharismatik yang sangat
disegani karena kedalaman ilmu dan amalannya—melihat ikan monteang muncul di
permukaan Sungai Parabuan. “Menurut penuturan Kyai Suhaili, ketika beliau disapa
seekor ikan monteang di tepi sungai, ikan itu menitikkan air mata berwarna
keemasan.”
“Dulu, memang pernah ada Nabi yang bisa
berbicara dengan ikan,” ucapku menyela.
“Bisa jadi memang demikian. Bukankah
ulama adalah pewaris para Nabi?”
Aku mengangguk. Kemudian kakekku kembali
melanjutkan.“Beberapa hari setelah kemunculan ikan keramat itu, Kyai Kholili,
yang masih merupakan keturunan Wali Khudori, berpulang. Kami benar-benar
kehilangan sosok panutan yang mampu mengayomi umat, bahkan disegani Alim-Ulama di seantero negeri. Menurut
tafsir para Alim-Ulama, ikan keramat
yang muncul di Sungai Parabuan dan dilihat Kyai Suhaili itu menitikkan air mata
sebagai isyarat duka atas berpulangnya Kyai Kholili. Wallahu A’lam,” kakekku mengenang, kulihat mata kakek sembab,
mungkin mengenang sosok Kyai Kholili yang merupakan guru beliau.
Peristiwa kedua yang menimpa kampung
kami berkenaan dengan ikan keramat itu, adalah banjir besar yang menenggelamkan
seluruh kampung. “Waktu itu umurmu baru dua bulan ketika seorang nelayan
melihat ikan keramat itu muncul ke permukaan. Nelayan itu memberi tahu Kyai
Suhaili tentang apa yang baru dilihatnya. Mendengar kabar itu, Kyai
mewanti-wanti kami agar waspada. Dan benar saja, tak sampai seminggu kemudian,
kampung ini dilanda banjir besar, rumah-rumah tenggelam setinggi atap, banyak
kerabat kita yang terhanyut dan meninggal. Ikan keramat itu mungkin memang
dikirim Allah untuk selalu mengingatkan kita, sebagaimana Wali Khudori yang
dikirim Allah untuk memberi petunjuk pada para perampok penghuni tepi sungai
ini ratusan tahun silam,” kenang kakek. Aku hanya bisa membayangkan banjir
besar sebagaimana yang digambarkan kakekku itu.
Maka ketika kabar tentang kemunculan
ikan keramat itu mulai tersiar dan tersebar ke seluruh penjuru kampung,
seketika kami berkemas, mempersiapkan diri untuk setiap kemungkinan buruk. Orang-orang
nampak bergegas berlari ke tanah lapang. Gemuruh langkah kaki mereka membuat
tanah yang kupijak seperti bergetar. Dalam sekejap, kulihat rumah-rumah runtuh,
bumi yang kupijak terasa terus bergerak, dan kudengar suara gemuruh. Dalam
keadaan panik dan ketakutan, di antara gemuruh dan teriakan orang-orang, aku mencari-cari
kakek. []
/Yogyakarta, 2014-2015
Gambar: Sue Findley - Nine Feng Shui Fish, Acrylic on canvas 60x80.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar